Senin, 21 November 2011

Bukan “Centeng Freeport” (134)


Bukan “Centeng Freeport”

Febridiansyah, PENELITI ICW
Sumber : KOMPAS, 21 November 2011


Kemelut masih terjadi di Papua. Sebuah afiliasi perusahaan tambang internasional yang berkantor pusat di Phoenix, Arizona, AS, sedang menuai masalah yang tidak kecil. Salah satunya tentang dana keamanan Freeport yang diberikan kepada aparat Indonesia.
Setelah pada tahun 2005 Global Witness dan (almarhum) Munir dari Kontras pernah mempersoalkan dana untuk ”ten - tara Freeport” tersebut, sekarang persoalan itu muncul kembali.

Polri mengakui adanya dana keamanan dari Freeport. Pihak perusahaan tak membantah. Bahkan, Mabes Polri mengatakan dana tersebut sah secara hukum, tak akan berhenti menerima meski dikritik banyak pihak. Di sisi lain, Komnas HAM tegas mengatakan, dana itu ilegal. Di Amerika, United Steelworkers mengirimkan surat ke Fraud Section di Departemen Kehakiman AS agar memeriksa apakah dana ini merupakan korupsi seperti diatur dalam US Foreign Corrupt Practices Act. Bagaimana kita membaca fakta-fakta ini?

Obyek Vital

Jika dicermati, kita bisa menemukan sejumlah kejanggalan. Dalam jawaban resmi Polda Papua kepada Kontras dikatakan bahwa ada 635 personel keamanan ditugaskan untuk pengamanan obyek vital (Freeport). Untuk pengamanan tersebut ada kontribusi perusahaan Rp 1.250.000 per orang per bulan. Jika dihitung, selama satu tahun satgas pengamanan tersebut menerima Rp 9,525 miliar.

Bandingkan dengan catatan Laporan Keuangan Freeport yang tak dibantah oleh Polri. Ada alokasi dana keamanan 14 juta dollar AS atau sekitar Rp 126 miliar pada tahun 2010. Dikatakan, Polri siap diaudit dan terbuka untuk penggunaan dana tersebut dan dana itu secara riil langsung diberikan kepada anggota di lapangan.

Benarkah? Jika dicermati, ternyata dana yang diterima secara langsung oleh anggota Polri dan TNI di lapangan hanya 7, 56 persen. Masih ada selisih lebih dari Rp 116 miliar. Ke mana dan siapa penikmat dana 92,44 persen lainnya?

Polri bisa saja menjawab bahwa dana itu juga digunakan untuk kepentingan lain. Akan tetapi, sistem keuangan kita menghendaki sebuah mekanisme penerimaan dan pertanggungjawaban lebih rinci dan terbuka. Di titik inilah penggunaan dana tersebut harus diperiksa instansi yang berwenang, seperti BPK atau BPKP. Setelah mengurai kejanggalan dari aspek aliran dana, pertanyaan paling serius sebenarnya adalah: apakah dana keamanan tersebut sah? Polri mengatakan sah, menggunakan Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional. Mereka akan terus menerima dana dari Freeport selama belum ada keppres baru. Logika yang menurut saya harus dikoreksi. Kenapa?

Benar bahwa keppres yang diturunkan pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 1762K Tahun 2007 menyebutkan ada 126 obyek vital nasional di Kementerian ESDM. Namun, aturan ini tak bisa jadi dasar bagi institusi mana pun memungut atau menerima dana di luar ketentuan keuangan negara. Bayangkan jika setiap departemen atau lembaga negara bisa memungut uang di semua obyek vital pada semua departemen, lalu dana itu tak dipertanggungjawabkan dengan mekanisme audit atau mekanisme keuangan negara yang ada. Jika itu terjadi, ini adalah lubang besar yang potensial korup. Ingat, sejumlah kasus korupsi sudah diproses secara hukum terkait dana-dana nonbudgeter yang dikelola oleh lembaga negara.

Pasal 4 Ayat (2) Keppres No 63/2004 justru mewajibkan Polri memberikan bantuan keamanan. Kenapa tertuju pada obyek vital? Pasal 2 keppres ini menyebut karena obyek vital tersebut punya arti penting bagi kebutuhan masyarakat, pemerintahan, dan bahkan kemanusiaan atau kepentingan umum. Untuk itulah Polri ditugaskan melakukan pengamanan. Hal ini pun sesuai dengan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dana Centeng?

Banyak pihak menyoroti aspek independensi Polri jika menerima dana dari perusahaan. Itu benar, tetapi ada persoalan yang lebih mendasar: apakah boleh institusi negara menerima dan memungut uang dari masyarakat atau swasta di luar mekanisme keuangan negara? Tidak! Pasal 23A UUD 1945 melarang adanya pajak atau pungutan kecuali diatur dengan undang- undang. Kenapa undang-undang? Karena di sana ada keterlibatan rakyat melalui DPR untuk menentukan pungutan yang akan membebani mereka. Namun, argumen ini akan dibantah: bukankah dana dari Freeport itu sumbangan sukarela? Mari bertanya, jika Freeport tak memberikan dana 14 juta dollar AS, apakah akan diturunkan 635 aparat untuk mengamankan Freeport?

Aturan tentang penerimaan dana di luar pajak itu bisa kita lihat dalam UU No 20/1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di kepolisian sendiri, tarif dan jenis PNBP ini diatur rinci dan terbatas dalam PP No 31/2004. Polri hanya bisa menerima PNBP dari tujuh sumber, yaitu SIM, STNK, tes klinik mengemudi, BPKB, STCK, TNKB, dan izin senjata api.
Tak ada aturan Polri boleh menerima dana dari jasa pengamanan obyek vital, apalagi masyarakat tidak pernah tahu penggunaan dana tersebut secara rinci dan apakah dana itu disetor ke kas negara.

Hal-hal seperti ini sangat sensitif dan rawan korupsi. Tak bisa dibayangkan jika institusi negara tanpa dasar hukum yang kuat memungut atau menerima dana. Dari aspek PNBP sebenarnya juga dimungkinkan adanya penerimaan dalam bentuk hibah dari pemerintah dan swasta dalam atau luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Huruf (f) UU PNBP. Namun, dana-dana tersebut wajib disetor ke kas negara dan seluruhnya dikelola dengan sistem APBN (Pasal 3 dan 4 UU PNBP). Apakah mekanisme dana keamanan dari Freeport sudah memenuhi aturan tersebut? Tidak!

Selain dari aspek PNBP, kita perlu menganalisis dari aspek gratifikasi yang diatur dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Menarik ketika dalam buku saku KPK Memahami Gratifikasi disebutkan: gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Memang tak semua gratifikasi bisa dipidana, tetapi pada contoh keenam, KPK menegaskan, jika ada pemberian hibah dari BUMN atau swasta terhadap Polri, kejaksaan, atau instansi pemerintah lainnya, dana tersebut tidak bisa langsung diterima, tetapi harus dilaporkan ke KPK agar ditetapkan sebagai milik negara dan kemudian disalurkan dan digunakan melalui persetujuan Menteri Keuangan.

Persoalan ini tidak boleh mengambang karena potensi korupsinya sangat tinggi. Presiden sebagai pemimpin di eksekutif tidak bisa lepas tanggung jawab terhadap fenomena ini. Pertanggungjawaban secara administrasi keuangan dan hukum juga harus dilakukan. Selain itu, jika memang ada persoalan kekurangan anggaran, hal ini pun harus diselesaikan. Aparat keamanan kita jelas bukan ”centeng Freeport” atau perusahaan mana pun.  

1 komentar:

  1. Jika dicermati, ternyata dana yang diterima secara langsung oleh anggota Polri dan TNI di lapangan hanya 7, 56 persen. Masih ada selisih lebih dari Rp 116 miliar. Ke mana dan siapa penikmat dana 92,44 persen lainnya?

    Saya kira mudah ditebak bahwa hanya sebagian kecil saja dari seluruh dana keamanan Freeport yang diberikan secara langsung kepada aparat keamanan. Perkiraan saya, sisa dana lainnya digunakan untuk biaya operasional pengamanan Freeport lainnya seperti transportasi, akomodasi, uang makan, dan lain-lain untuk keperluan pendukung pengamanan Freeport.

    Bagaimanapun, menurut saya, kesediaan Polri untuk diaudit terkait dengan penggunaan dana keamanan tersebut merupakan sikap yang perlu mendapatkan apresiasi.

    Dari sisi nominal, dana keamanan dari Freeport yang diberikan kepada Polri jumlahnya pasti sangat kecil, terutama bila dibandingkan dengan seluruh jumlah dana keamanan dari perusahaan-perusahaan pertambangan non-Freeport yang diberikan kepada Polri. Oleh karena itu, menurut saya, masalah dana keamanan Freeport seharusnya ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dan penyelesaiannya melibatkan Kementerian Keuangan, BPK, institusi penegak hukum, dan juga lembaga DPR yang berwenang menangani masalah regulasinya.

    Pertanyaannya, benarkah penggunaan dana keamanan yang bersumber dari perusahaan-perusahaan tambang tersebut, yang notabene sudah sejak lama dikelola oleh Polri, dari sisi regulasi keuangan negara tidak dapat dibenarkan? Lalu, mengapa sejak dulu hal yang tidak benar tersebut dibiarkan terus terjadi tanpa tindakan tegas dari aparat hukum dan juga dari pihak auditor keuangan negara? Selama ini, apa pendapat DPR, BPK, Kementerian Keuangan, dan juga KPK tentang penggunaan dana pengamanan obyek vital dari perusahaan untuk Polri tersebut?

    Saya sarankan kepada ICW (Febri Diansyah) untuk mendapatkan data secara lengkap dari institusi-institusi tersebut di atas guna mendukung dan memperkuat argumennya bahwa penerimaan dan penggunaan dana keamanan tersebut oleh Polri adalah ilegal (melanggar hukum). Yang saya khawatirkan adalah, dari sisi regulasi, masih banyak pasal pada undang-undang atau ketentuan hukum lainnya tentang pengelolaan keuangan negara kita yang, seperti banyak terjadi di sana-sini, bisa disalahtafsirkan.

    Sebagai contoh, soal dana hibah yang menurut Febri Diansyah harus disetor ke kas negara. Setahu saya, dalam praktek tidak semua dana hibah (terutama yang bersumber dari luar negeri) harus disetor ke kas negara. Dan itu mempunyai payung hukumnya dan diputuskan berdasarkan pertimbangan karena pihak pemberi hibah pada umumnya tidak menghendaki mata rantai birokrasi yang terlalu panjang. Selain itu, mereka juga ingin terlibat langsung dalam pengawasan penggunaan dana hibah tersebut di lapangan, sekaligus untuk memastikan bahwa dana hibah tersebut tidak dikorupsi oleh aparat-aparat negara yang tidak bertanggungjawab.

    BalasHapus