Sabtu, 03 April 2021

 

Satu yang ”Tabu” Sudah Diterabas

 Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas

                                                         KOMPAS, 03 April 2021

 

 

                                                           

Pakar hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, melalui akun Twitter-nya mencuit: ”Mari ucapkan selamat kepada siapa pun, melalui SP3 kasus korupsi pertama KPK dengan UU KPK hasil revisi”. Gaduhlah jagat Twitter meski isu tersebut tak sampai trending.

 

Kamis, 31 Maret 2021, boleh jadi menjadi hari bersejarah. Sejarah untuk pertama kali KPK ”menyerah” dan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk kasus korupsi dengan tersangka korupsi Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

 

Seorang eks menteri pada era Presiden Jokowi mengirim pesan. ”Satu-satu yang tabu sudah mulai diterabas,” tulisnya. Dalam desain UU KPK yang digagas dan dipikirkan sejumlah aktivis antikorupsi, penghentian penyidikan kasus korupsi adalah sesuatu yang tabu. Karena itulah, KPK tidak diberi wewenang menerbitkan SP3.

 

Mengapa SP3 dianggap tabu? Dalam praktik, SP3 kadang dijadikan alat transaksional. KPK tak diberi hak menghentikan penyidikan agar KPK berhati-hati dalam menetapkan tersangka. Setiap penetapan tersangka harus sudah disertai dua alat bukti yang cukup untuk membawa tersangka ke meja hijau.

 

KPK dibangun dengan semangat antikorupsi yang masih bergemuruh. Ketika rakyat dan elite bersama-sama memerangi praktik korupsi era Orde Baru. Lahirlah Tap MPR XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

 

Kini, zaman telah berubah. Berkuasa itu punya privilese melakukan ini dan melakukan itu, termasuk melakukan nepotisme. Nepotisme melalui koncoisme ataupun nepotisme lewat jalan demokrasi. Semangat antikorupsi melemah. Uang korupsi dianggap sebagai oli pembangunan. Tata kelola diabaikan. Landasan etis moral dikesampingkan. Beredar potongan video, seorang pejabat menganjurkan kepada seseorang melakukan politik uang dalam pemilihan ketua organisasi. ”Mainkan dulu barang ini. Ambil uangnya abang ini, halal,” demikian katanya.

 

UU KPK yang selama ini dilindungi publik jebol juga. Revisi UU KPK yang digagas anggota DPR dan disetujui Presiden Jokowi—meski kemudian Presiden Jokowi tidak menandatanganinya—memberikan ruang kepada KPK untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan perkara korupsi yang terkatung-katung dua tahun tak jelas penyelesaiannya. Dan, pasal itu dipakai KPK menghentikan penyidikan kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

 

Pada 10 Juni 2019, KPK menetapkan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, baik Sjamsul maupun Itjih tidak pernah memenuhi panggilan KPK. Keduanya dikabarkan berada di Singapura. Kuasa hukum keduanya, Otto Hasibuan, memprotes penetapan tersangka itu.

 

Menurut Otto, kasus Sjamsul telah selesai 20 tahun lalu melalui penandatanganan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). ”Penandatanganan MSAA dipenuhi pada 25 Mei 1999 sebagaimana dinyatakan pemerintah dalam surat release and discharge atau pembebasan dan pelepasan, serta akta notaris letter of statement,” ujar Otto, Rabu (19/6/2019), di Jakarta (Kompas, 20/6/2019). Model penyelesaian BLBI juga sudah disepakati MPR. MPR adalah payung politik.

SP3 untuk Sjamsul menimbulkan kontroversi. Hal itu wajar saja. Kasus BLBI sangat politis. Seharusnya bisa dipilih dan dipilah model penyelesaian mana di kasus BLBI yang betul-betul belum tuntas. Karena faktanya ada obligor taat, ada obligor yang tidak taat.

 

Revisi UU KPK memberikan dasar kepada pimpinan KPK menerbitkan SP3, dan ruang itu telah dimanfaatkan KPK. ”Demi kepastian hukum,” kata Alexander Marwata dalam jumpa pers menjelaskan penerbitan SP3 Sjamsul.

 

Sejumlah kasus mangkrak memang ada di KPK. Namun, baru Sjamsul dan Itjih yang dihentikan penyidikannya. Kasus mangkrak Pelindo II dengan tersangka RJ Lino telah ditindaklanjuti. Lino bahkan telah ditahan KPK. Kasus Emirsyah Satar yang juga sempat mangkrak sudah di persidangan. Masih ada beberapa orang yang masih buron. Mungkin menunggu dua tahun sampai kasusnya dihentikan KPK.

 

Spekulasi bermunculan. Saatnya KPK menjelaskan dengan detail argumen dan latar belakang penerbitan SP3 Sjamsul. Saatnya juga Dewan Pengawas KPK menjelaskan sikapnya soal SP3 tersebut. Dewan Pengawas tentunya dilapori pimpinan KPK ketika menghentikan penyidikan kasus Nursjalim. Komunikasi publik ini perlu menjawab berbagai spekulasi di masyarakat.

 

Jika memang segala daya upaya KPK menemukan bukti sudah dilakukan dan tidak ditemukan bukti itu, publik tentunya harus maklum. KPK memang menyerah. KPK gagal menemukan bukti. Itu berarti penetapan tersangka Sjamsul Nursalim pada 10 Juni 2019 adalah sebuah langkah ceroboh.

 

Undang-Undang KPK memberikan jalan lain untuk menguji penerbitan SP3 melalui praperadilan, dan KPK bisa diminta membuka penyidikan jika ditemukan alat bukti lain atau ada putusan praperadilan. Alat bukti apa yang pernah dimiliki KPK saat pengumuman tersangka pada 10 Juni 2019 dan apa alasan di balik penerbitan SP3 pada 31 Maret 2021 sebaiknya dibuka.

 

Dengan keterbukaan, publik bisa ikut menilai penetapan tersangka 10 Juni 2019 dan penghentian penyidikan 31 Maret 2021. Apakah KPK sudah bekerja dan tak menemukannya atau memang KPK tak bekerja sehingga tak ada perkembangan penyidikan. Jangan sampai pintu tabu SP3 yang sudah terbuka menjadi modus tersangka untuk meninggalkan Tanah Air dulu guna menghindari KPK sampai batas dua tahun berlalu sehingga KPK menghentikan penyidikan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar