Harapan
Terakhir Kita Hanya Tembok di Kolong Jembatan Fauzan Mukrim ; Jurnalis dan Penulis, Menulis buku
#dearRiver dan #dearRain |
DETIKNEWS, 16
Agustus 2021
Di layar CNN
Indonesia TV Minggu (15/8) sore, saya menonton anchor Rivana Pratiwi
berdialog dengan Faldo Maldini dan Adi Prayitno. Faldo bicara sebagai Staf
Khusus Menteri Sekretaris Negara. Sementara Adi Prayitno berbicara sebagai
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, lebih khusus lagi sebagai
pengamat politik. Yang diobrolkan sebenarnya hal biasa saja: mural atau
gambar tembok. Beberapa hari
sebelumnya, sebuah mural muncul di kolong jembatan kereta api Bandara
Soekarno Hatta di Batuceper, Kota Tangerang, Banten. Menampilkan wajah
seseorang yang mirip Presiden Joko Widodo, namun pada bagian mata ditutupi
tulisan '404: Not Found'. Dalam dunia internet, kode itu menandakan error
atau hasil pencarian tidak ditemukan. Hanya sempat
bertahan beberapa hari, mural itu langsung dihapus. Yang menghapus juga tak
tanggung-tanggung: polisi dan TNI. Polisi menganggap mural itu melanggar
hukum karena melecehkan Presiden Joko Widodo sebagai lambang negara. Perintah
perburuan pun langsung dikeluarkan. Itulah yang
didiskusikan pada dialog itu. Kenapa pembuat mural harus diburu? Bukankah
seni jalanan semacam itu banyak sekali bertebaran di sekitar kita? Faldo menyebut
tak ada masalah substansial dari penghapusan dan perburuan pembuat mural itu.
Adi Prayitno menanggapi, kalau memang dianggap tidak ada masalah dengan
substansi, pelaku mural tidak perlu diburu. Cukup dihapus dan diperingatkan.
Lalu kenapa harus polisi yang turun tangan? Faldo menyebut
tindakan pembuat mural itu adalah vandalisme. Ada aturan yang dilanggar.
Faldo berkali-kali merujuk pada Pasal 489 ayat 1 KUHP. Pasal itu sendiri
berbunyi: Kenakalan terhadap orang atau barang yang dapat menimbulkan bahaya,
kerugian atau kesusahan, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus
dua puluh lima rupiah. Sementara soal perburuan pembuat mural itu, menurut
Faldo, lebih kepada restorative justice. Sebelumnya,
melalui akun Twitter @FaldoMaldini pada Jumat (13/8), Faldo menyebut,
"Mural itu, ga salah. Kalau ada ijinnya. Kalau tidak, berarti melawan
hukum, berarti sewenang-wenang. Makanya, kami keras. Ada hak orang lain yang
dicederai, bayangkan itu kalau tembok kita, yang tanpa ijin kita. Orang yang
mendukung kesewenang-wenangan, harus diingatkan." Begitu cuitan
Faldo yang belakangan di Twitter ramai disebut sebagai "Ngabalin Muda".
Faldo dianggap mengikuti jejak politisi Ali Mochtar Ngabalin yang dulu getol
mengkritik Presiden Jokowi, tapi kini menjadi bagian dari suara pemerintah. Faldo bisa
jadi ada benarnya. Bisa terbayangkan bagaimana perasaan kita ketika bangun
pagi-pagi dan melihat dinding rumah sudah digambari atau dicoret-coret orang. Cuitan Faldo
itu juga membuat saya teringat pada pengalaman sendiri. Barangkali saya
pernah begitu sewenang-wenang di masa lalu. Sekitar 20
tahun lalu, seorang dosen yang sangat saya hormati menyebut nama saya di
tengah-tengah kuliah, di depan puluhan, mungkin malah seratusan peserta
kuliah--seingat saya itu kelas besar. Dosen bilang menemukan tulisan saya di
fakultas lain tempat dia juga mengajar. Saya sudah hampir bangga dan jemawa, sampai
dia menyebut tulisan yang dimaksud: coretan spidol di kursi ruang kuliah
bertuliskan, "Ochan, Idola Wanita Shalihah". "Itu
Ochan siapa lagi kalau bukan kamu?" kata dia, yang lebih hafal nama
kecil daripada nama lengkap saya. Saya tidak
bisa berkelit. Itu memang coretan saya. Yang saya bingung, bagaimana bisa
kursi lipat Chitose yang ada papan mejanya itu bisa sampai di sana?
Mungkinkah antarfakultas ini tukar-menukar kursi kuliah? Saya sempat
mengalami masa-masa gelap nan vandal pada awal kuliah. Mengalami krisis
eksistensi dan doyan mencoret-coret. Tidak hanya di kursi atau meja ruang
kuliah. Pada tahun-tahun itu, mahasiswa-mahasiswa yang mengambil uang dari
ATM BNI pecahan 20 ribu di pelataran Auditorium Baruga Universitas
Hasanuddin, pasti akan menemukan jejak saya. Di atas lubang keluarnya uang,
saya menulis, kalau tak salah ingat, "Ochan, Pria Resmi Olimpiade
2000". Norak sekali
saya waktu itu, seolah-olah diri ini minuman berenergi. Tidak hanya
dibahas, oleh dosen, saya juga dijadikan contoh bagaimana sistem komunikasi
bekerja, sejalan dengan mata kuliah yang dia ampu. "Sebelum
ada alat komunikasi, manusia purba berkomunikasi seperti Ochan itu. Mereka
nomaden, dan meninggalkan coretan atau gambar di dinding gua untuk dibaca
oleh kawanannya yang datang belakangan." Tidak persis
demikian, tapi begitu kata sang dosen yang membuat saya tiba-tiba ingin punya
kekuatan kura-kura untuk menarik kepala ke dalam badan. Saya malu sekali, dan
sejak saat itu berjanji akan berhenti mencoret-coret tembok atau apa pun. Pengalaman itu
cukup membekas di jiwa yang rapuh ini, sekaligus menjadi pintu gerbang
kesadaran. Saya menyadari mungkin punya bakat menulis dan mencoret-coret,
yang kalau diarahkan bisa lebih berguna bagi masa depan saya. Saya tidak
menyesali apa pun. Saya bisa seperti sekarang, juga karena andil kelakuan
bodoh saya di masa lalu, seandainya itu dianggap tindakan bodoh. Saya juga
tidak bermaksud mengutuk para tukang coret-coret tembok. Bagaimana pun, seni
jalanan itu diperlukan sebagai saluran kritik. Rahman Seblat, seorang seniman
mural yang tinggal di Depok, menganggap penghapusan dan perburuan pembuat
mural di Batuceper itu berlebihan. Termasuk keharusan minta izin seperti yang
disebutkan Faldo. Dalam sebuah kesempatan wawancara di media lain, Rahman
menyebut jiwa mural itu ekspresif, spontan, dan menjadi cara seniman
merespons ruang. Seandainya pun
dianggap kejahatan, seharusnya hanya tindak pidana ringan (tipiring) yang
bisa ditangani Satpol PP. Saya cenderung sepakat dengan Rahman, bukan semata
karena ia kawan saya. Dalam beberapa hal, saya kagum pada seniman mural. Di
rumah saya punya gambar pajangan, repro dari grafiti mural Bansky yang
terkenal, Flower Thrower. Flower Thrower
(atau Flower Bomber) menggambarkan seorang demonstran yang melemparkan seikat
bunga. Grafiti mural itu aslinya digambar Banksy di dinding sebuah garasi di
jalan utama di Betlehem, Jerusalem. Bansky adalah seorang seniman mural
Inggris yang tak diketahui siapa sosok aslinya. Pada apa yang ia gambar,
orang juga hanya bisa menduga-duga apa maksudnya. Konon, mural Flower Bomber
itu adalah pernyataan sikap Banksy yang pasifis dan anti-kekerasan. Mural Banksy
selalu diharapkan kemunculannya. Orang malah berharap dinding rumahnya
"dikotori" oleh Banksy. Banksy pernah menggambar mural di pintu
sebuah bangunan, dan tak lama kemudian pintu itu sudah ditawarkan di situs
lelang. Kemarin, karya
Banksy kembali muncul setelah sekian lama. Melalui akun Instagram-nya
@banksy, Banksy mengkonfirmasi sudah membuat 10 karya seni jalanan, yang
hampir semuanya mural, di sepanjang pantai timur Inggris. Dalam unggahan
video pendeknya, ia memberi judul A Great British Spraycation untuk
serangkaian karyanya itu. Sampai saya menulis ini, video itu dan gambar
muralnya sudah ditonton lebih dari 6 juta orang. Sejak akhir
tahun lalu, Banksy memang sudah memberi pesan akan memunculkan mural barunya
di tempat yang tidak diduga. Sampai di
sini, saya jadi berpikir, bagaimana kalau mural '404: Not Found' di Batuceper
itu ternyata karya Banksy juga? Apakah Mas Faldo dan Pak Polisi masih akan
sebersemangat itu memburunya? Tapi, siapa pun yang membuat mural di Batuceper
itu, saya rasa pesannya sudah tersampaikan. Terlepas dari profilnya mirip
tokoh terkenal atau tidak, mural itu mewakili perasaan banyak orang. Di masa lalu,
mungkin kita pernah merasa begitu dekat dengan seseorang, karena ia rajin
datang, masuk ke lorong-lorong permukiman kita, menanyakan apa keperluan
kita, membagikan buku-buku tulis buat anak-anak, menghadiahi sepeda, atau
sekadar mengajak selfi. Namun sekarang kita merasa ia begitu sulit untuk kita
ajak bicara lagi. Ketika kita mencoba mendatangi rumahnya, kita terhalang
pagar tinggi, penjaga bersenjata, dan juru bicara angkuh. Begitulah,
sehingga harapan terakhir kita hanya tembok di kolong jembatan. Tidak
bermaksud menghina. Kita hanya ingin mengingatkan, barangkali ia sudah lupa
bagaimana rasanya dirindukan. ● Sumber
: https://news.detik.com/kolom/d-5683751/harapan-terakhir-kita-hanya-tembok-di-kolong-jembatan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar