Rabu, 07 April 2021

 

Satu Abad Bersama Nusantara dan Nusantara Bersama Soekarno

 Daniel Dhakidae ; Kepala Litbang Kompas

                                                          KOMPAS, 1 Juni 2001

 

 

                                                           

Biografi yang ditulis oleh orang lain, apalagi dalam kategori as told to selalu membagi dua pendapat antara yang memuja dan mencaci-makinya. Tentang biografi semacam itu, sastrawati Inggris, profesor sastra dari University College, London, AS Byatt, mengatakan sebagai:

 

... bentuk rusak dan upaya mengejar pengetahuan murahan. Cerita tuturan mereka yang tidak mampu menangkap penemuan sejati, cerita sederhana bagi orang yang tidak mampu menyelam lebih dalam. Bentuk rumpi dan kekosongan jiwa yang sakit (”On Histories and Stories, Selected Essays”, dalam The New York Times, 18 Maret 2001).

 

Penilaian sekeras ini kontraproduktif karena kalau semata-mata itu yang dipakai, hampir tidak terbuka kemungkinan mengenal seorang lain melalui naskah-naskah warisan.

 

”Tales of the two presidents”

 

Ini juga berlaku dalam hal dua orang yang pernah menjadi presiden Indonesia. Presiden Soekarno dan Soeharto, sama sekali tidak ada waktu menulis otobiografinya sendiri, karena itu suasana batinnya tidak pernah diketahui umum secara ”asli”. Soekarno dengan seluruh kemampuan intelektualnya untuk merenung, mencernakan, dan menulis tidak pernah meluangkan waktu menulis tentang dirinya sendiri selain beberapa keping cerita anekdotal yang tercecer sana-sini. Soeharto tidak pernah terbukti menulis sesuatu yang berarti untuk publik, selain pidato-pidato kepresidenan dengan intervensi begitu banyak tangan dan otak.

 

Namun, kalau biografi as told to menjadi satu-satunya sumber yang bisa dipakai, maka berikut ini adalah ”ucapan asli” dengan mana kedua presiden itu mengungkapkan dirinya—Soekarno kira-kira beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun 1965 kepada penulis Amerika, Cindy Adams, dalam buku Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adams, pada saat Soekarno berumur 65 tahun; Soeharto kira-kira beberapa waktu sebelum atau di sekitar tahun 1989 kepada dua penulis Indonesia, Dwipayana dan Ramadhan, dalam buku Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Otobiografi Seperti Dipaparkan Kepada G Dwipayana dan Ramadhan KH, pada saat Soeharto berumur kira-kira hampir sama, 67 tahun.

 

Membandingkan apa yang dikatakan kedua orang ini tentang dirinya mungkin bisa memberikan wawasan tentang kepribadian masing-masing dan apa yang dibuatnya. Tentang dirinya Soekarno mengatakan:

 

”Aku adalah putra seorang ibu Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idaju, berasal dari kasta tinggi. Raja terakhir Singaraja adalah paman ibuku. Bapakku dari Jawa. Nama lengkapnya adalah Raden Sukemi Sosrodihardjo. Raden adalah gelar bangsawan yang berarti ’Tuan’. Bapak adalah keturunan Sultan Kediri.... Apakah itu kebetulan atau suatu pertanda bahwa aku dilahirkan dalam kelas yang memerintah, akan tetapi apa pun kelahiranku atau suratan takdir, pengabdian bagi kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan tiba-tiba. Akulah ahli- warisnya.”

 

Suatu yang sangat berbeda berlangsung dengan Soeharto, yang tentang dirinya berkata:

 

”Ayah saya, Kertosudiro, adalah ulu-ulu, petugas desa pengatur air, yang bertani di atas tanah lungguh, tanah jabatan selama beliau memikul tugasnya itu.... Saya adalah keturunan Bapak Kertosudiro alias Kertorejo ... yang secara pribadi tidak memiliki sawah sejengkal pun.”

 

Apabila diperhatikan, ada beberapa perbedaan besar yang menarik perhatian di antara keduanya. Pertama, keturunan ningrat langsung saja diangkat Soekarno, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak. Dari pihak ibu garis keturunan disusur-mundur sampai ke Raja Singaraja, Bali, dan dari pihak ayah disusur-mundur sampai ke Sultan Kediri, yang kelak berurusan dengan kerajaan besar Majapahit.

 

Sedangkan Soeharto hanya menyebut Desa Kemusuk, desa kecil di luar Kota Yogyakarta, dan pangkat bapaknya seorang ”ulu-ulu, petugas desa pengatur air”. Kedua, bukan saja keningratan, melainkan adanya suatu suratan takdir bahwa Soekarno, bukan karena kemauannya atau keinginan pribadinya akan tetapi sejarah menetapkan demikian, akan dan bahkan harus memimpin Indonesia karena dari asal-muasal sebagai bagian dari the ruling class.

 

Ketiga, meski dengan seluruh kesadaran tentang ”silsilah” ke masa lalu dan suratan takdir ke masa depan tidak satu kata pun disebut Soekarno tentang harta, milik, atau kekayaan apa pun. Sebaliknya, Soeharto sudah dalam halaman-halaman pertama membicarakan harta-tanah sejengkal, tanah jabatan, pangkat bapaknya, yang dalam halaman-halaman susulannya berbicara lagi tentang kambing, baju, dan lain-lain lagi—meski semuanya dihubungkan dengan ”...banyak penderitaan yang mungkin tidak dialami oleh orang- orang lain”.

 

Keempat, Soekarno bukan saja berbicara tentang keningratan, suratan takdir, kelas berkuasa, dan memerintah akan tetapi tentang freedom of the people, suatu cita-cita abstrak-filosofis tinggi yang mencerminkan idealisme Soekarno-isch. Semuanya ini tentu saja berhubungan dengan kekuasaan, power, akan tetapi Soekarno tidak berbicara tentang kekuasaan dirinya. Dia berbicara tentang kelas berkuasa dan bukan tentang dirinya dan kekuasaan akan tetapi suratan takdir untuk memimpin.

 

Dalam hal Soeharto bisa dilihat sesuatu yang berbeda karena Soeharto berbicara tentang kekuasaan. Hal itu bisa diperiksa hanya dalam satu halaman sebelumnya ketika Soeharto kepada pewawancara untuk penulisan bukunya, dengan bangga dan sedikit sombong, mengenang saat ketika dia berdiri di depan forum dunia tahun 1985 di Food and Agriculture Organization, FAO, milik PBB, di kota Roma:

 

Saudara bayangkan, seorang yang lebih dari enam puluh tahun ke belakang masih anak bermandi lumpur di tengah kehidupan petani di Desa Kemusuk saat itu naik mimbar dan bicara di depan sekian banyak ahli dan negarawan dunia, sebagai pemimpin rakyat yang baru berhasil memecahkan persoalan yang paling besar bagi lebih dari 160 juta mulut.

 

Suatu loncatan besar dari suatu desa kecil di Yogyakarta, ke Roma, kota metropolitan; dari seorang anak berlumur lumpur di Kemusuk yang langsung dihubungkan dengan mimbar yang harus dipahami dalam arti ex cathedra, dan berbicara, yang juga harus dipahami lebih dalam arti memberikan maklumat di depan para ahli dan negarawan dunia.

 

Dia menyebut dirinya pemimpin rakyat sambil menjejerkan prestasinya—bukan dalam hubungan dengan freedom of the people akan tetapi dengan kemampuannya memecahkan soal paling besar; bukan soal abstrak-filosofis Soekarno-isch, akan tetapi persoalan ”lebih dari 160 juta mulut”. Ketika dia menyebut rakyat, maka dia reduksikan rakyat itu menjadi bukan orang akan tetapi mulut.

 

Satu abad bersama Nusantara

 

Dengan itu sebagai titik tolak idealisme, sense of destiny, dan apa yang dicapainya, penerbitan khusus ini mau memeriksa Soekarno pada hari ulang tahunnya yang ke-100 sebagai suatu gejala historis. Kalau Soekarno sendiri mungkin tidak dengan mudah menilai dirinya, semakin besar pula kesulitan itu untuk kita.

 

Kesulitan itu semakin besar lagi ketika kita harus memeriksa kembali diri Soekarno—30 tahun setelah meninggalkan dunia ini, 45 tahun setelah dijatuhkan Soeharto, dan 100 tahun setelah dilahirkan ibunya. Semuanya menjadi suatu kompleks dari persoalan karena meninggalnya 30 tahun lalu bukan sekadar seorang yang memenuhi nasib Sein zum Tode akan tetapi karena kematiannya semakin menimbulkan soal lagi, betulkah dia mati wajar?

 

Kejatuhannya lebih membingungkan ketika semuanya berpusat pada pembunuhan enam jenderal—betulkah PKI yang membunuh dengan konsekuensi menjatuhkan Soekarno pelindungnya adalah keharusan, atau mereka dibunuh oleh anak buahnya sendiri para perwira militer bawahannya dan dengan itu tidak perlu menjatuhkan Soekarno.

 

Hannah Arendt tidak mengalami kesulitan ketika harus mengucapkan eulogia kepada Karl Jaspers, filosof eksistensialis—teman, kolega, yang mendapatkan hadiah perdamaian Jerman. Tidak ada kata yang lebih pantas, demikian Arendt, daripada puja-pujian, laudatio, karena, sambil mengutip Cicero dikatakannya, ”in laudationibus...ad personarum dignitatem omnia referrentur”, dalam puja-pujian semuanya mengacu kembali kepada kebesaran pribadi-pribadi itu, terutama karena mereka membuktikan dirinya dalam hidup.

 

Di sana justru letak seluruh kegemasan memeriksa Soekarno, karena jajaran antara dignitas personae dan pembuktian diri dalam hidup tidak selalu seiring, apalagi persoalan yang ditinggalkan Soekarno, seperti konsekuensi ekonomi-politik dan karena itu kemanusiaan yang berasal dari keputusan-keputusannya.

 

Menilai Soekarno semata-mata dari kebesarannya—kalau bukan pendasar maka Soekarno adalah penganjur paling vokal nasionalisme Indonesia, proklamator kemerdekaan—selalu membingungkan dan juga memusingkan karena di samping kebesaran di sana langsung menyusul kekerdilan, di samping kecemerlangan langsung menyusul diletantisme, di samping keberanian revolusioner langsung saja menyusul kekecutan, dan ke-pengecut-an. (Baca: Valina Singka Subekti)

 

Di pihak lain, mengecilkan Soekarno hanya karena persoalan yang ditinggalkannya—semua masalah pra dan pasca-peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, pembunuhan jenderal-jenderal oleh para perwira bawahannya—sungguh menyesatkan dari satu ujung ke ujung lainnya dan bagi generasi-generasi berikutnya menjadi penipuan terencana.

 

Lantas pertanyaan—untuk siapa pun yang berminat memeriksa Soekarno secara sungguh-sungguh—harus diajukan kembali lagi ke dasar paling awal: siapa Soekarno? Apa yang dibuat Bung Karno? Apa yang ditinggalkan Presiden pertama Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi, dan Penyambung Lidah Rakyat?

 

Satu abad Nusantara bersama Soekarno

 

Soekarno adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua jilid. Namun, dari dua jilid ini hanya jilid pertama yang boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.

 

Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang berasal dari tahun 1926, dengan judul ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun—kira-kira pada umur yang sama ketika Marx, 30 tahun, dan Engels, 28 tahun, menulis Manifesto Partai Komunis.

 

Marx dan Engels membuka manifestonya dengan kata-kata ”a spectre is haunting Europe—the spectre of Communism”, ada hantu yang menggerayangi Eropa—hantu komunisme. Soekarno membuka tulisannya dengan suatu pernyataan keras, semacam Manifesto Soekarno-isch:

 

Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan, maka Indonesia-Muda inilah melihat tjahaja hari pertama-tama dalam zaman jang rakjat-rakjat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnja. Tak senang dengan nasib-ekonominja, tak senang dengan nasib-politiknja, tak senang dengan segala nasib jang lain-lainnja. Zaman ”senang dengan apa adanja”, sudahlah lalu. Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang sebagai fadjar jang terang tjuatja.

 

Paralelisme antara manifesto Marxis dan manifesto Sukarno-isch bisa dilihat di sini. Soekarno membuka manifestonya yang sarat dengan simbolisme ketika di sana dikatakan tentang Suluh Indonesia Muda, majalah bulanan yang didirikannya sebagai organ organisasi Algemeene Studie Club, yang juga didirikannya: ”Sebagai Aria Bima-Putera, jang lahirnja dalam zaman perdjoangan”.

 

Dalam imaji Soekarno, Suluh harus menjadi secerdik-cendekia Gatotkaca, sesakti dan seulet tokoh wayang itu yang menjadi orang terakhir yang mengembuskan napasnya di tangan pamannya sendiri. Imaji Soekarno tentang Gatotkaca tidak jauh dari imaji orang Jawa umumnya tentang Gatotkaca, yakni berani tak mengenal takut, teguh, tangguh, cerdik-pandai, waspada, gesit, tangkas dan terampil, tabah, serta mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Ia sangat sakti sehingga digambarkan sebagai kesatria yang mempunyai ”otot kawat balung wesi”...sumsum gagala, kulit tembaga, drijit gunting, dengkul paron... (Ensiklopedi Wayang Purwa, Balai Pustaka, 1991)

 

”Hantu” Gatotkaca selalu kembali kalau diperlukan kerajaan Pandawa dalam keadaan krisis dan dalam kalangan keluarga Pandawa berlaku semacam standing order: ”...bila sewaktu-waktu menghadapi bahaya, agar memanggil Gatotkaca”. Gatotkaca di sini tidak lain dari semacam ”hantu”, spectre, das Gespenst dalam Manifesto Karl Marx, yang menurut Derrida hantu itu harus dipahami dalam arti hantologie—dan bukan ontologie sebagaimana Marx selalu ditafsirkan—sebagai keadilan yang tidak bisa diredusir lagi.

 

Dalam manifesto Soekarno, maka dasar berpijak itu berada pada kemerdekaan dari mana tidak ada reduksi lagi—yaitu kemerdekaan dalam arti lepas dan melepaskan diri dari kolonialisme asing, Barat. Kemerdekaan memerlukan beberapa syarat dan salah satu syarat terpenting adalah persatuan.

 

Hantu kemerdekaan itulah yang selalu kembali, seperti Gatotkaca untuk menuntut keadilan dalam suatu masa ketika Asia merasa tak senang dengan nasibnya, yaitu nasib kolonial yang tidak adil. Dalam paham Soekarno kolonialisme itu tidak lain dari soal kekurangan rezeki, dan ”kekurangan rezeki itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri lain!”.

 

Dalam paham Soekarno, di Asia sudah mulai tumbuh keinsafan akan tragedi ketika ”rakjat-rakjat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia” (untuk para pembaca muda ”mempertuankan negeri-negeri Asia = menguasai, menjajah Asia-Penulis). Keinsafan akan tragedi itulah yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat Indonesia yang walaupun dalam maksudnya sama ”ada mempunyai tiga sifat: nasionalistis, Islamistis dan Marxistis-lah adanja”.

 

Apa yang dipahami Soekarno tentang marxisme? Sebelum masuk ke dalam apa yang dipahami Soekarno, untuk itu baca Franz Magnis-Suseno, mari kita lihat beberapa hal teknis tentang orang yang disanjungnya dan paham yang dipuja.

 

Sungguh mencengangkan bahwa menulis nama Karl Marx pun, Soekarno menulisnya terbalik, dalam suatu urutan nama Barat, dengan tiga suku bersama iddle name. Soekarno menulis bukan Karl Heinrich Marx, akan tetapi Heinrich Karl Marx. Ketika memberikan acuan kepada Manifesto Komunis Soekarno mengatakan, di tiga halaman berbeda, bahwa Manifesto ditulis dan diumumkan tahun 1847—tahun sesungguhnya adalah bulan Februari 1848.

 

Semua kekeliruan ”kecil” di atas harus dimaafkan karena lebih bisa diterima sebagai kealpaan seorang sarjana yang baru saja tamat Sekolah Tinggi Teknik di Bandung dengan gelar insinyur—kalau sudah tamat karena Soekarno menyelesaikan studinya 25 Mei 1926 (Edisi asli Soeloeh Indonesia Moeda tidak diperoleh).

 

Apa sesungguhnya yang dipahami Soekarno tentang ketiganya? Bisalah dikatakan di sini bahwa apa yang dicita-citakan Soekarno adalah suatu mission impossible baik dari segi teoretis maupun dari segi praktis. Nasionalisme Soekarno adalah jenis nasionalisme voluntaristik, dengan tekad sebagai modal dengan tujuan hampir satu-satunya, yaitu persatuan tanpa memedulikan realitas ekonomi-politik. Karena itu, ketika Soekarno mengatakan bahwa:

 

...asal mau sahadja...tak kuranglah djalan kearah persatuan. Kemauan, pertjaja akan ketulusan hati satu sama lain, keinsjafan akan pepatah ”rukun membikin sentausa” ...tjukup kuatnja untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam pergerakan kita ini lebih menjadi wishful thinking baik pada waktu itu maupun pada waktu ini. (Baca: Baskara Wardaya)

 

Mengapa persatuan? karena itulah persyaratan bagi kemerdekaan. Dengan begitu semua yang lain atau tunduk kepada atau harus ditafsirkan kembali atas dasar persatuan. Persatuan pada gilirannya akan merumuskan jenis nasionalisme, Islam, dan marxisme. Hampir seluruh esoterisme Soekarno dan kekhilafan fundamental yang tersebar sana-sini ketika menafsirkan nasionalisme, Islam, dan marxisme berasal dari sana. (Baca: Vedi Hadiz)

 

Soekarno dan suratan takdir

 

Semakin Soekarno diperiksa, semakin kita tidak mengerti siapa Soekarno itu selain bahwa suratan takdir itu sudah dipenuhinya, yaitu memimpin Indonesia dalam waktu yang lama-bukan sekadar ketika menjadi presiden, akan tetapi jauh-jauh sebelum itu, sekurang-kurangnya sejak mengeluarkan manifesto Soekarno-isch tahun 1926 sampai dijatuhkan militer tahun 1966 di Jakarta.

 

Setelah jatuh pun Orde Baru tidak mampu menghapus Soekarno dari kenangan publik dan pujaan massa yang tidak pernah mengenalnya (baca: Agus Sudibyo). Manifesto itu menjadi dasar geloranya, dan juga menjadi dasar ketidak-tentuan-nya. Namun, sejak itu Soekarno dan Indonesia hampir tidak terpisahkan, baik bagi bangsanya maupun bagi dunia: bagi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Belanda kolonial, bagi fasisme Jepang, maupun bagi imperialis, Amerika dan Inggris-baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka.

 

Secara intelektual dan politik ketika Soekarno menganalisa soal dia menjadi Marxis. Ketika dia ingin menghanyutkan massa Soekarno menjadi Leninis dalam jalan pikiran. Namun, ketika harus memecahkan soal dalam masa krisis, dia menjadi lebih dekat kepada sesuatu yang sangat dibencinya, yaitu menjadi fasis dalam berpikir dan bertindak. Karena itu dia dan militer seperti aur dan tebing, yang satu membutuhkan yang lain, meski kemudian dia dikhianati militer.

 

Dalam hubungan dengan gerak dan tindakan militer, Soekarno menempatkan persatuan jauh-jauh lebih penting, sesuatu yang sangat disukai militer, dari kemerdekaan, terutama dalam arti kebebasan—Soekarno menjadi anti-Soekarno—sesuatu yang mungkin lebih diperlukan warganya yang sudah lelah dan letih ditindas ratusan tahun, oleh tuan-tuan asing-putih-kuning, dan kelak tuan-tuan sawo matang dari bangsanya sendiri. Tidak ada orang lain yang lebih paham tentang penderitaan itu dari Soekarno. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar