Minggu, 07 Januari 2018

Perzinaan dalam Politik Pidana

Perzinaan dalam Politik Pidana
M Fatahillah Akbar ;  Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum UGM Yogyakarta
                                                   JAWA POS, 25 Desember 2017



                                                           
LET’S kill all the lawyers merupakan ungkapan Shakespeare untuk menunjukkan bahwa ahli-ahli hukum malah merusak hukum itu sendiri. Dalam hal ini, kurang lebih cocok dengan para ahli hukum dalam menerjemahkan Putusan MK Nomor 46/ PUU-XIV/2016 mengenai uji materiil KUHP soal legalisasi kumpul kebo dan LGBT.

Sebagaimana bisa kita temukan dalam Putusan MK Nomor 132/PUUXIII/2015 yang menguji pasal prostitusi di KUHP, dikatakan bahwa MK tidak dapat menjadi criminal policy maker –di mana yang dapat merumuskan kebijakan pidana hanyalah DPR dan MK menjadi negative legislature yang hanya dapat menghapus ketentuan, bukan menciptakan ketentuan.

Pendapat tersebut bahkan oleh MK disebut sebagai opinio jurist sive necessitates atau pandangan umum yang diterima para yuris sebagai hukum. Sehingga MK tidak dapat melakukan kriminalisasi tersebut. Kewenangan MK tidak sampai untuk menciptakan sebuah tindak pidana baru. Walaupun jika diperhatikan, tidak sedikit kasus di mana MK menjadi positive legislature, apalagi dalam UU Pidana. Contohnya adalah Putusan MK Nomor 21/PUUXII/2015, di mana MK memperluas kewenangan praperadilan. Dalam kasus tersebut, MK menjadi positive legislature. Seharusnya secara tegas MK menjadi negative legislature saja, terutama untuk yang berkaitan dengan politik hukum pidana.

Selain itu, harus dilihat, KUHP warisan Belanda yang telah disahkan sebagai KUHP sejak awal hanya memidana perzinaan bagi yang memiliki ikatan perkawinan. Dengan begitu, itu bukan kesalahan MK. Melainkan memang kebijakan pembentuk UU untuk tidak memidana LGBT.

Sebagai argumentasi lebih lanjut dalam melakukan kriminalisasi, pembentuk undang-undang harus memperhatikan parameter kriminalisasi. Salah satunya, jangan sampai menimbulkan over kriminalisasi (penggunaan pidana yang berlebihan).

Akan tetapi, apakah dalam kondisi saat ini penegak hukum serta masyarakat siap menghadapi pemidanaan atas perzinaan di mana kedua pelakunya tidak memiliki ikatan perkawinan dengan pihak lain? Ketidaksiapan tersebut menjadikan pemidanaan hal itu harus melalui jalur pembentuk UU, bukan MK.

Untuk masalah perzinaan, kita dapat melihat seberapa jauh pembentuk undang-undang membahasnya dalam RUU KUHP. RUU KUHP 2017 pasal 484 ayat 1 huruf e pada dasarnya telah mengakomodasi permohonan pemohon untuk mengkriminalisasi perbuatan zina suka sama suka.

Namun, panitia kerja DPR masih memperdebatkan pasal tersebut. Tiga fraksi menginginkan pencabutan dan tujuh fraksi setuju dengan pasal itu sebagaimana tercatat pada catatan panitia kerja yang bertanggal 14 Desember 2016.

Seharusnya pengaturan perzinaan dapat melihat sifat ketercelaan dari perzinaan yang pada dasarnya jelas melanggar norma agama dan living law di masyarakat. Sebagaimana empat hakim MK yang berbeda pendapat dalam putusan MK tentang perzinaan, menyatakan overspel (perzinaan) seharusnya melingkupi bagi yang sudah memiliki ikatan perkawinan (adultery) dan yang belum memiliki ikatan perkawinan (fornication) sesuai dengan norma agama yang ada di Indonesia.

Selain itu, dalam politik hukum pidana dikenal juga kebijakan non-penal –di mana pendekatannya cenderung ke pendekatan sosial. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar