Sabtu, 19 November 2011

Utang Model Argentina


Utang Model Argentina

Ivan A. Hadar, KOORDINATOR NASIONAL TARGET MDGs 2007-2010
Sumber : SINDO, 19 November 2011



Sebenarnya mayoritas rakyat Indonesia adalah orang miskin. Betapa tidak? Menggunakan kriteria mereka yang berpenghasilan di bawah USD2 per hari kita akan menemukan sekitar 130 juta rakyat Indonesia tergolong miskin.

Karena itu,yang seharusnya menjadi prioritas saat ini adalah pemimpin yang bisa sepenuh hati merasakan, memahami, dan bertindak untuk memboyong keluar mayoritas rakyat dari kemiskinan. Pemimpin yang demikian dijamin akan dicintai dengan sepenuh hati oleh mayoritas rakyat. Ada contoh dari dalam maupun luar negeri.

Joko Widodo,Wali Kota Solo yang dicerca sebagai “orang bodoh” oleh Gubernur Jawa Tengah ketika lebih membela pasar rakyat ketimbang hypermarket, ternyata terpilih lebih dari 90% pada pilkada periode keduanya.Sebuah rekor untuk Indonesia. Dari mancanegara, kita baru saja dibuat kagum ketika Cristina Fernandez de Kirchner, terpilih untuk masa jabatan kedua sebagai presiden Argentina (23/10).

Pada masa jabatan pertamanya dia mengatakan: ”Dengan kepercayaan kepada Tuhan dan panggilan untuk membangun bangsa yang kuat, suara kita akan bisa didengar dalam forum internasional.Hal ini sekaligus akan bisa membuat kita mengecam eksistensi enclave kolonialisme di abad ke- 21 ini.” (Aljazeera, 3/4/2008). Cristina Fernandez meneruskan perjuangan suaminya,Nestor de Kirchner, yang menjadi Presiden Argentina sebelum dia.

Menolak Bayar Utang

Argentina yang berpenduduk 40 juta jiwa kini memiliki pendapatan domestik bruto lebih dari USD250 miliar dan pendapatan per kapita hampir USD7.000. Keberhasilan Argentina didorong oleh keberanian menolak pembayaran utang ke kreditor internasional.Argentina juga menolak resep ekonomi IMF, yang dituding telah gagal total di semua wilayah Amerika Latin.

Investor dan IMF mengucilkan Argentina. Namun, Presiden Venezuela Hugo Chavez menolong Argentina dengan membeli obligasi Pemerintah Argentina. Dana dari Venezuela berperan membantu Presiden Kirchner mengatasi persoalan ekonomi. Pada Maret 2005, dengan raut wajah berseri, Presiden Kirchner mengumumkan kepada seluruh rakyat Argentina keberhasilan pemerintah mengurangi utang luar negerinya.

Buah dari perundingan alot selama tiga tahun. Dari segi jumlah, pengurangan utang Argentina ini terbesar sepanjang sejarah. Meski coba diboikot oleh IMF dan lembaga keuangan swasta, mayoritas pemegang obligasi (bondholders) swasta akhirnya menyetujui tawaran Argentina untuk melakukan restrukturisasi utang sebesar USD130 miliar.

Dari jumlah tersebut,hanya sepertiga yang harus dibayar Argentina. Itu pun dalam tempo 40 tahun.Ternyata berbeda dengan kecemasan petinggi Indonesia, pengurangan utang telah menaikkan peringkat kredit Argentina di pasar internasional. Para bondholders boleh berharap bahwa nilai surat utangnya pun akan meningkat berbarengan dengan perbaikan ekonomi negeri yang pernah dijuluki “Swiss Amerika Selatan” ini.

Sesuatu yang bukan mustahil melihat pertumbuhan ekonomi Argentina yang mencapai angka 8- 9% pada dua tahun terakhir. Total utang publik Argentina yang tadinya berjumlah USD190 miliar (akhir Desember 2004), berkurang menjadi USD125 miliar atau sebanding dengan 72% pendapatan kotor nasional.

Adapun beban utangnya turun dari USD10 miliar menjadi USD3,2 miliar dari penghasilan ekspor. Hal yang menarik,butir-butir perundingan yang alot antara Argentina dan para kreditor, utamanya bukan berkaitan dengan usulan jumlah pengurangan nilai surat utang (bonds), melainkan pada persyaratan (conditionalities) IMF dalam rencana pembangunan ekonomi Argentina.

Strategi restrukturisasi utang Argentina, meskipun disebut-sebut sebagai “paradigma baru”,sebenarnya pragmatis dan memakai kaidah yang selama ini disepakati bersama. Ketika sebuah negara berada dalam kondisi nyaris bangkrut, “paket pertolongan” IMF bisa dipakai untuk membayar para investor.

Hal ini mengacu pada pendapat mantan Menteri Keuangan AS Paul O’Neill,bahwa pengurangan utang harus ditanggung bersama oleh kedua belah pihak, pemerintah dan kreditor.

Model Argentina

Tak mengherankan bahwa acuan “Model Argentina” bagi solusi krisis utang global ramai dibicarakan. New York Times, misalnya, mensinyalir,“Argentina’s example may encourage other developing countries to act similarly,” (4/3/2005). Sebuah “pergolakan”yang diramal bakal berdampak besar bagi sistem keuangan internasional.

Menurut Miguel Kiguel, salah seorang anggota “perunding utang”(debt negotiator) Argentina, restrukturisasi utang negerinya memperlihatkan bahwa dalam kasus kesulitan anggaran,“sovereigns”atau kemauan politik serta keuletan berunding sebuah bangsa menjadi semakin penting. Bahkan boleh jadi, yang terpenting.

“Kini, aturan main telah berubah”, tulis Larry Rohter (New York Times, 4/3/2005). Apakah Indonesia mau mengikuti aturan main baru ini? Tampaknya tidak. Satu pekan setelah Argentina memperoleh keringanan signifikan utang luar negerinya,petinggi negeri ini masih merasa “sangat berterima kasih”ketika negaranegara kaya anggota Paris Club hanya memberikan moratorium utang (penundaan pembayaran) pada 2005 kepada Indonesia yang diterpa tsunami—sebesar USD2,6 miliar.

Selain penundaan pembayaran pokok utang yang jatuh tempo tadi, bunga yang tidak dibayar selama 2005 akan direkapitalisasi (recapitalized) dan ditambah menjadi utang pokok. Menurut hitung-hitungan kasar,setiap harinya Indonesia harus menyisihkan USD4-5 juta untuk membayar bunga utang kepada negara kreditor dan lembaga keuangan internasional, padahal lebih dari separuh rakyat negeri ini masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Karena itu, rasanya siapa pun akan sepakat dengan suara kritis para aktivis dalam dan luar negeri yang semakin santer menganjurkan pengurangan utang. Pemerintah pilihan rakyat seharusnya lebih alot dalam berunding.

Bangsa ini telah banyak kehilangan, baik kehilangan pulau maupun harga diri. Janganlah ramalan UNICEF tentang generasi yang hilang menjadi kenyataan. Belajarlah dari Argentina.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar