Sabtu, 19 November 2011

Buya Hamka, Pahlawan Berintegritas


Buya Hamka, Pahlawan Berintegritas

Azyumardi Azra, DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 19 November 2011


Profesor DR Haji Abdul Malik Karim Amrullah-dikenal akrab sebagai Buya Hamka (17/2/1908-24/7/1981)-agaknya bagi sebagian kalangan tidak begitu dikenal sebagai pejuang. Buya Hamka lebih dikenal sebagai sastrawan dan ulama, bukan sebagai pejuang bangsa. Akibatnya, Buya Hamka terlambat menerima gelar Pahlawan Nasional dari pemerintah RI. Baru menjelang Hari Pahlawan 10 November 2011 akhirnya ia mendapatkan penghargaan yang long overdue tersebut.

Meski demikian, rasa syukur patut diungkapkan atas penghargaan negara atas jasa-jasanya yang begitu lengkap dan kompleks dalam kehidupan umat bangsa Indonesia. Buya Hamka yang otodidak bergerak dalam berbagai lapangan kehidupan sejak dari kesusastraan, pendidikan, dakwah, politik, dan perjuangan melawan kebatilan kolonialisme pra dan pasca kemerdekaan, termasuk perjuangan menegakkan kebenaran pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.

Like Father Like Son
Baik dalam hal keulamaan maupun kejuangan, Buya Hamka banyak mengikuti ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah (10/2/1879-2/6/1945) atau Haji Rasul yang terkenal sebagai salah satu tokoh gerakan modernisme Islam pada dasawarsa awal abad ke-20. Selain terkenal sebagai ulama yang juga memiliki jaringan keilmuan dan aktivisme dengan ulama dan tokoh pergerakan nasional lain semacam HOS Tjokroaminoto dan KH Ahmad Dahlan, Haji Rasul termasuk ulama yang paling keras menentang Belanda dengan berbagai ketetapannya semacam 'Ordonansi Sekolah Liar' dan 'Ordonansi Guru'.

Karena itu, pada 12 Januari 1941 ia dijebloskan Belanda ke dalam penjara Bukittinggi dan Agustus 1941 ia dibuang ke Sukabumi. Selanjutnya, pada masa Jepang, Haji Rasul menolak melakukan 'seikerei', membungkukkan badan pada pagi hari ke arah matahari terbit (Jepang) untuk menghormati Kaisar Tenno Heika.

Seperti ayahnya, begitu jugalah sang anak (like father like son). Di tengah keterlibatannya yang intens dalam dunia kesusastraan, keilmuan dan keulamaan, Hamka juga mewujudkan aktivisme politik dan kejuangannya. Dan, ini bermula dengan keterlibatannya di Padangpanjang sejak 1925 dalam Sarekat Islam. Seperti dicatat Federspiel (2009), Hamka menceburkan diri ke dalam SI tidak lain karena ia melihat SI sebagai kekuatan sosial-keagamaan Islam yang tangguh menghadapi kolonialisme Belanda. Meski demikian, tidak banyak informasi tentang kiprah Hamka dalam SI.

Hamka yang sejak selesai bertugas sebagai Konsul Muhammadiyah di Makassar pindah ke Medan (1936) juga aktif dalam perjuangan melawan Belanda yang terbukti sedang menghadapi tahun-tahun akhir menguasai Indonesia. Dalam bukunya, Kenang-Kenangan Hidup (Jilid 4), Hamka menceritakan tentang kiprahnya pada masa ini, termasuk bergerilya di hutan sekitar Medan. Karena kegiatannya melawan Belanda ini, ia akhirnya merasa harus kembali ke Sumatra Barat pada 1945, sebab ia merasa lebih aman. Dan, di kampung halamannya, ia menjadi penghubung krusial di antara kaum ulama dan kelompok-kelompok pejuang lainnya.

Kiprah Hamka dalam perjuangan nasional sepanjang 1945-1949 kian meningkat berbarengan dengan terjadinya perang revolusi menentang kembalinya Belanda yang terus kian merebak di seluruh Tanah Air. Pada 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional dengan anggota Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Rasuna Said, dan Karim Halim.

Selain itu, Hamka juga diangkat Wakil Presiden Mohammad Hatta sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional yang merupakan gabungan dari berbagai partai politik. Ketua front ini adalah Bung Hatta sendiri. Selanjutnya, Hamka membentuk Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) yang merupakan barisan perlawanan gerilya terbesar di wilayah Sumatra Barat. Hamka sendiri sangat aktif bergerilya dan hampir tidak pernah bisa ditemui di satu tempat tetap.

Mengapa Hamka begitu aktif dalam perjuangan kemerdekaan? Ini tidak lain berdasarkan pada prinsip pokok yang dia pegang. Hamka sangat meyakini bahwa kemerdekaan bangsa sangat mutlak dalam mewujudkan dan meninggikan kemerdekaan diri (self-independence), yang merupakan keutamaan dan kebajikan pokok bagi setiap Muslim-Muslimah. Kemerdekaan diri ini mestilah bersumber dari tauhid. Dan, sebaliknya, bagi Hamka, kemerdekaan bangsa bisa terwujud jika umat Islam memiliki kemerdekaan diri atas dasar tauhid tersebut. Dan, tanpa itu kemerdekaan bangsa akhir dapat hancur berkeping-keping.

Perjuangan dengan Integritas
Aktivisme kejuangan Hamka dalam kancah nasional berlanjut ketika dia dalam Pemilu 1955 terpilih lewat Partai Masyumi sebagai anggota konstituante. Dan, lewat konstituante, Masyumi berjuang untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, yang terbukti gagal. Meski Hamka semula mendukung gagasan dan perjuangan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, ia legowo dan selanjutnya menerima Pancasila sebagai dasar negara dan demokrasi sebagai sistem politik.

Tetapi, Hamka segera bersimpang jalan dengan Presiden Soekarno. Pertama, karena kian dominannya PKI. Dan, kedua, karena terus meningkatnya otoritarisme Soekarno. Ujungnya, pada 27 Agustus 1964 Hamka ditangkap dan dipenjarakan dengan tuduhan melakukan kegiatan subversi melawan rezim Soekarno. Pada saat yang sama, Majalah Panji Masyarakat yang dipimpinnya diberedel karena memuat artikel panjang Mohammad Hatta, "Demokrasi Kita", yang kritis terhadap demokrasi terpimpin ala Soekarno.

Hamka adalah pejuang dengan integritas. Dengan integritas, ia berani menyampaikan pesan kebenaran kepada penguasa-apa pun biaya yang kemudian harus ia bayar. Dan, dengan integritasnya itu pula ia menunjukkan bahwa sebagai ulama ia tidak dapat 'dibeli'-apalagi digertak.

Ini terlihat dalam pengalaman hidup Hamka pascakeluar dari tahanan seusai pergantian kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Hamka tidak lagi melibatkan diri dalam politik. Sebaliknya, menghabiskan waktunya dalam aktivisme dakwah, pendidikan, dan kepengarangan. Tetapi, pada 1975, ia menerima permintaan dari Presiden Soeharto untuk menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dan, pada saat yang sama ia menolak menerima fasilitas dari pemerintah atas posisinya tersebut.

Adalah integritas diri yang membuat Hamka tidak bisa bertahan terlalu lama sebagai ketua umum MUI. 'Fatwa Natal' yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981 yang mengharamkan umat Islam ikut serta dalam 'Natal bersama' tidak disukai pemerintah karena dianggap dapat mengganggu kerukunan antarumat beragama. Buya Hamka menolak keinginan pemerintah-yang diwakili Menteri Agama Alamsjah Ratu Prawiranegara-untuk mencabut fatwa tersebut. Lalu, Hamka memilih mundur dari MUI daripada mengorbankan integritas keulamaannya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar