Jumat, 09 April 2021

 

Peningkatan Rasio Pajak dan Reformasi Perpajakan

 Haryo Kuncoro ; Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Direktur Riset The Socio-Economic & Educational Business Institute Jakarta

                                                         KOMPAS, 07 April 2021

 

 

                                                           

Penerimaan negara dari pos perpajakan terus mendapat sorotan tajam dalam beberapa tahun belakangan ini, terutama saat pandemi Covid-19.

 

Pelemahan ekonomi global dan ekonomi domestik membawa imbas pada kekurangan (shortfall) penerimaan pajak.

 

Di satu sisi, pemerintah memilih opsi insentif perpajakan dan stimulus fiskal dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 mengamanatkan rasio defisit mulai 2023 harus kembali ke pakem semula, yaitu maksimum 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

 

Alhasil, pemerintah punya tugas berat terkait dengan penurunan angka defisit dalam format konsolidasi fiskal. Konsolidasi fiskal ditandai dengan peningkatan penerimaan dan/atau mengurangi belanja. Kegagalan konsolidasi fiskal berakibat pada tambahan pembiayaan utang guna menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

 

Opsi pada pengurangan belanja negara agaknya akan dihindari. Selain berisiko pada periode resesi ekonomi yang semakin panjang, mayoritas belanja negara juga bersifat wajib (mandatory spending). Lagi pula, rasio belanja pemerintah terhadap PDB masih sangat kecil, yakni 10 persen.

 

Pilihan pada peningkatan penerimaan, terutama pajak, tampaknya masih terbuka lebar.

 

Kerapuhan struktur

 

Rasio pajak terhadap PDB mengalami tren penurunan. Rasio pajak juga masih rendah, jauh di bawah standar negara berpenghasilan rendah yang adalah 15 persen. Apalagi dibandingkan dengan 30 persen di negara-negara maju (Peralta-Alva et al, 2018).

 

Hanya, meningkatkan rasio pajak tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Pasalnya, penerimaan pajak tidak elastisitas dengan perkembangan ekonomi. Sebagai rujukan, elastisitas pajak sebelum pandemi sekitar 0,4. Artinya, penerimaan pajak hanya tumbuh 0,4 persen sebagai akibat dari 1 persen pertumbuhan ekonomi.

 

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah lebih rendahnya peningkatan penerimaan pajak relatif terhadap pertumbuhan ekonomi disebabkan minimnya kemampuan pengumpulan pajak atau memang obyek pajaknya yang tak tumbuh alias tak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi.

 

Secara teoretis, keduanya punya probabilitas yang sama untuk terjadi. Output sektor pertanian dihitung sebagai komponen PDB yang kemudian digunakan sebagai basis perhitungan pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDB masih signifikan, sekitar 13 persen.

 

Akan tetapi, tidak semua produk pertanian terjamah pajak. Sektor informal dan UMKM banyak bergerak di sektor pertanian belum tersentuh pajak. Kontribusi sektor pertanian pada penerimaan pajak di Indonesia hanya 1,9 persen. Bahkan, bukti empiris lintas negara menunjukkan ada korelasi negatif antara sektor pertanian dan rasio pajak.

 

Penerimaan sumber daya alam (SDA) justru lebih sensitif terhadap harga komoditas di pasar ekspor. Dengan karakteristiknya yang ekstraktif, sektor SDA memiliki keterkaitan yang lemah dengan sektor-sektor industri lain. Artinya, dinamika sektor SDA tidak mendorong aktivitas ekonomi turunannya.

 

Lebih lanjut, penerimaan SDA bertalian dengan perolehan Pajak Penghasilan (PPh) badan pengelolanya. Kontribusi wajib pajak (WP) besar ini mencapai 30 persen dari total penerimaan pajak. Artinya, ada semacam ketergantungan terhadap WP besar. Artinya, di sini ada isu keberlanjutan penerimaan yang dipertaruhkan.

 

Dominasi PPh badan seolah mempertegas kecilnya kontribusi PPh orang pribadi (OP). Penerimaan PPh OP hanya 10 persen dari perolehan PPh. Padahal, praktik terbaik internasional menyimpulkan negara dengan perolehan PPh OP yang kuat juga tangguh dalam mengimplementasikan kebijakan fiskal (IMF, 2020).

 

Kerapuhan struktur perpajakan juga tecermin dari perimbangan antara penerimaan PPh OP dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN adalah pajak tidak langsung. Pembayar pajak tak langsung bisa menggeserkan kepada pihak lain. Ringkasnya, PPN memiliki efek pada sebaran beban akhir pajak yang berdampak pada distribusi pendapatan.

 

Reformasi perpajakan

 

Sampai di sini, beberapa persoalan fundamental perpajakan di atas dengan sendirinya memberikan arah bagi reformasi perpajakan. Peningkatan rasio pajak menghendaki reformasi perpajakan yang komprehensif. Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan, toh, sudah masuk dalam Prolegnas 2021-2024.

 

Alhasil, upaya peningkatan rasio pajak secara makro perlu diawali dengan mentransformasi ”ekonomi bawah tanah” (underground economy) menjadi ekonomi riil sehingga bisa terjangkau pajak. Ekonomi bayangan (shadow economy) di Indonesia sangat material, yakni mencapai 26,6 persen terhadap PDB (Medina dan Scheneider, 2018).

 

Diversifikasi sumber perolehan pajak juga terbuka diarahkan pada sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi. Ekonomi digital, ekonomi kreatif, dan pariwisata layak dijadikan sebagai wahana penerimaan pajak. Perkembangan tersebut perlu diakomodasi dengan menjalin kerja sama dengan negara-negara lain.

 

Menggenjot penerimaan pajak tidak melulu soal tarif dan ekstensifikasi. Memperluas basis pajak dengan memerangi penghindaran dan penggelapan pajak juga memainkan peran penting. Reformasi struktural perpajakan lewat penagihan yang efisien dan introduksi pajak tak distortif juga mengurangi beban kerugian ekonomi.

 

Di lingkup internal otoritas pajak, mengoptimalkan pemanfaatan data perpajakan dari program amnesti pajak, pertukaran informasi keuangan secara otomatis, dan pihak ketiga bisa menjadi acuan untuk mengukur kepatuhan WP. Salah satu faktor pendorong kepatuhan WP dalam sistem self assessment adalah ketersediaan data yang valid.

 

Beberapa hal di atas mutlak dimasukkan ke dalam agenda konsolidasi fiskal pada masa mendatang. Dengan basis pajak yang lebih andal, penerimaan pajak dalam negeri niscaya akan elastis terhadap kondisi ekonomi nasional. Pada akhirnya, predikat pajak sebagai soko guru pendapatan negara pun melekat berkelanjutan. Semoga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar