Aksi Borong Alutsista TNI
Kiki Syahnakri, KETUA BIDANG PENGKAJIAN PERSATUAN PURNAWIRAWAN TNI-AD
Sumber : KOMPAS, 21 November 2011
Belakangan
ramai diberitakan rencana pembelian alat utama sistem persenjataan TNI yang
ditawarkan dengan harga murah oleh beberapa negara Eropa yang dilanda krisis
ekonomi.
Menteri
Pertahanan RI mengatakan, alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang akan
dibeli antara lain pesawat tempur F-16, helikopter tempur Apache, dan MBT (main
battle tank) Leopard 2A6 buatan Jerman. Tampaknya ini bukan lagi sekadar wacana
karena Presiden SBY sudah merestui dan menyediakan anggaran 6,5 miliar dollar
AS.
Berita
ini tentu sangat menggembirakan karena TNI akan segera memiliki sejumlah
alutsista yang masih tergolong anyar kendati bukan barang baru keluar dari
pabrik. Namun, dalam aksi borong tersebut terdapat beberapa hal (menyangkut
teknis militer) yang harus dipertimbangkan dengan matang sebelum terjadi
kesepakatan yang mengikat.
Leopard 2A6
Walaupun
Jerman sudah memproduksi Leopard 2A7 pada 2010, MBT yang mulai diproduksi tahun
2001 ini masih tergolong produk mutakhir. MBT merupakan salah satu tank terbaik
di dunia dengan senjata utama kanon 120 mm yang memiliki akurasi tembakan
sangat tinggi dan dilengkapi pula oleh senapan mesin (coaxial) 7,62 mm.
Tank
ini sudah dipakai oleh sedikitnya 15 negara, terutama di Eropa dan Kanada.
Kendati demikian, sebelum memutuskan membelinya, TNI perlu mengkaji secara
rinci dan mendalam, terutama kelayakannya untuk dioperasikan di sejumlah
wilayah di Indonesia.
MBT
berbobot 62 ton ini memang cocok dioperasikan di Timur Tengah, Eropa, atau
Afrika. Namun, untuk medan di Indonesia yang umumnya berkonfigurasi hutan,
sungai, dan rawa akan sulit bermanuver.
Bisa
dibayangkan untuk bergerak di Pulau Jawa saja terdapat demikian banyak jalan
dan jembatan yang kapasitasnya tidak mendukung, apalagi jika digerakkan di
Kalimantan dengan jaringan jalan yang masih parah. Tank canggih ini akan lemot
karena kemampuan mobilitasnya terhambat keadaan alam dan kondisi infrastruktur.
Dengan demikian, walau punya persenjataan canggih, berpotensi menjadi sasaran
empuk artileri atau pesawat tempur musuh.
Selain
itu, dengan kapasitas mesin 1.500 hp, tank ini sangat boros bahan bakar. Maka,
operasionalisasi tank dengan kemampuan jelajah hanya 500 km, kecepatan maksimum
68 km per jam, dan kemampuan mengarungi air (fording capability) sedalam 1
meter (dengan persiapan khusus bisa 4 meter) ini, selain mahal, pasti akan
menemui kesulitan cukup berat menyangkut logistiknya. Untuk keperluan
refueling, misalnya, diperlukan banyak pos pengisian bahan bakar yang tersebar
di medan yang sulit seperti di Kalimantan.
Secara
doktriner kita tak akan mengokupasi wilayah negara lain, maka titik berat
penggunaan alutsista TNI adalah di dalam negeri, kecuali dalam tugas perdamaian
di bawah PBB. Oleh karena itu, tank ringan sejenis FV 101 Scorpion buatan
Inggris, berbobot hanya 7,93 ton, kemampuan jelajah 640 km, kecepatan maksimum
87 km per jam, dan melalui persiapan khusus akan memiliki kemampuan amfibi,
seharusnya jadi pilihan yang lebih tepat dan lebih bermanfaat untuk Indonesia.
Memang
tidak salah jika TNI dilengkapi MBT, tetapi hendaknya tank jenis ini tidak
dijadikan senjata utama bagi satuan kavaleri kita. Mengacu pada keterbatasan
anggaran pun tampaknya pengadaan tank jenis ini belum jadi prioritas bagi TNI.
Kualitas Personel
Mengembangkan
kekuatan pertahanan secara kualitatif dan kuantitatif sekaligus merupakan hal
ideal. Namun, dengan keterbatasan anggaran, sebenarnya muskil bagi TNI
mengembangkannya bersamaan. Keterbatasan itu memberikan kita hanya dua
kemungkinan pilihan dan penekanan: kualitatif atau kuantitatif. Secara rasional
tentu memelihara dan meningkatkan kekuatan secara kualitatif merupakan pilihan
dan aksentuasi tepat. Namun, bagaimanapun, rencana penjualan alutsista murah
ini merupakan kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan.
Penambahan
sejumlah alutsista TNI (darat, laut, dan udara) secara signifikan ini pasti
disusul penambahan personel yang lumayan besar. Maka, hal fundamental yang
harus diperhitungkan TNI adalah kualitas personel yang akan mengawakinya. Untuk
itu, ke depan, TNI harus siap dengan penambahan anggaran pendidikan, latihan,
dan pemeliharaan yang tentu tidak kecil.
Kualitas
prajurit tidak hanya ditentukan oleh kemampuan atau kompetensinya, aspek
disiplin dan kesejahteraan pun sangat menentukan.
Dalam
konteks ini perlu diingat bahwa: ”memiliki tentara dalam jumlah besar, tetapi
kualitasnya di bawah standar—apalagi dengan alutsista yang tidak layak
dioperasikan—selain hanya akan menjadi beban, juga mengandung bahaya sangat
serius”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar