Senin, 21 November 2011

Kooptasi


Kooptasi

M. Sobary, ESAIS
Sumber : SINDO, 21 November 2011



Di dalam teori politik ada hukum-hukum yang dengan baik dan adil menata cara-cara kekuasaan dioperasikan dan bahwa kekuasaan harus dibagi-bagi secara seimbang antara para pemangku kedaulatan yang ditunjuk rakyat.

Tatanan ini menjadi “hakim” yang kita andalkan tanpa melihat siapa pun yang berkuasa karena tak ada orang yang bisa disebut terlalu besar di hadapan hukum. Ini menurut buku-buku dan menurut para dosen teori politik yang mati-matian menganut paham teori tadi.Tapi,kita tahu, kekuasaan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Seorang penguasa yang paham luar kepala akan pentingnya bagi-membagi kekuasaan agar dirinya terlepas dari kecenderungan otoriter toh di dalam praktIk lupa.Kekuasaan cenderung dimiliki sendiri.Dan di saat akumulasi kekuasaan di tangannya membesar, di kiri kanannya banyak orang setia yang kemudian menjadi penjilat.

Penguasa itu pelan-pelan dipuja-puja dan dimitoskan. Jalan menjadi otoriter terbuka luas.Para penjilat selalu setuju dan menganggap baik apa pun yang dilakukan sang penguasa. Hubungan kedua pihak itu makin kukuh karena masing-masing memperoleh keuntungan politik yang mereka perlukan. Sang penguasa tak merasa dijilat. Sebaliknya, mereka dianggap loyalis tulen. Mereka orang-orang baik,yang tak lagi dilahirkan di “zaman ini”. Tiap saat mereka saling memuja.

Dan jika suatu komentar diminta sang penguasa, para loyalis tak akan pernah mengatakan apa yang sebenarnya harus dikatakan.Apa yang mereka sampaikan harus—demi kejujuran— disebut penjilatan. Seluruh fenomena ini tampaknya berjalan secara alamiah. Tapi di dalam politik,tak ada barang yang sifatnya alamiah. Penguasa sangat boleh jadi paham bahwa para loyalis itu memanggul kepentingan politik ekonomi yang canggih. Dia pun boleh jadi sadar dirinya sedang bermain secara canggih pula. Maka dia purapura tak sadar akan apa kepentingan orang-orang tersebut.

Jika inilah yang terjadi, maka sang penguasa sebenarnya sedang memasang jerat bagi orang di sekitarnya. Dia sedang melakukan kooptasi pada tingkat tercanggih sehingga seolah segalanya berjalan alamiah seperti disebutkan di atas. Penguasa terbodoh pun tampaknya tidak bodoh untuk menyadari bahwa kekuasaan itu enak. Maka, apa pun hukum-hukum yang dibuat teoretisi, penguasa jenis ini pun menerapkan hukumhukumnya sendiri.Tentu saja tak mengherankan bahwa penguasa ingin memiliki segalanya.

Seperti Pak Harto dulu, misalnya,dengan halus banyak pihak dikooptasi untuk menjadi bagian dari pendukung dan orang-orang dekat yang tak mengancam kedudukannya. Mereka dibikin menjadi loyalis tulen, yang bahkan tak boleh terlintas dalam hati sekalipun untuk menjadi pesaingnya. Pegawai negeri, pejabat, istri pegawai negeri dan istri pejabat, kaum muda, mahasiswa, para petani, nelayan, politisi, pengusaha, orang-orang media, dan bahkan kaum rohaniwan, semua berada di dalam cengkeraman kooptasi yang tak terasa tadi. Tapi Pak Harto juga melakukan apa yang sebaliknya.

Dan militer, terutama orang dekatnya, kaum loyalis—yang boleh jadi juga para penjilat— membelanya mati-matian.Apa perintah beliau dituruti tanpa pernah mengenal keluhan. Ada kelompok yang dikooptasi dengan kekerasan dan ancaman. Bahkan banyak usaha penaklukan dengan kekerasan militer. Orang-orang agama dan para pejuang yang meyakini kebenaran agamanya disabet tanpa pilih kasih. Tindakan itu sering disertai tuduhan mengerikan,yang tak layak bagi si tertuduh.

Orang dengan kaliber Warsidi dianggap penggerak kekuatan yang mengacaukan negara demi suatu perjuangan keagamaan? Tuduhan tak pernah diklarifikasi karena yang bersangkutan sudah lenyap ditelan kegelapan sejarah yang ganas. Kooptasi itu suatu proses ruwet dan panjang.Tujuannya jelas,untuk memperkukuh kedudukan sang penguasa. Mekanismenya jelas, tapi di lapangan, pelaksanaannya bervariasi. Sebagian taat pada komando dari atas. Sebagian merupakan kreativitas lapangan.

Boleh jadi sebagian dilakukan demi menjilat Pak Harto.Maka, kita tahu bahwa di zaman itu banyak orang naik pangkat dan makmur dengan mengorbankan nasib dan kehidupan pihak lain. Kekuatan asing bisa melakukan kooptasi pada orangorang setempat agar mereka rela menjadi operator lapangan bagi kepentingan asing tadi? Sejak zaman VOC dan di sepanjang zaman penjajahan Belanda, proses itu berlangsung. Golongan ambtenaarpasti bisa dikategorikan sebagai yang terkooptasi itu.

Juga para marsose yang kejamnya minta ampun, yang disebut lebih Belanda dari Belanda itu.Mereka hampir tak pernah berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu membahayakan bangsanya sendiri. Para pejuang kemerdekaan dimata-matai. Tak jarang marsose sendiri yang langsung bertindak di jalanan seperti para bandit. Kini, zaman itu sudah seabad lewat. Bahkan lebih bila dihitung sejak zaman VOC tadi.

Tapi jiwa orangorang yang tak pernah merdeka, yang memegang jabatan penting tapi bersedia mengabdi kepentingan asing, apa bedanya dengan para marsose tadi? Kepentingan asing harus pertama-tama dipandang secara netral sebagai bagian dari beroperasinya hubungan internasional, bilateral maupun multilateral dalam banyak segi kepentingan. Dari sudut itu, segalanya harus dipandang oke, tak bermasalah, dan tak perlu dipermasalahkan karena bukankah kita juga memiliki orang-orang di banyak negara asing yang bekerja buat kepentingan negara?

Tapi kalau suatu kepentingan asing, di bidang bisnis, mau mencaplok keretek kita dan banyak pihak—juga para pejabat— menyerahkan kesetiaan mereka untuk membantu terlaksananya kepentingan asing tadi,siapa bilang ini bukan bentuk berfungsinya secara efektif sebuah kooptasi? Jabatan, duit, dan materi lain yang duniawi sifatnya menjadi pertaruhan yang mengooptasi dan merupakan iming-iming bagi yang dikooptasi. Bangsaku.

Betapa kasihan. Kaum terpelajar dan merasa merdeka, mengapa hidupnya begitu nista: membiarkan diri dikooptasi, diperintah, dan diperalat dengan imbalan yang membikin negara dan rakyatnya merugi?
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar