Daniel
Dhakidae, Kemenangan Sang Intelektual Bestian Nainggolan ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
07 April
2021
Siapa yang mengenalnya, tak menampik jika
Daniel Dhakidae layak menjadi simbol dari konsistensi kekritisan seorang
intelektual. Jejak-jejak kekritisan yang membekas sejak usia muda, tatkala
mengenyam pendidikan di bangku Seminari Tinggi St Petrus, Ritapiet, Flores,
Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, tetap terpelihara hingga ajal menyambutnya
(6/4/2021) dalam usia ke-75. Berita kematiannya sesungguhnya merupakan
suatu kemenangan dari pertandingan menjaga kekritisan yang teramat jarang
dimiliki intelektual yang hidup sezamannya. Sebagai figur yang sudah
terbekali limpahan hikmat dan pengetahuan, sikap kritis Bung DD, begitu kami
menyapanya, memang tidak pernah surut. Sikap semacam ini berjejak dalam berbagai
karya intelektualnya yang diterima luas, terakreditasi sebagai master piece
dalam komunitas-komunitas epistemik negeri ini. Paling menonjol, misalnya,
tampak dalam buku-buku bertajuk Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde
Baru (2003) dan terakhir Menerjang Badai Kekuasaan (2015) yang ia tulis.
Kedua buku yang cermat dalam pilihan kata dan ungkapan-ungkapan ikonik
tersebut menyoroti bagaimana dominasi kekuasaan merasuk hingga ruang-ruang
kecendekiawanan dan di sisi yang lain perlawanan-perlawanan yang terempaskan. Bahkan, jauh sebelumnya, karya disertasinya
berjudul ”The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism:Political
Economy of Indonesian News Industry” di Cornell University (1991) menjadi
rujukan klasik dalam melihat secara kritis terhadap dominasi kekuasaan negara
(Orde Baru) terhadap pers di negeri ini yang di satu sisi mematikan secara
politik, tetapi di sisi yang lain menyokong pertumbuhan dan penguatan kapital
industri media cetak yang terkuasai. Tidak hanya terhadap kekuasaan, kekritisan
semacam itu pula yang selalu ia tunjukkan saat menilai suatu kebenaran. Bagi
Bung DD, misalnya, tidak pernah selintas pun ia akui kebenaran yang diterima
sebagai sesuatu yang monolitik. Ia meyakini, tatkala suatu kebenaran mulai
ditunggalkan, saat itu pula kebenaran terkhianati. Itulah mengapa, dalam keseharian kerja
jurnalistik dan penelitian sosial yang digelutinya, pencarian kebenaran yang
terserak dan kadang terkucilkan oleh kekuasaan dominan itu menjadi motif yang
melandasi langkahnya. Sebagai salah seorang peletak dasar unit
penelitian dan pengembangan (Litbang) Kompas, kekritisan dalam pencarian
kebenaran yang menjadi esensi dari penelitian inilah selalu ia tanamkan.
Sepenuhnya ia menyadari, dalam iklim politik yang mengekang pers, masih
terdapat celah ruang pengembangan jurnalistik berkualitas. Jurnalisme presisi
(precision journalism) yang bersandar pada pengolahan data primer dan
sekunder yang mengakomodasikan suara rakyat (opini publik) menjadi alternatif
dalam menantang ”kebenaran” yang selama itu terdefiniskan dari saluran resmi
rezim. Inilah warisan Bung DD yang hingga saat ini justru semakin menemukan
relevansinya di tengah arus perubahan politik dan teknologi. Dalam menuntun pencarian kebenaran yang
tidak tunggal itu bukan perkara mudah. Awalnya, para peneliti dan wartawan
Kompas yang merasakan bimbingannya, baik semenjak masa perekrutan, pendidikan,
hingga bekerja, merasa kesulitan memahami kedalaman spektrum pemikirannya.
Tidak jarang pula ketidaksepahaman terjadi. Bisa demikian, lantaran
pengetahuan normal yang telanjur mendominasi kebenaran itu yang menjadi
acuan. Bagi Bung DD, sandaran sikap semacam inilah yang harus didekonstruksi. Dalam pola perekrutan peneliti ataupun
wartawan, misalnya, Bung DD tidak menyandarkan sepenuhnya seleksi calon
pekerja berdasarkan pola perekrutan industrial. Skor kecerdasan dan sikap
yang jamak digunakan sebagai basis awal penyaringan dan yang kerap diagungkan
sebagai suatu kebenaran ia sisihkan. Sebagai pengganti, arena adu gagasan dan
argumentasi ia siapkan. Berbekal sejumlah data, ia menguji level kemampuan
seseorang dalam mengolah hingga menginterpretasikan secara kritis. Secara
meyakinkan dan tak jarang bersifat superlatif, ia mendebat apa pun jawaban
yang diberikan. Nyaris tak seorang kandidat pun yang meyakini akan lolos
dalam metode perekrutan semacam itu. Secara psikologis, remuk-redam
dibuatnya. Akan tetapi, di sisi yang lain, Bung DD
tampil sebagai pembawa kabar sukacita. Sekalipun keras dalam menguji, ia
royal dalam menilai. Tidak jarang pula segudang pujian dan nilai sempurna ia
sematkan. Terkait dengan hal ini, ia beralasan, jika kritis dalam menguji itu
sudah sepatutnya. Remuk-redam pun baginya tidak soal. Hanya dalam menilai,
berbeda dan perlu diberi tinggi. ”Nilai itu bukan akhir, tapi harapan. Jangan
pernah matikan harapan setiap orang,” ungkap Bung DD. Dengan pola penyikapan
seperti itu, seolah ia menegaskan kembali kekritisannya dalam memahami suatu
kebenaran. Tatkala nilai menjadi suatu vonis akhir, baginya justru menjadi
potensi awalan yang menguak harapan. Dalam kegigihannya bersikap, Bung DD
dikenal lekat dengan kalangan yang termarjinalkan. Di tengah arus kekuasaan
yang berkiblat pada sentralitas Jawa, ia bangunkan kesadaran pemberdayaan
kekuatan desentralisasi. Begitu pun ketika dominasi kaum laki masih
terus-menerus menyingkirkan perempuan, saat itu pula dengan produksi pengetahuan
serta sumber daya yang terkuasai, ia berelasi dan mendorong sepenuhnya
gerakan kesetaraan perempuan. Dengan konsistensi kekritisannya itu, jelaslah
kebenaran yang tak tunggal yang ia buktikan. Dan kali ini, dengan kesetiaan
yang ia tunjukkan, kemenangan sudah ia genggam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar