Selasa, 06 April 2021

 

Efektivitas Stimulus Fiskal

 A Prasetyantoko ; Rektor Unika Atma Jaya

                                                         KOMPAS, 06 April 2021

 

 

                                                           

Hampir semua negara menghadapi tekanan fiskal yang sama. Aktivitas ekonomi  yang terhenti akibat pandemi telah memukul anggaran dari kedua sisi; penurunan (sangat) tajam dalam penerimaan dan peningkatan (sangat) tinggi dalam pengeluaran. Akibatnya, defisit fiskal melebar dan utang pemerintah membengkak.

 

Di tengah situasi yang tidak menentu, terutama akibat virus yang terus bermutasi, risiko ”kegagalan fiskal” meningkat di beberapa negara.

 

Ada yang menggembirakan dalam paparan Kementerian Keuangan mengenai perkembangan fiskal terkini (Selasa, 23/3/2021). Pertama, pandemi sudah mulai terkendali. Jumlah kasus aktif dan penambahan harian Covid-19 telah menunjukkan penurunan kurva. Dibanding dengan puncaknya pada Januari 2021, jumlah kasus positif pada akhir Maret turun 27,4 persen dan tambahan kasus harian turun 54,6 persen. Pada Januari, jumlah tambahan kasus positif sekitar 12.800 kasus per hari, sedangkan pada Maret turun menjadi sekitar 5.800 kasus per hari.

 

Kedua, kinerja manufaktur sudah memasuki fase ekspansi atau di atas angka 50. Meski masih di bawah rerata global  (53,9), kinerja manufaktur Indonesia pada Februari (50,9) sudah lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia (47,7) dan Thailand (47.2). Ketiga, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2021 menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi OECD naik dari 4,5 persen menjadi 4,9 persen. Berbagai indikator lain menunjukkan pemulihan ekonomi sudah lebih pasti.

 

Kapan stimulus dikurangi?

 

Seiring membaiknya situasi, pertanyaan yang mulai mengemuka di seluruh dunia adalah kapan stimulus fiskal mulai dikurangi? Nampaknya tidak ada jawaban seragam. Di Amerika Serikat, misalnya, Presiden Joe Biden justru tengah menyiapkan proposal tambahan stimulus fiskal senilai 2 triliun dollar guna membiayai proyek infrastruktur. Usulan ini menimbulkan polemik di parlemen, terutama karena defisit akan didanai dengan kenaikan tarif pajak perusahaan dari 21 persen menjadi 28 persen.

 

Salah satu tema sentral dalam stimulus ekonomi adalah efektivitasnya. Setiap tambahan stimulus harus mampu meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat dalam jangka (pendek) tertentu. Oleh karena itu, stimulus fiskal harus tepat waktu (timely), temporer, dan terarah (targeted).

 

Di banyak negara maju, target stimulus fiskal adalah sektor korporasi agar tak melakukan pemutusan hubungan kerja. Di AS, salah satu alokasi besar dari paket senilai 1,9 triliun dollar AS yang disetujui Senat awal tahun ini adalah subsidi sektor korporasi (skala kecil dan menengah) melalui Paycheck Protection Program. Sementara di Inggris skema serupa dijalankan melalui program Coronavirus Job Retention Scheme. Di Jerman, programnya bernama Kurzarbeitergeld, dan di Perancis disebut Chômage Partiel.

 

Di negara berkembang, selain menangani krisis kesehatan, target alokasi anggaran juga fokus pada kelompok masyarakat rentan. Target stimulus ekonomi bisa berbeda tiap negara, tetapi arahnya kurang lebih sama, yaitu memompa siklus ekonomi agar terhindar dari resesi.

 

Dalam dana Pemulihan Ekonomi Nasional 2021 senilai Rp 699,43 triliun, alokasi terbesar pada sektor kesehatan senilai Rp 176,30 triliun disusul perlindungan sosial senilai Rp 157,41 triliun. Alokasi insentif dunia usaha sebesar Rp 58,46 triliun berada di urutan kelima.

 

Terkait besaran anggaran stimulus, salah satunya ditentukan seberapa besar kontraksi yang ditimbulkan pandemi. Semakin dalam kontraksi ekonomi, semakin besar kebutuhan stimulus. Pada 2021, pemerintah memilih strategi fiskal moderat dengan mematok defisit anggaran 5,7 persen.

 

Selain karena dampak kontraksi ekonomi yang relatif moderat, pemerintah juga mulai bersiap kembali pada defisit di bawah 3 persen pada 2023 sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Pilihan kebijakan ini diapresiasi lembaga pemeringkat sebagai langkah penuh perhitungan dalam menjaga profil risiko. Fitch Ratings dan Moody’s mempertahankan peringkat utang Indonesia, sedangkan banyak negara lain mengalami penurunan peringkat atau penurunan prospek.

 

Meski berbagai indikator makro menunjukkan proyeksi menjanjikan, kebijakan fiskal menghadapi dua persoalan utama. Pertama, Badan Kebijakan Fiskal menyusun skenario dampak pandemi pada penggangguran dan kemiskinan 2020. Dalam skenario berat jumlah pengangguran akan mencapai 7,33 persen dan dalam skenario sangat berat 9,02 persen. Sementara untuk angka kemiskinan, dalam skenario berat naik menjadi 9,88 persen dan dalam skenario sangat berat menjadi 10,98 persen.

 

Kedua, data Badan Pusat Statistik menunjukkan pendapatan per kapita 2020 mencapai 3.911 dollar AS atau merosot seperti pada 2018 atau turun dari 2019 sebesar 4.174 dollar AS. Kebijakan fiskal punya peran sangat besar mendorong pertumbuhan ekonomi yang punya implikasi pada pendapatan penduduk serta angka pengangguran dan kemiskinan.

 

Di sini, kebijakan fiskal punya dilema; di satu sisi perlu  mengakomodasi risiko jangka menengah dengan cara menjaga besaran defisit dan utang pemerintah secara moderat, tetapi di sisi lain juga harus mendorong pertumbuhan agar angka pengangguran dan kemiskinan bisa diatasi.

 

Salah satu indikator penting apakah defisit fiskal bisa dikembalikan di bawah 3 persen pada 2023 adalah apakah target pertumbuhan ekonomi 4,5 persen bisa tercapai tahun ini. Jika tidak, bisa jadi stimulus fiskal masih perlu relaksasi lebih panjang lagi. Sebab, tanggung jawab terbesar kebijakan fiskal adalah mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan pendapatan penduduk. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar