Kamis, 18 Januari 2018

Misteri Kebijakan Impor Beras

Misteri Kebijakan Impor Beras
Tjipta Lesmana  ;  Mantan Anggota Pokja Ketahanan Nasional Lemhannas RI
                                                 KORAN SINDO, 16 Januari 2018



                                                           
KOMODITAS strategis apa pun di negeri kita rentan dipermainkan. Di era Orde Baru, pasokan semen beberapa kali mendadak susut. Bahkan cenderung hilang di pasar. Maka, harga pun cepat melambung melampaui harga eceran tertinggi (HET). Ketika publik bertanya, jawaban pihak produsen seirama: karena ada kerusakan mesin di pabrik semen tertentu, karena lonjakan kebutuhan sehubungan dengan kenaikan proyek infrastruktur, karena distribusi yang terganggu, dan lainlain. Namun, segera setelah pemerintah menaikkan HET, pasokan semen pun normal lagi.

Beras komoditas amat strategis, bahkan politis. Maklum, perut orang kita umumnya ”perut nasi”. Makan terasa belum sreg (kenyang) jika tanpa nasi. Maka, jika ada kekurangan beras dalam jumlah besar di masyarakat, pemerintah waswas. Pemerintah bisa jatuh kalau beras langka atau dijual dengan harga tinggi dalam tempo cukup lama.

Nah, kultur ”perut nasi” rupanya kerap dimanfaatkan pihak tertentu untuk memainkan harga beras demi mengeruk keuntungan. Caranya sangat mudah: buatlah kelangkaan beras di pasar. Hukum supply and demand pun akan berbicara. Pasokan yang kurang akan mendongkrak harga. Masyarakat –terutama kelas bawah– serta-merta akan berteriak. Tugas Bulog segera menstabilkan harga beras.

Tapi, pengalaman 15 tahun terakhir, pemerintah cenderung ”cengeng”. Begitu timbul kekurangan pasokan, jalan pintasnya impor beras. Malah, tidak lama setelah kebijakan impor diumumkan, beras impor sudah masuk ke pelabuhan pelabuhan utama. Itu berarti sebe- lum impor beras diumumkan, pihak tertentu sebetulnya sudah deal dengan pihak eksporter untuk segera membanjiri pasar beras dalam negeri dengan beras impor.

Modus operandi spekulatif itu berhasil dihentikan total oleh pemerintahan Jokowi-JK. Selama dua tahun terakhir, Jokowi-JK sesungguhnya telah berhasil menghentikan impor beras secara total. Kecuali ”beras khusus” yang diimpor dalam kuantitas kecil. Sekitar enam bulan lalu, Jokowi bahkan dengan bangga mengumumkan Indonesia sebentar lagi swasembada beras. Mengembalikan kejayaan Orde Baru yang membuat Soeharto memperoleh penghargaan dari FAO. Bahkan, ketika diterpa El Nino dan La Nina dahsyat di pengujung 2016 hingga awal 2017, Indonesia bisa survive tanpa impor beras, merontokkan prediksi pengamat perberasan.

Hingga Oktober 2017 Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman masih berkoar bahwa swasembada beras bukan omong kosong jika semua pemangku kepentingan bekerja keras dan bekerja sama untuk mewujudkannya. Pernyataan itu dikeluarkan setelah musim panas yang cukup panjang tahun lalu, yang menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak.

Lalu mengapa Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita tiba-tiba mengumumkan kebijakan impor beras 500 ribu ton? Apa alasan Enggartiasto? ”Saya tidak ingin petani dan masyarakat kecil terbebani. Dengan harga tinggi, mereka mengurangi konsumsi beras harian. Impor untuk menjaga kepentingan konsumen,” kilah Enggar, sapaan Enggartiasto. Yang diimpor, masih kata Enggar, adalah beras khusus dengan butiran pecahan maksimal 5 persen dan tidak diproduksi di dalam negeri.

Jelas, hukum permintaan dan penawaranlah yang dipakai Enggar untuk impor beras. Harga beras akhir-akhir ini bergerak cukup tajam, maka pemerintah tidak bisa tinggal diam. Tapi, mengapa jawabannya impor beras? Apakah Mendag tidak tahu bahwa saat ini Bulog memiliki cadangan beras sekitar 900.000 ton yang cukup untuk konsumsi minimal tiga bulan? Bukankah bulan depan, Februari, kita akan memasuki panen raya dengan perkiraan hasil 2–3 juta ton beras? Dan di daerah tertentu terjadi surplus stok beras. Saya baca pernyataan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo bahwa provinsinya (salah satu lumbung padi Indonesia) siap membantu daerah lain yang kekurangan beras.

Yang juga aneh, beras yang diimpor itu baru akan berdatangan sekitar 1,5 bulan lagi, padahal bulan depan diprediksi sudah memasuki panen raya. Mengapa Mendag tidak menunggu sebentar dan menggunakan stok beras Bulog untuk menekan harga?

Kenaikan harga beras belakangan juga patut diragukan rasionalitasnya. Dari catatan saya, pada 3–5 Januari 2018 harga beras IR-64 grade III di Pasar Induk Cipinang masih di kisaran Rp 7.900–8.000/kg, tidak beda jauh dengan harga Oktober–Desember 2017. Tapi, pada 6–8 Januari 2018 harga tiba-tiba naik hingga Rp 8.400 dan terakhir (11 Januari) melonjak lagi jadi Rp 8.900 per kg.

Adakah pihak-pihak tertentu yang memainkan harga beras untuk kemudian menjustifikasi Mendag untuk impor beras? Lalu bagaimana sikap Kementerian Pertanian? Mengapa Amran tidak buka suara? Dia tetap tutup mulut, mungkin, karena tidak mau dituding ”gaduh” jika terjadi silat lidah dengan Mendag di ruang publik.

Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan Ombudsman RI yang patut direnungkan. Pertama, pihak yang paling berwenang mengimpor beras sebenarnya Bulog sesuai pasal 3 ayat (2) huruf d Perpres 48/2016. Lalu mengap aM e n da g sempat memberikan wewenang impor itu kepada PT PPI yang bekerja sama dengan jaringan pedagang beras? Kedua, jika terjadi kelangkaan beras, solusinya bukan impor. Bulog punya kewajiban untuk segera memeratakan stok. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar