Covid-19
dan ”Pembalikan Radikal” Trisno S Sutanto ; Esais, tinggal di Jakarta |
KOMPAS, 19 Agustus 2021
Sejak
awal pandemi, saya berusaha mempersiapkan batin untuk dua kemungkinan terburuk.
Pertama, walau pandemi dapat berakhir, tetapi ancaman virus Covid-19 akan
selalu ada sebagai risiko hidup. Dan
kedua, boleh jadi saya tidak dapat sintas dari ancaman pandemi, karena itu
melatih diri untuk mati. Saya berharap, dengan persiapan itu, saya akan dapat
lebih menjaga sikap, terutama batin dan pikiran, menghadapi pandemi. Cara
pertama memungkinkan saya "berdamai" dengan eksistensi virus
Covid-19. Atau, dalam bahasa slogan yang sempat populer, saya berusaha
"bersahabat" dengan virus ini, menerimanya sebagai bagian tak
terelakkan dari eksistensi kehidupan yang memang serba fana dan ringkih, sama
seperti penyakit-penyakit lain. Dan
seperti laiknya penyakit lain, maka pertahanan diri paling baik adalah
menjaga imunitas tubuh. Dalam soal ini, kontrol terhadap batin dan pikiran
memegang peran kunci, selain mengusahakan pola hidup sehat. Cara
kedua lebih pelik, walau sudah menjadi anjuran sejak zaman Yunani kuno.
Platon menyebut filsafat sebagai "latihan untuk mati" yang
bertujuan untuk mendapat perspektif baru tentang kehidupan. Dalam Politeia,
ia mengaitkan latihan untuk mati itu sebagai proses metastrophe (pembalikan
radikal, conversio) seluruh diri kita (lihat Setyo Wibowo, Ataraxia: Bahagia
Menurut Stoikisme, Kanisius, 2019). Intuisi
dasar Platon itulah yang menapasi seluruh filsafat Stoa. Dan kita menemukan
pesan senada dalam Buddhisme, Sufisme Islam, maupun olah kebatinan Jawa yang
mengajarkan maksim bijaksana, bahwa "hidup ini hanya sekadar mampir
minum". Dan karena sekadar mampir minum, untuk apa terbebani karut-marut
kehidupan yang di dalamnya selalu mengandung kefanaan? Kebangkitan Stoikisme Pernah
pada suatu masa, cara pandang tersebut dinilai fatalistik, sekadar
"nrimo" saja. Dan ini tidak menguntungkan bagi bangsa yang ingin segera
menjadi "modern". Tetapi dewasa ini, ketika pandemi
memporakporandakan seluruh aspek kehidupan, orang berbondong-bondong menengok
kembali intuisi kuno tadi. Buku-buku
tentang filsafat Stoa (atau setidaknya diinspirasi oleh Stoikisme) kerap
menempati daftar buku terlaris (bestseller) internasional. Stoikisme
seperti mengalami kebangkitan, kembali tampil sebagai cara orang mengelola
dan memaknai kehidupan. Pun juga di Indonesia. Saya
kira pandemi ini, dengan teror sirene ambulans yang meraung-raung hampir
setiap saat, dan berita kematian membanjiri media sosial kita, memang
mengajar orang untuk melihat keringkihan hidup yang kerap tersembunyi di
balik gemerlapnya kemajuan. Karena,
tiba-tiba seluruh struktur kehidupan modern yang serba angkuh itu tak berdaya
berhadapan dengan virus yang tak kasat mata. Hidup ditantang secara radikal
untuk berubah. Dan di situ, "latihan untuk mati" yang diajarkan
Platon, mendapat gemanya: sebagai proses metastrophe sehingga kita lebih
dapat menghargai kehidupan secara seimbang. Karena,
seperti dirumuskan Seneca dengan padat dan indah, "Barang siapa tidak
memahami cara mati yang baik, dia akan menjalani hidupnya dengan buruk"
(Ihwal Ketenangan Pikiran). Pandemi ini adalah kesempatan bagus bagi latihan
yang akan mengubah seluruh cara kita memandang dan menghargai kehidupan! ● Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/19/covid-19-dan-pembalikan-radikal |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar