Satu
Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno Daniel Dhakidae ; Kepala Litbang Kompas |
KOMPAS,
1 Juni
2001
Biografi yang ditulis oleh orang lain,
apalagi dalam kategori as told to selalu membagi dua pendapat antara yang
memuja dan mencaci-makinya. Tentang biografi semacam itu, sastrawati Inggris,
profesor sastra dari University College, London, AS Byatt, mengatakan
sebagai: ... bentuk rusak dan upaya mengejar
pengetahuan murahan. Cerita tuturan mereka yang tidak mampu menangkap
penemuan sejati, cerita sederhana bagi orang yang tidak mampu menyelam lebih
dalam. Bentuk rumpi dan kekosongan jiwa yang sakit (”On Histories and Stories, Selected Essays”, dalam The New York Times,
18 Maret 2001). Penilaian sekeras ini kontraproduktif
karena kalau semata-mata itu yang dipakai, hampir tidak terbuka kemungkinan
mengenal seorang lain melalui naskah-naskah warisan. ”Tales
of the two presidents” Ini juga berlaku dalam hal dua orang yang
pernah menjadi presiden Indonesia. Presiden Soekarno dan Soeharto, sama
sekali tidak ada waktu menulis otobiografinya sendiri, karena itu suasana
batinnya tidak pernah diketahui umum secara ”asli”. Soekarno dengan seluruh
kemampuan intelektualnya untuk merenung, mencernakan, dan menulis tidak
pernah meluangkan waktu menulis tentang dirinya sendiri selain beberapa
keping cerita anekdotal yang tercecer sana-sini. Soeharto tidak pernah
terbukti menulis sesuatu yang berarti untuk publik, selain pidato-pidato
kepresidenan dengan intervensi begitu banyak tangan dan otak. Namun, kalau biografi as told to menjadi
satu-satunya sumber yang bisa dipakai, maka berikut ini adalah ”ucapan asli”
dengan mana kedua presiden itu mengungkapkan dirinya—Soekarno kira-kira
beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun 1965 kepada penulis Amerika,
Cindy Adams, dalam buku Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams,
pada saat Soekarno berumur 65 tahun; Soeharto kira-kira beberapa waktu sebelum
atau di sekitar tahun 1989 kepada dua penulis Indonesia, Dwipayana dan
Ramadhan, dalam buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,
Otobiografi Seperti Dipaparkan Kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH, pada saat
Soeharto berumur kira-kira hampir sama, 67 tahun. Membandingkan apa yang dikatakan kedua
orang ini tentang dirinya mungkin bisa memberikan wawasan tentang kepribadian
masing-masing dan apa yang dibuatnya. Tentang dirinya Soekarno mengatakan: ”Aku adalah putra seorang ibu Bali dari
kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir
Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden
Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti ’Tuan’. Bapak
adalah keturunan Sultan Kediri.... Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda
bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun
kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan
suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli- warisnya.” Suatu yang sangat berbeda berlangsung
dengan Soeharto, yang tentang dirinya berkata: ”Ayah saya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu,
petugas desa pengatur air, yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan
selama beliau memikul tugasnya itu.... Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro
alias Kertorejo ... yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkal pun.” Apabila diperhatikan, ada beberapa
perbedaan besar yang menarik perhatian di antara keduanya. Pertama, keturunan
ningrat langsung saja diangkat Soekarno, baik dari pihak ibu maupun dari
pihak bapak. Dari pihak ibu garis keturunan disusur-mundur sampai ke Raja
Singaraja, Bali, dan dari pihak ayah disusur-mundur sampai ke Sultan Kediri,
yang kelak berurusan dengan kerajaan besar Majapahit. Sedangkan Soeharto hanya menyebut Desa
Kemusuk, desa kecil di luar Kota Yogyakarta, dan pangkat bapaknya seorang
”ulu-ulu, petugas desa pengatur air”. Kedua, bukan saja keningratan,
melainkan adanya suatu suratan takdir bahwa Soekarno, bukan karena kemauannya
atau keinginan pribadinya akan tetapi sejarah menetapkan demikian, akan dan
bahkan harus memimpin Indonesia karena dari asal-muasal sebagai bagian dari
the ruling class. Ketiga, meski dengan seluruh kesadaran
tentang ”silsilah” ke masa lalu dan suratan takdir ke masa depan tidak satu
kata pun disebut Soekarno tentang harta, milik, atau kekayaan apa pun.
Sebaliknya, Soeharto sudah dalam halaman-halaman pertama membicarakan
harta-tanah sejengkal, tanah jabatan, pangkat bapaknya, yang dalam
halaman-halaman susulannya berbicara lagi tentang kambing, baju, dan
lain-lain lagi—meski semuanya dihubungkan dengan ”...banyak penderitaan yang
mungkin tidak dialami oleh orang- orang lain”. Keempat, Soekarno bukan saja berbicara
tentang keningratan, suratan takdir, kelas berkuasa, dan memerintah akan
tetapi tentang freedom of the people, suatu cita-cita abstrak-filosofis
tinggi yang mencerminkan idealisme Soekarno-isch. Semuanya ini tentu saja
berhubungan dengan kekuasaan, power, akan tetapi Soekarno tidak berbicara
tentang kekuasaan dirinya. Dia berbicara tentang kelas berkuasa dan bukan
tentang dirinya dan kekuasaan akan tetapi suratan takdir untuk memimpin. Dalam hal Soeharto bisa dilihat sesuatu
yang berbeda karena Soeharto berbicara tentang kekuasaan. Hal itu bisa
diperiksa hanya dalam satu halaman sebelumnya ketika Soeharto kepada
pewawancara untuk penulisan bukunya, dengan bangga dan sedikit sombong,
mengenang saat ketika dia berdiri di depan forum dunia tahun 1985 di Food and
Agriculture Organization, FAO, milik PBB, di kota Roma: Saudara bayangkan, seorang yang lebih dari
enam puluh tahun ke belakang masih anak bermandi lumpur di tengah kehidupan
petani di Desa Kemusuk saat itu naik mimbar dan bicara di depan sekian banyak
ahli dan negarawan dunia, sebagai pemimpin rakyat yang baru berhasil
memecahkan persoalan yang paling besar bagi lebih dari 160 juta mulut. Suatu loncatan besar dari suatu desa kecil
di Yogyakarta, ke Roma, kota metropolitan; dari seorang anak berlumur lumpur
di Kemusuk yang langsung dihubungkan dengan mimbar yang harus dipahami dalam
arti ex cathedra, dan berbicara, yang juga harus dipahami lebih dalam arti
memberikan maklumat di depan para ahli dan negarawan dunia. Dia menyebut dirinya pemimpin rakyat sambil
menjejerkan prestasinya—bukan dalam hubungan dengan freedom of the people
akan tetapi dengan kemampuannya memecahkan soal paling besar; bukan soal
abstrak-filosofis Soekarno-isch, akan tetapi persoalan ”lebih dari 160 juta
mulut”. Ketika dia menyebut rakyat, maka dia reduksikan rakyat itu menjadi
bukan orang akan tetapi mulut. Satu
abad bersama Nusantara Dengan itu sebagai titik tolak idealisme,
sense of destiny, dan apa yang dicapainya, penerbitan khusus ini mau
memeriksa Soekarno pada hari ulang tahunnya yang ke-100 sebagai suatu gejala
historis. Kalau Soekarno sendiri mungkin tidak dengan mudah menilai dirinya,
semakin besar pula kesulitan itu untuk kita. Kesulitan itu semakin besar lagi ketika
kita harus memeriksa kembali diri Soekarno—30 tahun setelah meninggalkan
dunia ini, 45 tahun setelah dijatuhkan Soeharto, dan 100 tahun setelah
dilahirkan ibunya. Semuanya menjadi suatu kompleks dari persoalan karena
meninggalnya 30 tahun lalu bukan sekadar seorang yang memenuhi nasib Sein zum
Tode akan tetapi karena kematiannya semakin menimbulkan soal lagi, betulkah dia
mati wajar? Kejatuhannya lebih membingungkan ketika
semuanya berpusat pada pembunuhan enam jenderal—betulkah PKI yang membunuh
dengan konsekuensi menjatuhkan Soekarno pelindungnya adalah keharusan, atau
mereka dibunuh oleh anak buahnya sendiri para perwira militer bawahannya dan
dengan itu tidak perlu menjatuhkan Soekarno. Hannah Arendt tidak mengalami kesulitan
ketika harus mengucapkan eulogia kepada Karl Jaspers, filosof
eksistensialis—teman, kolega, yang mendapatkan hadiah perdamaian Jerman.
Tidak ada kata yang lebih pantas, demikian Arendt, daripada puja-pujian,
laudatio, karena, sambil mengutip Cicero dikatakannya, ”in laudationibus...ad
personarum dignitatem omnia referrentur”, dalam puja-pujian semuanya mengacu
kembali kepada kebesaran pribadi-pribadi itu, terutama karena mereka
membuktikan dirinya dalam hidup. Di sana justru letak seluruh kegemasan
memeriksa Soekarno, karena jajaran antara dignitas personae dan pembuktian
diri dalam hidup tidak selalu seiring, apalagi persoalan yang ditinggalkan Soekarno,
seperti konsekuensi ekonomi-politik dan karena itu kemanusiaan yang berasal
dari keputusan-keputusannya. Menilai Soekarno semata-mata dari
kebesarannya—kalau bukan pendasar maka Soekarno adalah penganjur paling vokal
nasionalisme Indonesia, proklamator kemerdekaan—selalu membingungkan dan juga
memusingkan karena di samping kebesaran di sana langsung menyusul kekerdilan,
di samping kecemerlangan langsung menyusul diletantisme, di samping
keberanian revolusioner langsung saja menyusul kekecutan, dan ke-pengecut-an.
(Baca: Valina Singka Subekti) Di pihak lain, mengecilkan Soekarno hanya
karena persoalan yang ditinggalkannya—semua masalah pra dan pasca-peristiwa
tanggal 1 Oktober 1965, pembunuhan jenderal-jenderal oleh para perwira
bawahannya—sungguh menyesatkan dari satu ujung ke ujung lainnya dan bagi
generasi-generasi berikutnya menjadi penipuan terencana. Lantas pertanyaan—untuk siapa pun yang
berminat memeriksa Soekarno secara sungguh-sungguh—harus diajukan kembali
lagi ke dasar paling awal: siapa Soekarno? Apa yang dibuat Bung Karno? Apa
yang ditinggalkan Presiden pertama Republik Indonesia, Pemimpin Besar
Revolusi, dan Penyambung Lidah Rakyat? Satu
abad Nusantara bersama Soekarno Soekarno adalah seorang cendekiawan yang
meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya
pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan
dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Namun, dari dua jilid ini
hanya jilid pertama yang boleh dikatakan paling menarik dan paling penting
karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman
tersebut tulisan pertama yang berasal dari tahun 1926, dengan judul
”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang paling menarik dan mungkin paling
penting sebagai titik tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa
mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun—kira-kira pada umur yang sama ketika
Marx, 30 tahun, dan Engels, 28 tahun, menulis Manifesto Partai Komunis. Marx dan Engels membuka manifestonya dengan
kata-kata ”a spectre is haunting Europe—the spectre of Communism”, ada hantu
yang menggerayangi Eropa—hantu komunisme. Soekarno membuka tulisannya dengan
suatu pernyataan keras, semacam Manifesto Soekarno-isch: Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja
dalam zaman perdjoangan, maka Indonesia-Muda inilah melihat tjahaja hari
pertama-tama dalam zaman jang rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan
tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja, tak senang
dengan nasib-politiknja, tak senang dengan segala nasib jang lain-lainnja.
Zaman ”senang dengan apa adanja”, sudahlah lalu. Zaman baru: zaman muda,
sudahlah datang sebagai fadjar jang terang tjuatja. Paralelisme antara manifesto Marxis dan
manifesto Sukarno-isch bisa dilihat di sini. Soekarno membuka manifestonya
yang sarat dengan simbolisme ketika di sana dikatakan tentang Suluh Indonesia
Muda, majalah bulanan yang didirikannya sebagai organ organisasi Algemeene
Studie Club, yang juga didirikannya: ”Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja
dalam zaman perdjoangan”. Dalam imaji Soekarno, Suluh harus menjadi
secerdik-cendekia Gatotkaca, sesakti dan seulet tokoh wayang itu yang menjadi
orang terakhir yang mengembuskan napasnya di tangan pamannya sendiri. Imaji
Soekarno tentang Gatotkaca tidak jauh dari imaji orang Jawa umumnya tentang
Gatotkaca, yakni berani tak mengenal takut, teguh, tangguh, cerdik-pandai,
waspada, gesit, tangkas dan terampil, tabah, serta mempunyai rasa tanggung
jawab yang besar. Ia sangat sakti sehingga digambarkan sebagai kesatria yang
mempunyai ”otot kawat balung wesi”...sumsum gagala, kulit tembaga, drijit
gunting, dengkul paron... (Ensiklopedi Wayang Purwa, Balai Pustaka, 1991) ”Hantu” Gatotkaca selalu kembali kalau
diperlukan kerajaan Pandawa dalam keadaan krisis dan dalam kalangan keluarga
Pandawa berlaku semacam standing order: ”...bila sewaktu-waktu menghadapi
bahaya, agar memanggil Gatotkaca”. Gatotkaca di sini tidak lain dari semacam
”hantu”, spectre, das Gespenst dalam Manifesto Karl Marx, yang menurut
Derrida hantu itu harus dipahami dalam arti hantologie—dan bukan ontologie
sebagaimana Marx selalu ditafsirkan—sebagai keadilan yang tidak bisa
diredusir lagi. Dalam manifesto Soekarno, maka dasar
berpijak itu berada pada kemerdekaan dari mana tidak ada reduksi lagi—yaitu
kemerdekaan dalam arti lepas dan melepaskan diri dari kolonialisme asing,
Barat. Kemerdekaan memerlukan beberapa syarat dan salah satu syarat
terpenting adalah persatuan. Hantu kemerdekaan itulah yang selalu
kembali, seperti Gatotkaca untuk menuntut keadilan dalam suatu masa ketika
Asia merasa tak senang dengan nasibnya, yaitu nasib kolonial yang tidak adil.
Dalam paham Soekarno kolonialisme itu tidak lain dari soal kekurangan rezeki,
dan ”kekurangan rezeki itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah
mentjari rezeki dinegeri lain!”. Dalam paham Soekarno, di Asia sudah mulai
tumbuh keinsafan akan tragedi ketika ”rakjat-rakjat Eropah itu mempertuankan
negeri-negeri Asia” (untuk para pembaca muda ”mempertuankan negeri-negeri Asia
= menguasai, menjajah Asia-Penulis). Keinsafan akan tragedi itulah yang
sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat Indonesia yang walaupun dalam
maksudnya sama ”ada mempunyai tiga sifat: nasionalistis, Islamistis dan
Marxistis-lah adanja”. Apa yang dipahami Soekarno tentang
marxisme? Sebelum masuk ke dalam apa yang dipahami Soekarno, untuk itu baca
Franz Magnis-Suseno, mari kita lihat beberapa hal teknis tentang orang yang
disanjungnya dan paham yang dipuja. Sungguh mencengangkan bahwa menulis nama
Karl Marx pun, Soekarno menulisnya terbalik, dalam suatu urutan nama Barat,
dengan tiga suku bersama iddle name. Soekarno menulis bukan Karl Heinrich
Marx, akan tetapi Heinrich Karl Marx. Ketika memberikan acuan kepada
Manifesto Komunis Soekarno mengatakan, di tiga halaman berbeda, bahwa
Manifesto ditulis dan diumumkan tahun 1847—tahun sesungguhnya adalah bulan
Februari 1848. Semua kekeliruan ”kecil” di atas harus
dimaafkan karena lebih bisa diterima sebagai kealpaan seorang sarjana yang
baru saja tamat Sekolah Tinggi Teknik di Bandung dengan gelar insinyur—kalau
sudah tamat karena Soekarno menyelesaikan studinya 25 Mei 1926 (Edisi asli
Soeloeh Indonesia Moeda tidak diperoleh). Apa sesungguhnya yang dipahami Soekarno
tentang ketiganya? Bisalah dikatakan di sini bahwa apa yang dicita-citakan
Soekarno adalah suatu mission impossible baik dari segi teoretis maupun dari
segi praktis. Nasionalisme Soekarno adalah jenis nasionalisme voluntaristik,
dengan tekad sebagai modal dengan tujuan hampir satu-satunya, yaitu persatuan
tanpa memedulikan realitas ekonomi-politik. Karena itu, ketika Soekarno
mengatakan bahwa: ...asal mau sahadja...tak kuranglah djalan
kearah persatuan. Kemauan, pertjaja akan ketulusan hati satu sama lain,
keinsjafan akan pepatah ”rukun membikin sentausa” ...tjukup kuatnja untuk
melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam
pergerakan kita ini lebih menjadi wishful thinking baik pada waktu itu maupun
pada waktu ini. (Baca: Baskara Wardaya) Mengapa persatuan? karena itulah persyaratan
bagi kemerdekaan. Dengan begitu semua yang lain atau tunduk kepada atau harus
ditafsirkan kembali atas dasar persatuan. Persatuan pada gilirannya akan
merumuskan jenis nasionalisme, Islam, dan marxisme. Hampir seluruh esoterisme
Soekarno dan kekhilafan fundamental yang tersebar sana-sini ketika
menafsirkan nasionalisme, Islam, dan marxisme berasal dari sana. (Baca: Vedi
Hadiz) Soekarno
dan suratan takdir Semakin Soekarno diperiksa, semakin kita
tidak mengerti siapa Soekarno itu selain bahwa suratan takdir itu sudah
dipenuhinya, yaitu memimpin Indonesia dalam waktu yang lama-bukan sekadar
ketika menjadi presiden, akan tetapi jauh-jauh sebelum itu,
sekurang-kurangnya sejak mengeluarkan manifesto Soekarno-isch tahun 1926
sampai dijatuhkan militer tahun 1966 di Jakarta. Setelah jatuh pun Orde Baru tidak mampu
menghapus Soekarno dari kenangan publik dan pujaan massa yang tidak pernah
mengenalnya (baca: Agus Sudibyo). Manifesto itu menjadi dasar geloranya, dan
juga menjadi dasar ketidak-tentuan-nya. Namun, sejak itu Soekarno dan
Indonesia hampir tidak terpisahkan, baik bagi bangsanya maupun bagi dunia:
bagi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Belanda kolonial, bagi fasisme Jepang,
maupun bagi imperialis, Amerika dan Inggris-baik sebelum maupun sesudah Indonesia
merdeka. Secara intelektual dan politik ketika
Soekarno menganalisa soal dia menjadi Marxis. Ketika dia ingin menghanyutkan
massa Soekarno menjadi Leninis dalam jalan pikiran. Namun, ketika harus
memecahkan soal dalam masa krisis, dia menjadi lebih dekat kepada sesuatu
yang sangat dibencinya, yaitu menjadi fasis dalam berpikir dan bertindak.
Karena itu dia dan militer seperti aur dan tebing, yang satu membutuhkan yang
lain, meski kemudian dia dikhianati militer. Dalam hubungan dengan gerak dan tindakan
militer, Soekarno menempatkan persatuan jauh-jauh lebih penting, sesuatu yang
sangat disukai militer, dari kemerdekaan, terutama dalam arti
kebebasan—Soekarno menjadi anti-Soekarno—sesuatu yang mungkin lebih
diperlukan warganya yang sudah lelah dan letih ditindas ratusan tahun, oleh
tuan-tuan asing-putih-kuning, dan kelak tuan-tuan sawo matang dari bangsanya
sendiri. Tidak ada orang lain yang lebih paham tentang penderitaan itu dari
Soekarno. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar