Sabtu, 03 April 2021

 

Renungan Paskah: Kebangkitan Iman dan Kemanusiaan

 Al Andang L Binawan ; Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

                                                         KOMPAS, 03 April 2021

 

 

                                                           

“Jalan kematian adalah derap galau bersekap gelap, menjinjing ketakutan, menikam jiwa, perlahan. Tulang-tulang mendekam dalam kelam. Tak mampu budi memahami. Pedih sekali. Sampai kapan semua ini?”

 

Katherine Porter, dalam novelnya, ”Pale Horse, Pale Rider” (1939)

 

Dengan merujuk Kitab Wahyu 6:8 yang melukiskan munculnya kuda pucat (pale horse) pembawa maut, ia melukiskan suasana menghadapi pandemi flu Spanyol tahun 1918. Ungkapannya mencerminkan kegundahan orang-orang dalam menghadapi ketidakpastian dan kematian akibat pandemi. Mirip kegundahan kita saat ini.

 

Pandemi Covid-19 ini terasa sebagai jalan salib kemanusiaan, berat, tetapi harus ditanggung. Pandemi juga menjadi Sabtu sepi. Gereja-gereja senyap tanpa geliat umat yang beribadat. Tak ada lagu-lagu merdu. Tak terdengar khotbah yang menggebu. Hanya sendu. Sampai kapan semua ini? Itu juga pertanyaan kita, menatap nyala harap pada hari kebangkitan Tuhan.

 

Dalam terang iman, diyakini bahwa di ujung jalan salib panjang ada kebangkitan. Itulah harapan yang memberi makna penderitaan. Itu pula pesan pokok perayaan kebangkitan di hari Minggu Paskah. Sederhana sebenarnya.

 

Tak ada yang melihat Yesus bangkit. Yang ada hanya kisah tentang kubur kosong dan juga kisah-kisah penampakan. Namun, ada kisah Yesus yang membingkai kebangkitan sebagai peristiwa iman. Setelah mengusir para pedagang dari Bait Allah, Yesus berkata, ”Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.” (Yohanes 2: 19).

 

Kebangkitan Yesus, sebagai peristiwa iman, menjadi nyala harapan yang patut dirayakan meski tetap dengan catatan. Pertama, kemenangan itu harus dilalui dengan penderitaan sebagai pemurnian. Kedua, kemenangan itu bersifat rohani, bukan lagi kemenangan jasmani.

 

Kebangkitan iman

 

Apakah iman mati suri selama pandemi? Ternyata tidak. Pew Research Center, Amerika Serikat, menyodorkan bukti. Dalam riset yang dipublikasikan Oktober 2020, tampak bahwa setidaknya 28 persen pemeluk agama di AS merasakan imannya diperkuat oleh pandemi. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan pemeluk agama di negara lain.

 

Iman yang bertumbuh, dalam ajaran Yesus, berarti hubungan yang makin personal dengan Tuhan. Manusia makin membiarkan Tuhan meraja dalam dirinya. Perumpamaan Tuhan yang mengetuk pintu agar bisa masuk dan makan bersama-sama dengan kita (Wahyu 3:20) merangkum isi iman Kristiani.

 

Makan bersama dengan Tuhan adalah Paskah abadi. Namun, agar manusia bisa mendengarkan ketukan Tuhan yang datang, ia perlu berkonsentrasi dan menipiskan daun pintunya. Itulah pemurnian. Itulah jalan salib kehidupan.

 

Kitab Wahyu 3:19 mengatakan, ”Barang siapa Kukasihi, ia Kutegur dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah.”

 

Kosongnya tempat ibadah adalah pemurnian iman. Sejatinya, iman bertumpu di hati dan di bilik sunyi sendiri, bukan di meriahnya perayaan.

 

Rumah Tuhan tidak hanya di gereja, tetapi di kedalaman lubuk jiwa juga. Dengan pandemi, Tuhan makin tampak sebagai Allah Bapa yang bijaksana. Ia tidak hanya memeluk, menghibur, melindungi dan mengampuni. Ia Bapa yang Mahakasih, justru karena ”menegur dan menghajar” kita.

 

Itulah pemurnian iman, yang menunjuk pada harapan kebangkitan. Peristiwa kebangkitan menawarkan Bait Allah yang baru, bukan Bait Allah dari batu, melainkan Bait Allah rohaniah. Setelah dimurnikan oleh pandemi, selayaknya hubungan personal dengan Tuhan tidak lagi ditumpangi motivasi-motivasi kekayaan, kekuasaan, bahkan juga kebanggaan, apalagi kedok keserakahan.

 

Kebangkitan kemanusiaan

 

Pandemi bukan hukuman Tuhan, melainkan jalan pemurnian. Pandemi tidak hanya mengasah iman, tetapi juga memurnikan kemanusiaan. Itu pula kira-kira pendapat banyak orang beriman dalam melihat pandemi seperti yang ”dipotret” oleh Pew Research Center.

 

Dengan pandemi, manusia semakin belajar berbagi karena sadar bahwa ia tak bisa hidup sendiri. Dengan pandemi, manusia belajar ugahari karena keserakahan merusak Bumi.

 

Perayaan kebangkitan Tuhan memberi makna lebih dalam. Ia yang bangkit secara rohani mengingatkan manusia akan hidup sejati. Sebagai jalan, kebenaran, dan hidup (Yohanes 14:6), Ia memberi pedoman dan menjadi teladan bagaimana meniti hidup.

 

Tumpuan kehidupan adalah sukma, bukan jiwa, apalagi raga. Sukma adalah tumpuan kebahagiaan, sementara raga hanya tumpuan kesenangan.

 

Apakah berarti raga dan jiwa tak perlu dijaga? Tidak juga.

 

Dalam penampakan sesudah kebangkitan, Yesus pernah meminta lauk-pauk untuk sarapan (Yohanes 21:5). Secara tidak langsung dikatakan-Nya bahwa memelihara raga perlu asal dalam proporsinya.

 

Cakrawala rohani bukan hanya memberi makna hal-hal ragawi, melainkan juga mengingatkan manusia agar tak terkungkung kenikmatan duniawi.

 

Karena itu, kemanusiaan yang bangkit bersama Yesus adalah kemanusiaan yang bersifat rohani, yang senantiasa memeluk sukma dalam seluruh gerak kehidupannya. Manusia yang memeluk sukma adalah manusia yang bisa hidup sederhana, yang melihat kehadiran Tuhan dalam sesama, yang memandang semua yang ada di atas bumi bersaudara. Ia selalu bersyukur dalam hati. Ia selalu peduli. Ia terus berbagi.

 

Manusia rohani

 

Sebagai manusia yang mengutamakan sukma, kelak kita akan bisa menyambut kedatangan kuda putih dengan penunggangnya, alih-alih kuda pucat yang menggendong kematian (Wahyu 6:8), yang akan menghakimi kita (Wahyu 19:11-16).

 

Dalam ungkapan Katherine Porter di pengujung novelnya, sebagai manusia rohani kita berucap, ”Tak ada lagi perang. Tak ada lagi wabah. Yang ada hanya senyap yang terdekap, limbung dalam bungkam mesiu. Rumah-rumah lelap tanpa suara, menyeret siluet senja. Jalanan sepi, menggenggam temaram esok hari. Kini, waktu kita melakukan sesuatu.”

 

Ya, mari kita melakukan sesuatu sebagai manusia rohani, dalam semangat kebangkitan Tuhan. Selamat Paskah! ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar