Rabu, 04 Agustus 2021

 

Bom Atom dan Kemerdekaan Indonesia

Ahmad Syafii Maarif ;  Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005

REPUBLIKA, 3 Agustus 2021

 

 

                                                           

Bulan Agustus, 76 tahun silam adalah akhir Perang Dunia (PD) II, yang didahului ledakan bom atom.

 

Sebenarnya, ada perbedaan pendapat yang tajam antara panglima tertinggi sekutu di Eropa, Jenderal Dwight D Eisenhower bersama beberapa perwira tinggi tentara AS dan Presiden Harry S Truman, dalam menentukan sikap terhadap Jepang untuk mengakhiri perang pada Agustus 1945.

 

Bagi Truman, Jepang harus segera dilumpuhkan dengan bom atom yang kemudian dijatuhkan pada 6 Agustus 1945 di Hiroshima dan 9 Agustus 1945 disusul ledakan kedua di Nagasaki. Dua kota itu luluh berantakan, meninggalkan abu radio aktif yang sangat berbahaya.

Jepang dihajar dengan bom nuklir pertama kali dalam sejarah umat manusia. Dalam perhitungan Jenderal Eisenhower, Jepang akan segera bertekuk lutut tanpa dibom sekalipun.

 

Karena yang berkuasa Truman, usul Eisenhower dan koleganya tak berlaku, padahal didasarkan kajian di medan perang yang akurat. Jepang waktu itu sudah kehabisan napas untuk meneruskan perang dunia yang telah membunuh manusia 62.537.400, militer dan sipil.

 

Rakyat Indonesia yang mati akibat perang cukup tinggi, yaitu 4 juta. Korban kematian rakyat Jepang 2.600.000: militer 2 juta dan sipil 600 ribu. Sedangkan AS hanya 418.500, yakni  militer 407.300 dan sipil 11.200 orang.

 

Angka kematian tertinggi diderita Cina sebanyak 10 juta: sipil 7 juta, sedangkan militer 3 juta. Karena tulisan ini bukan untuk mengulas PD II, kita cukupkan dengan menuliskan angka-angka korban yang dibatasi pada empat negara itu saja.

 

Apa kaitannya antara bom atom dan proklamasi kemerdekaan Indonesia? Bahwa Indonesia pasti merdeka pada suatu saat yang tidak terlalu lama, sudah diperkirakan Bung Hatta dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan Den Haag pada 28 Maret 1928.

 

Maka itu, ledakan bom atom di Jepang seperti disebut di atas, hanyalah mempercepat proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, yang memang sudah dirintis sejak abad ke-19 berupa perang-perang sporadis, yang dilancarkan para patriot nusantara.

 

Perjuangan kemerdekaan itu semakin terorganisasi dengan baik pada abad ke-20, yang dipelopori pergerakan nasional Indonesia.

 

Setelah penjajah Belanda diusir secara hina tanpa perlawanan oleh pasukan Jepang pada Maret 1942, Indonesia untuk 3,5 tahun ke depan punya bos baru: si mata sipit yang tidak kurang kejamnya terhadap rakyat di kepulauan ini.

 

Ingat, romusha (pengiriman puluhan ribu pemuda dari Jawa untuk kerja paksa di luar Jawa) dimulai pada 1943 oleh penguasa Jepang. Seusai perang, hanya sebagian kecil pemuda kita itu yang selamat kembali ke kampung halamannya.

 

Sejumlah besar telah hilang selama kerja paksa itu dalam keadaan sangat kurus kering. Juga praktik iyanfu (gadis-gadis sejumlah negara, termasuk Indonesia, dijadikan perbudakan seks oleh tentara pendudukan Jepang) sampai hari ini belum terbongkar seluruhnya.

 

Tentara mata sipit ini sungguh tak punya rasa kemanusiaan sama sekali saat memerkosa perempuan negeri taklukannya. Sisa mantan iyanfu ini sekarang berusia sangat lanjut, sebagian masih sempat menuturkan penderitaannya sebagai budak seks tentara Jepang itu.

 

Sayang, Pemerintah Jepang dan Indonesia sampai hari ini tak serius mengurus perempuan bernasib sangat malang ini. Nasib rakyat terjajah memang sangat memelas, bergerak dari penderitaan satu ke penderitaan lain dalam mata rantai yang panjang.

 

Karena itu, kemerdekaan bangsa punya nilai sangat tinggi dan mulia. Sekalipun Jepang sudah kalah, proses deklarasi kemerdekaan Indonesia tidak mulus. Terjadi pertentangan politik domestik antara golongan pemuda dan golongan tua Sukarno-Hatta.

 

Pemuda menilai, golongan tua tidak revolusioner untuk segera menyatakan kemerdekaan.

 

Peristiwa Rengasdengklok berupa penculikan golongan pemuda terhadap Sukarno-Hatta pada pertengahan Agustus 1945 adalah bagian menyatu dengan derap revolusi Indonesia, yang kadang-kadang tidak terkendali itu.

 

Bentakan Sukarno terhadap ancaman pemuda Wikana sebelum penculikan adalah bukti gesekan tajam antara dua pendapat berbeda itu. Golongan pemuda memaksa Bung Karno segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

  

Inilah kesaksian Bung Hatta: Mendengar ancaman itu Sukarno naik darah, menuju pada Wikana sambil menunjukkan lehernya dan berkata: “Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga, jangan menunggu sampai besok.”

 

Bentakan ini membuat Wikana terperanjat: “Maksud kami bukan untuk membunuh Bung…” (Lih. Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm 445).

 

Tentara Jepang yang sudah kalah masih sering beraksi brutal terhadap rakyat Indonesia dan perlawanan dari pihak kita terhadap pasukan itu juga tidak kurang gigihnya dengan korban pada kedua belah pihak.

 

Harga sebuah kemerdekaan itu sungguh mahal. Indonesia telah menebusnya dengan nyawa, kehormatan, dan derita rakyat yang meninggalkan luka sangat dalam. Saya tidak tahu, apakah ledakan bom atom itu seimbang dengan kekejaman Jepang terhadap rakyat jajahannya? Allahu a’lam!

 

Sekalipun mungkin banyak pemuja Jepang di negeri ini, kelakuan biadab tentaranya saat PD II tidak boleh dilupakan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar