Kamis, 18 Januari 2018

Pikiran Politik Megawati

Pikiran Politik Megawati
Benny Susetyo  ;  Rohaniwan
                                              KORAN JAKARTA, 16 Januari 2018



                                                           
Peran penting Pulau Jawa dalam kontestasi politik Indonesia jelang Pemilu dan Pilpres 2019 akan tecermin mulai Pilkada serentak 2018. Tercatat pada Pilkada serentak 2018 nanti ada 171 wilayah terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Di Pulau Jawa, provinsi yang melaksanakan pilkada adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. PDI Perjuangan di bawah Megawati memiliki sebuah cara berpikir sendiri, yang kadang-kadang sulit dibaca. Keinginan Mega kerap kali berbeda dengan cara pandang publik dalam melihat setiap keputusannya.

Politik itu dinamis, di mana setiap saat bisa berubah tergantung pada dinamika internal dan eksternal. PDI Perjuangan sebagai partai besar yang dikendalikan langsung Ketua Umum Megawati memiliki daya tawar tinggi. Kematangan berpolitik Megawati kadang-kadang sulit diduga lawan.

Pengurus PDI Perjuangan boleh bermanuver karena itu bagian dari demokrasi, tetapi hak penentukan calon gubernur ada di tangan Mega. Dinamika perpolitikan menjelang pilpres menjadi seru karena manuver selalu berubah-ubah. Politik penuh dengan ketidakpastian dan intrik untuk menemukan konsesus.

Situasi tersebut membuat publik kerap kali bingung, bahkan terlukai perasaannya. Dalam berpolitik dibutuhkan kematangan melihat realitas. Pilkada serentak jelas yang menonjol menjual sosok lewat politik branding. Pemasaran politik sebagai cabang kajian akademis sebenarnya sudah mulai menjadi perhatian para ilmuwan komunikasi dan politik pada 1950-an.

Namun implementasinya baru berkembang tahun 1980-an, ketika televisi memiliki peran sangat penting dalam penyampaian pesan. Kajian pemasaran politik secara akademis ini dari waktu ke waktu mengalami pergeseran penekanan. Adman Nursal dalam Shama (1975) dan Kotler (1982) menekankan pada proses transaksi antara pemilih dan kandidat, sedangkan O’Leary dan Iradela (1976) menekankan pada penggunaan marketing mix mempromosikan partai politik.

Pendapat lain dikemukakan Lock dan Harris (1996) yang penekanannya pada proses positioning. Kemudian, Wring (1997) menekankan penggunaan riset opini dan analisis lingkungan. Dengan demikian, yang tampak baru dalam perkembangan pemasaran politik ada pada penerapan riset pemasaran atau riset opini.

Konsep pemasaran sendiri mengalami pergeseran perspektif dari orientasi internal perusahaan ke pasar (market oriented). Orientasi pada produk saja belumlah memadai, tapi harus memperhitungkan kondisi pasar. Dalam orientasi pasar yang harus diperhatikan adalah konsumen dan pesaing. Di sini, konsep market oriented tidak berarti harus sepenuhnya memenuhi keinginan pasar karena ada ideologi dan aliran pemikiran khas yang harus dipertahankan.

Berbeda

Konvergensi yang ditawarkan dari pandangan pro dan kontra pemasaran politik berbeda dengan pemasaran komersial. Pemasaran politik memerlukan berbagai pendekatan keilmuan dan bersifat khas karena produknya sangat berbeda dengan komersial baik ditinjau dari karakteristik produk maupun konsumennya. Pemasaran politik memiliki dimensi lebih luas dan karenanya lebih kompleks. Firmanzah dalam bukunya, Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas mengatakan, pemasaran politik menempatkan pemilih sebagai subjek, bukan objek dari partai politik atau kandidat.

Pemasaran politik menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal menyusun program kerja yang ditawarkan dengan bingkai ideologi masing-masing partai atau kandidat. Pemasaran politik ini tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools menjaga hubungan dengan pemilih, sehingga dari sini akan terbangun kepercayaan untuk selanjutnya memperoleh dukungan suara mereka.

Pilkada serentak 2018 adalah pertarungan branding di mana sosok yang mampu menguasai dunia maya, memiliki gagasan segar, dan mampu keluar dari lingkaran kesukuan, keagamaan serta pandangan sempit akan unggul. Yang dibutuhkan sekarang partai politik bisa memanfaatkan peluang dengan menciptakan branding baru.

Munculnya lawan yang tak terduga akan mengubah persaingan politik dan menjadikannya lebih seru. Parpol juga dituntut untuk mampu membaca tanda zaman dan menyerap aspirasi warga yang haus akan perubahan. Dalam pilkada mendatang, rakyat akan memilih pemimpin dengan visi yang jelas dan terukur. Keputusan PDI Perjuangan mencalonkan seorang pemimpin menjaga roh Pancasila yang harus dijaga keutuhan multikulturnya dan pembanguan berkelanjutannya.

Megawati sebagai seorang negarawan memikirkan keindonesian bukan semata-mata kepentingan partai. Inilah yang membedakannya dengan partai lain yang kerap kali hanya berpikir pragmatisme. Semua harus menegaskan kembali makna berpolitik dan berkekuasaan. Mengembalikan makna berpolitik untuk kepentingan perjuangan semesta untuk membangun Indonesia menjadi negara makmur dan luhur.

Berpolitik bukan jurus aji mumpung sekadar meraih kekuasaan, tapi seni membangun kemajuan bangsa. Disorientasi politik akan membawa bangsa ke jurang kesengsaraan yang amat dalam. Pada tataran ini semua harus belajar dari para pendahulu negeri. Mereka bisa mewarnai politik dengan gagasan-gagasan besar Indonesia masa depan.

Berpolitik untuk membangun bangsa dengan penguasa yang berpihak pada rakyat, bukan pemilik uang semata. Inilah sebenarnya yang dijadikan pegangan Megawati berpolitik, keutamaan untuk rela berkorban demi bangsa dan negara. Visi kenegaraan itulah menjadi pegangan Megawati dalam berpolitik demi kebaikan bangsa, bukan semata-mata kepentingan partai. Visi kenegarawan Megawati dalam banyak hal mengorbankan kepentingan politik sempit karena bangsa lebih diutamakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar