Jumat, 09 April 2021

 

Daniel Dhakidae, Kemenangan Sang Intelektual

 Bestian Nainggolan ; Wartawan Kompas

                                                         KOMPAS, 07 April 2021

 

 

                                                           

Siapa yang mengenalnya, tak menampik jika Daniel Dhakidae layak menjadi simbol dari konsistensi kekritisan seorang intelektual. Jejak-jejak kekritisan yang membekas sejak usia muda, tatkala mengenyam pendidikan di bangku Seminari Tinggi St Petrus, Ritapiet, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, tetap terpelihara hingga ajal menyambutnya (6/4/2021) dalam usia ke-75.

 

Berita kematiannya sesungguhnya merupakan suatu kemenangan dari pertandingan menjaga kekritisan yang teramat jarang dimiliki intelektual yang hidup sezamannya. Sebagai figur yang sudah terbekali limpahan hikmat dan pengetahuan, sikap kritis Bung DD, begitu kami menyapanya, memang tidak pernah surut.

 

Sikap semacam ini berjejak dalam berbagai karya intelektualnya yang diterima luas, terakreditasi sebagai master piece dalam komunitas-komunitas epistemik negeri ini. Paling menonjol, misalnya, tampak dalam buku-buku bertajuk Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) dan terakhir Menerjang Badai Kekuasaan (2015) yang ia tulis. Kedua buku yang cermat dalam pilihan kata dan ungkapan-ungkapan ikonik tersebut menyoroti bagaimana dominasi kekuasaan merasuk hingga ruang-ruang kecendekiawanan dan di sisi yang lain perlawanan-perlawanan yang terempaskan.

 

Bahkan, jauh sebelumnya, karya disertasinya berjudul ”The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism:Political Economy of Indonesian News Industry” di Cornell University (1991) menjadi rujukan klasik dalam melihat secara kritis terhadap dominasi kekuasaan negara (Orde Baru) terhadap pers di negeri ini yang di satu sisi mematikan secara politik, tetapi di sisi yang lain menyokong pertumbuhan dan penguatan kapital industri media cetak yang terkuasai.

 

Tidak hanya terhadap kekuasaan, kekritisan semacam itu pula yang selalu ia tunjukkan saat menilai suatu kebenaran. Bagi Bung DD, misalnya, tidak pernah selintas pun ia akui kebenaran yang diterima sebagai sesuatu yang monolitik. Ia meyakini, tatkala suatu kebenaran mulai ditunggalkan, saat itu pula kebenaran terkhianati.

 

Itulah mengapa, dalam keseharian kerja jurnalistik dan penelitian sosial yang digelutinya, pencarian kebenaran yang terserak dan kadang terkucilkan oleh kekuasaan dominan itu menjadi motif yang melandasi langkahnya.

 

Sebagai salah seorang peletak dasar unit penelitian dan pengembangan (Litbang) Kompas, kekritisan dalam pencarian kebenaran yang menjadi esensi dari penelitian inilah selalu ia tanamkan. Sepenuhnya ia menyadari, dalam iklim politik yang mengekang pers, masih terdapat celah ruang pengembangan jurnalistik berkualitas. Jurnalisme presisi (precision journalism) yang bersandar pada pengolahan data primer dan sekunder yang mengakomodasikan suara rakyat (opini publik) menjadi alternatif dalam menantang ”kebenaran” yang selama itu terdefiniskan dari saluran resmi rezim. Inilah warisan Bung DD yang hingga saat ini justru semakin menemukan relevansinya di tengah arus perubahan politik dan teknologi.

 

Dalam menuntun pencarian kebenaran yang tidak tunggal itu bukan perkara mudah. Awalnya, para peneliti dan wartawan Kompas yang merasakan bimbingannya, baik semenjak masa perekrutan, pendidikan, hingga bekerja, merasa kesulitan memahami kedalaman spektrum pemikirannya. Tidak jarang pula ketidaksepahaman terjadi. Bisa demikian, lantaran pengetahuan normal yang telanjur mendominasi kebenaran itu yang menjadi acuan. Bagi Bung DD, sandaran sikap semacam inilah yang harus didekonstruksi.

 

Dalam pola perekrutan peneliti ataupun wartawan, misalnya, Bung DD tidak menyandarkan sepenuhnya seleksi calon pekerja berdasarkan pola perekrutan industrial. Skor kecerdasan dan sikap yang jamak digunakan sebagai basis awal penyaringan dan yang kerap diagungkan sebagai suatu kebenaran ia sisihkan. Sebagai pengganti, arena adu gagasan dan argumentasi ia siapkan. Berbekal sejumlah data, ia menguji level kemampuan seseorang dalam mengolah hingga menginterpretasikan secara kritis. Secara meyakinkan dan tak jarang bersifat superlatif, ia mendebat apa pun jawaban yang diberikan. Nyaris tak seorang kandidat pun yang meyakini akan lolos dalam metode perekrutan semacam itu. Secara psikologis, remuk-redam dibuatnya.

 

Akan tetapi, di sisi yang lain, Bung DD tampil sebagai pembawa kabar sukacita. Sekalipun keras dalam menguji, ia royal dalam menilai. Tidak jarang pula segudang pujian dan nilai sempurna ia sematkan. Terkait dengan hal ini, ia beralasan, jika kritis dalam menguji itu sudah sepatutnya. Remuk-redam pun baginya tidak soal. Hanya dalam menilai, berbeda dan perlu diberi tinggi. ”Nilai itu bukan akhir, tapi harapan. Jangan pernah matikan harapan setiap orang,” ungkap Bung DD. Dengan pola penyikapan seperti itu, seolah ia menegaskan kembali kekritisannya dalam memahami suatu kebenaran. Tatkala nilai menjadi suatu vonis akhir, baginya justru menjadi potensi awalan yang menguak harapan.

 

Dalam kegigihannya bersikap, Bung DD dikenal lekat dengan kalangan yang termarjinalkan. Di tengah arus kekuasaan yang berkiblat pada sentralitas Jawa, ia bangunkan kesadaran pemberdayaan kekuatan desentralisasi. Begitu pun ketika dominasi kaum laki masih terus-menerus menyingkirkan perempuan, saat itu pula dengan produksi pengetahuan serta sumber daya yang terkuasai, ia berelasi dan mendorong sepenuhnya gerakan kesetaraan perempuan. Dengan konsistensi kekritisannya itu, jelaslah kebenaran yang tak tunggal yang ia buktikan. Dan kali ini, dengan kesetiaan yang ia tunjukkan, kemenangan sudah ia genggam. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar