Mengapa
Pejabat & Tokoh Masyarakat Mudah Ditipu Angin Surga? Denny JA ; Kolumnis/Akademisi/Konsultan Politik |
REPUBLIKA, 6 Agustus 2021
Sahabat. Marilah kita memuji sekaligus
mengkritik diri kita sendiri. Kita memuji diri kita karena mengembangkan
prasangka baik. Karena kita begitu mencintai moral story. Begitu kita suka
minta ampun pada kisah-kisah kebajikan. Tapi marilah juga kita mengkritik diri sendiri
karena kurang mengembangkan check & recheck. Kurang mengembangkan akal
sehat, akibatnya kita mudah TERTIPU. Jadi tertipulah kita. Ini mungkin a lesson to learn, wisdom yang
kita renungkan setelah seminggu kita demam berita Akidi Tio. Setelah seminggu
kita dipenuhi kisah-kisah kedermawanan Akidi Tio. Kita mulai dulu dari berita-berita mutakhir
yang kita baca. Ini dari media yang kita percaya reputasinya. Pertama dari Kompas. Ini beritanya di tanggal
2 Agustus 2021. Anak Akidi Tio ditangkap karena hoaks sumbangan Rp 2 triliun.
Kedua, berita dari Tempo, juga kita percaya
reputasi media ini. Beritanya juga terbit di tanggal 2 Agustus 2021 jam
16.49. Isi beritanya: polisi sudah melacak dana Rp 2 triliun itu tak ada. Lalu satu lagi dari Tribun News pada tanggal
yang sama, di jam 17.53. Berita ini menjelaskan bahwa ternyata Polda Sumsel
mengatakan ini bukan kali pertama putri Akidi Tio menyebarkan hoaks. Sudah
ada record sebelumnya, putri yang sama menyebarkan hoaks. Inilah berita yang berbalik mulai kemarin sore
pada tanggal 2 Agustus 2021. Baru minggu lalu kita mendengar begitu banyak
puja dan puji mengenai tokoh ini. Tokoh Akidi Tio yang tiba-tiba muncul,
tidak dikenal, dan menjadi berita yang heboh sekali. Ia menyumbangkan Rp 2 triliun. Dan apa yang
terjadi? Semua kita bahkan para pejabat negara, para akademisi, intelektual,
dan senior-senior jurnalis mengatakan: “Lihatlah Indonesia memiliki kembang Akidi
Tio. Ia menyumbangkan 2 triliun rupiah sekali sumbangan. Ia lebih hebat dari
Bill Gates, ia lebih hebat dari Jeff Bezos.” “Dan lihatlah ia begitu tidak menonjolkan
diri, rendah hati. Lihatlah rumahnya begitu sederhana. Ia menyimpan 2 triliun
rupiah tapi rumahnya begitu-begitu saja karena ia orangnya sangat simpel
hidupnya." Itu yang kita katakan minggu lalu penuh bunga
di sana-sini, semerbak harumnya. Tapi sejak sore hari tanggal 2 Agustus 2021,
berbaliklah itu kisah. Dari pujian menjadi kecaman. From hero to zero. Dari
pahlawan menjadi terperiksa dan sangat mungkin tersangka. Yang sekarang terjadi adalah umpatan di
mana-mana dengan berbagai bahasa. Bahkan sampai ada yang mengatakan
'makdikipe, jancuk'. Bermacam-macam itu komentar. Termasuk juga komentar yang sangat serius. Ada
yang mengatakan "Saudara-saudara,
sangat mungkin ini anak Akidi Tio melanggar UU no. 1 tahun 1946 pasal 15 dan
16.” “Pasal 15: Ia
menerbitkan keonaran dan kegaduhan di kalangan rakyat banyak. “ “Pasal 16: penghinaan terhadap kebangsaan dan
negara." Jadi kita lihat, dari pahlawan menjadi mungkin
terpidana hanya seminggu saja. Alangkah cepatnya public mood kita berubah.
Ini yang kalau kita ingat lagu Bimbo, 'Cinta Kilat, Cinta Seminggu'. Seminggu
saja cinta kita kepada keluarga Akidi Tio. Pertanyaannya bukan saja apa yang salah pada
keluarga Akidi Tio? Tapi juga apa yang salah pada KITA? -000- Mengapa cepat sekali kita percaya dan mengapa
cepat sekali pula kita tidak percaya? Hanya seminggu kita perlakukan satu keluarga
dari pahlawan menjadi kemungkinan tersangka. Apa yang terjadi? Kita urai dulu peristiwa ini menjadi 3 pokok
bahasan. Pertama, kisah-kisah kebaikan karena memang kita menyukai genre ini.
Dalam kisah keluarga Akidi Tio ada kisah
kedermawanan. Ada seseorang memberikan sumbangan dari dana yang dipunya. Tak
tanggung-tanggung pula Rp 2 triliun nilainya untuk membantu penyelesaian
Covid-19. Kita sedih hati di Indonesia ini, mereka yang
terpapar Covid-19 per hari pernah mencapai 50.000 dan itu terbesar di dunia. Alhamdulilah di era ini ada yang mau
menyumbangkan 2 triliun rupiah. Itu adalah kisah yang baik. Juga kisah yang baik adalah orang yang
menyumbang Rp 2 triliun ini bahkan tidak dikenal oleh para pejabat dan tokoh
di tempat ia tinggal. Kesimpulannya karena tokoh ini begitu tak ingin
menonjolkan diri. Ia sudah banyak membantu namun tak ingin
disebut namanya. Bantuannya anonim. Ia tak dikenal. Inilah contoh orang yang
punya kapasitas tapi ia rendah hati, tidak mau menonjolkan diri. Ini juga hal yang baik. Orang yang punya
resources besar tapi rendah hati. Yang baik lagi ketiga adalah ia punya dana 2
triliun rupiah tapi lihatlah rumahnya. Rumahnya tak menggambarkan orang yang
punya dana sebanyak itu. Rumahnya kelas menengah biasa saja. Tapi kesimpulan kita saat itu adalah orang ini
begitu sederhana. Ia kaya raya. Jika 2
triliun saja bisa ia sumbangkan pastilah ia menyimpan dana lebih dari itu.
Tapi Ia orang yang sederhana. Tiga hal itu adalah kisah-kisah baik dan tidak
mustahil terjadi. Dalam sejarah,
keajaiban itu selalu mungkin terjadi. Orang-orang yang berhati mulia itu
selalu datang dan pergi. -000- Lalu sekarang mengenai hal-hal janggal yang
kurang kita eksplor. Hal yang seharusnya menjadi bahan check & recheck
agar kita tak mudah tertipu. Apa datanya? Data pertama. Jika benar orang ini punya dana
lebih dari 2 triliun rupiah dan ia orang baik, pastilah orang baik membayar
pajak. Dengan sendirinya, orang yang punya dana di
atas 2 triliun akan menjadi berita dan masuk dalam list minimal 200
orang-orang pembayar pajak terbesar karena dananya lebih dari 2 triliun
rupiah. Tapi namanya tak ada dalam daftar pajak
terbesar. Dan kita menutup mata pada data ini. Data kedua yang juga seharusnya kita eksplor.
Mereka yang punya bisnis dan penghasilan serta kekayaan sehingga bisa
menyumbang 2 triliun rupiah pastilah juga mereka mengembangkan bisnis dalam
skala yang besar. Tak ada bisnis skala ecek-ecek bisa
menghasilkan 2T. Dengan sendirinya, jejak bisnis besar seharusnya ada, hidup.
Ia pasti juga punya karyawan yang minta ampun
banyaknya. Apalagi jika ini terjadi pada orang-orang masa silam yang belum
padat teknologi, sudah pasti padat karya. Tapi di mana bisnisnya itu? Tak ada yang tahu.
Kita mengembangkan isu pernah ada pabrik di sana atau di sini, tapi semua itu
tidaklah menjadi bagian bisnis yang sangat kuat gaungnya. Apa yang
bisa membuat kita percaya bahwa orang ini memang punya dana besar? Itulah data kedua yang seharusnya juga kita
kembangkan. Apalagi ada data ketiga yang kita dapatkan
dari Polda Sumsel sendiri. Ia mengatakan bahwa ini putri yang sama pernah
juga menyampaikan hoaks serupa. Pernah juga melakukan satu tindakan yang
tercatat juga diklasifikasi sebagai hoaks. Tiga data ini tidak begitu kita eksplor
mungkin karena niat baik kita pada kebajikan. Akibatnya kita pun mudah tertipu dan mudah
sekali kita membuat orang menjadi pahlawan dan seminggu kemudian menjadi
pesakitan. Terlalu mudah kita kerjakan itu. -000- Hal penting lain yang harus kita eksplor
adalah tokoh-tokoh masyarakat. Kita mencintai dan harus menjaga Gubernur
kita, Kapolda kita. Kita juga menginginkan akademisi kita juga dihormati.
Tapi mereka pun harus mengembangkan filter untuk tidak mudah percaya. Gubernur harus punya tim yang jangan dulu
bertindak sebelum tim ini mengatakan "Pak Gubernur aman, sudah kita cek,
ini benar beritanya, ini benar peristiwanya, ini mungkin benar
tindakannya." Jadi Pak Gubernur tidak menjadi saksi atas
penyerahan dana 2T yang kemudian diketahui hoaks belaka. Perlu saya katakan di sini Prof. Dr. dr. Hadi
Darmawan yang kita hormati. Ini orang tua yang kita tahu jasanya, kita hormati.
Tapi kali ini ia pun kurang mengembangkan kultur check & recheck. Terlalu cepat ia percaya pada orang yang ingin
memberikan dana 2T itu tanpa dulu ia check. Dan terlalu cepat juga ia
menyakinkan pejabat publik untuk menerima dana itu. Profesor ini terlalu cepat meyakinkan publik
luas. Bahkan dalam wawancaranya dengan Helmi Yahya yang sempat juga saya
tonton, Helmi bertanya, "Profesor apakah dana ini sudah diberikan?"
Dan ia menjawab "Ya sudah. Sudah diberikan." Terlalu cepat ia katakan itu. Masalahnya
banyak orang percaya padanya. Informasinya pun menyebar dan dipercayai.
Ternyata itu salah. Kini ada berita yang mengatakan bahwa sang
Prof. Dr. dr Hadi Darmawan mengakui ia sendiri tak tahu persis apakah yang
bersangkutan punya dana sebanyak 2T. Inilah a lesson to learn yang kita pelajari
pada masyarakat kita. Betapa kita kurang mengembangkan prinsip check &
recheck. Betapa kita terlalu mengandalkan prasangka baik. Prasangka baik adalah hal luhur tapi prasangka
baik harus juga disertai kultur check & recheck. -000- Pelajaran lain apa dari kasus ini, yang lebih
besar lagi? Kita masih hidup dalam kultur yang terlalu
mencintai dongeng dan kurang mencintai kultur sains. Dengan dongeng, kita begitu mudah percaya pada
kisah kebajikan. Memang ada moral story yang asyik dibalik dongeng.
Tapi kita tahu itu dongeng, tak masuk akal. Kultur sains adalah kultur di mana sebelum
kita meyakini sesuatu, ia harus lewat dulu pada suatu proses sistematik:
sikap skeptis. Ini sikap yang ingin menguji dulu seberapa
benar informasi ini. Maka disiapkan langkah-langkah sistematis sebagai
filter. Kasus Akidi Tio ini adalah gambaran dari
kultur kita yang terlalu mencintai dongeng-dongeng tapi kurang mencintai
kultur sains. ● Sumber asli orasi Youtube Denny JA : |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar