Bersiapkah Jakarta?
Restu Gunawan, SEJARAWAN, MENULIS DISERTASI TENTANG BANJIR DI JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 21 November 2011
Ketika
Bangkok dilanda banjir yang menewaskan lebih dari 500 orang serta kerugian
sosial dan ekonomi yang tidak sedikit, terbayang oleh kita, mungkinkah Jakarta
akan terbebas dari banjir? Atau, mungkinkah banjir besar di Jakarta akan
benar-benar terjadi pada musim hujan tahun ini?
Jakarta
pernah banjir besar beberapa kali, tetapi jumlah korban tewas tidak sebanyak di
Bangkok. Namun, kerugian materi akibat banjir luar biasa tinggi. Pada banjir
tahun 2002, misalnya, kerugian hingga Rp 9 triliun, sedangkan tahun 2007
sekitar Rp 8,8 triliun, selain korban jiwa yang tentu tidak bisa dinilai dengan
uang.
Secara
geografis dan topografis, antara Bangkok dan Jakarta memang punya kemiripan.
Kota Bangkok dialiri sungai-sungai besar yang dapat dilayari kapal-kapal.
Bahkan, keberadaan sungai jadi ikon pariwisata. Kota Jakarta juga dilalui
banyak sungai. Bedanya, kalau sungai yang membelah kota Bangkok bisa dilayari,
sungai-sungai di Jakarta bagaikan ”got besar” yang sulit dilayari karena
sedimentasi dan sampah. Hal ini semakin parah karena topografi Jakarta yang
sangat datar sehingga memperlambat laju air dari hilir ke hulu.
Upaya
untuk menanggulangi banjir di Jakarta telah dilakukan berkali-kali. Bahkan,
setelah banjir besar tahun 2007, berdasarkan rapat terbatas yang dipimpin Wakil
Presiden pada Maret 2007, diputuskan dibentuk Tim Nasional Penanggulangan
Banjir Jabodetabekjur. Anggaran untuk tahun 2007 disiapkan Rp 2,1 triliun.
Hasil dari tim ini, satu di antaranya adalah penyelesaian Kanal Banjir Timur
(KBT). Sejauh ini efektivitas kanal ini belum teruji dalam mengurangi dampak
banjir dan genangan air yang terjadi. Di luar KBT, kita belum melihat upaya
yang benar-benar terintegrasi untuk menangani banjir di Jakarta.
Penanganan
banjir secara struktural sebenarnya sudah terlalu banyak dilakukan oleh
pemerintah—dari masa kolonial sampai sekarang—dan hasilnya selalu tidak
memuaskan. Akumulasi sejumlah masalah yang ada telah menghambat kesuksesan tim
penanggulangan banjir dari dulu sampai sekarang.
Saat
ini, masalah yang harus dipecahkan adalah siklus banjir yang semakin cepat
serta
daerah yang dilanda banjir dan genangan air cakupannya semakin luas.
Pada
masa lalu, banjir di Jakarta terjadi pada Januari-Maret, dengan asumsi bahwa
tanah sudah mulai jenuh sehingga ketika hujan deras, akan terjadi banjir.
Namun, sejak 10 tahun terakhir mulai terjadi pergeseran. Begitu hujan turun,
segera terjadi genangan air di pusat kota dan banjir di daerah bantaran sungai.
Sebutlah seperti banjir di Pondok Labu, Jakarta Selatan, yang sudah terjadi
pada November ini.
Khusus
banjir di Pondok Labu menunjukkan bahwa masalah penataan daerah aliran sungai
di Jakarta belum berhasil dituntaskan. Daerah mana saja yang boleh dan tidak
boleh dibangun masih menjadi sumber konflik di antara masyarakat. Hal ini bukan
terletak pada aturan, melainkan pada implementasi di lapangan.
Daerah-daerah
tangkapan air sudah banyak dipenuhi permukiman. Pada masa lalu, pemerintah
kolonial melarang daerah Kemang dan sekitarnya dijadikan permukiman. Daerah ini
untuk pertanian karena jika terjadi banjir, tidak menimbulkan kerugian yang
cukup besar.
Kini, daerah tersebut sudah penuh dengan permukiman, begitu juga
daerah-daerah yang lain.
”The
Greater Jakarta”
Mencermati
gejala ini, selama ini sebenarnya kita ”gagal” membangun masyarakat di daerah
aliran sungai. Pemerintah terlalu asyik membangun infrastruktur, tetapi lupa
memberdayakan masyarakat. Akibatnya, sungai sebagai bagian hidup dari
masyarakat sekitarnya terlupakan. Untuk itu, perlu didorong tumbuhnya
komunitas-komunitas yang peduli terhadap sungai.
Pemahaman
bahwa sungai adalah ”halaman depan” sangat penting. Ketika masyarakat masih
berpikir bahwa sungai adalah ”halaman belakang”—yang dapat diartikan sebagai
tempat membuang kotoran—belum berubah, dukungan dari masyarakat untuk merawat
sungai masih jauh dari harapan.
Untuk
menata Jakarta, pemerintah pernah mewacanakan konsep ”The Greater Jakarta”,
yaitu perluasan Jakarta tanpa penyatuan wilayah administratif atau wewenang
pemerintahan di bawah Pemerintah Provinsi DKI. Melalui konsep ini, beban
Jakarta dibagi ke wilayah penyangga.
”The
Greater Jakarta” merupakan solusi bagi masalah kemacetan lalu lintas, kepadatan
penduduk, permukiman kumuh, pengolahan limbah, tata ruang amburadul, aliran
sungai dan kanal, keterbatasan infrastruktur, serta sejumlah masalah ekologis.
Kawasannya mencakup wilayah Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi, Cianjur, Cikampek,
Subang, Sukabumi, dan Purwakarta.
Negara
dengan konsep the greater paling sukses adalah The Greater Vancouver Regional
District (GVRD), salah satu konsep perluasan wilayah ibu kota paling sukses di
dunia. Merujuk konsep GVRD, untuk mewujudkan ”The Greater Jakarta”, pemerintah
setiap wilayah Jabodetabek mengirimkan wakilnya ke sebuah badan otorita. Badan
inilah yang membuat keputusan sejumlah bidang, mulai dari tata ruang, moda dan
jalur transportasi, hingga pengelolaan lingkungan. Eksekusi keputusan tetap dilakukan
oleh setiap pemerintah.
Jika
mengikuti perkembangan pewacanaan konsep The Greater Jakarta sejak digulirkan,
belum terasakan bagaimana sebuah koordinasi antarwilayah ini akan dilakukan.
Bahkan, boleh dibilang bahwa rencana itu hanya berhenti di tingkat wacana,
tidak terlihat bagaimana konsep itu akan dijalankan. Setiap daerah memang
membuat rencana penataan, tetapi bagaimana bentuk integrasi antarkawasan tidak
tampak dalam sejumlah kebijakan yang diterapkan.
Tanpa
koordinasi antarwilayah, kita harus bersiap dengan ”megaproblem” Jakarta yang
tidak pernah selesai. Dan, bersiaplah menghadapi banjir dan genangan dari masa
ke masa! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar