Menjerat
Penghalang Penyidikan Korupsi
Herie Purwanto ; Pamen Bareskim,
Penugasan pada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
|
SUARA
MERDEKA, 18 Januari 2018
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan
bekas pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi (FY) dan seorang dokter Rumah
Sakit Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo (BST) sebagai tersangka.
Keduanya diduga menghalang-halangi penyidikan KPK dalam kasus megakorupsi e-
KTP.
"Penyidik meningkatkan status FY dan
BST dari penyelidikan ke penyidikan. FY ini seorang advokat dan BSTseorang
dokter," kata pimpinan KPK Basaria Panjaitan, di Gedung KPK Kuningan,
Jakarta Selatan.
FYmembantah adanya pemesanan satu lantai di
Rumah Sakit (RS) Medika Permata Hijau. "Itu fitnah, mimpi di siang
bolong, lantai tersebut ada empat pasien lainnya, emangnya bisa diusir,
gila," kata Fredrich seperti yang dimuat beberapa media.
Mereka berdua dijerat dengan Pasal 21
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Bunyi Pasal 21 sebagai berikut.
"Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para
saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)".
Membaca konstruksi Pasal 21, maka substansi
perbuatan yang bisa dipidana sebagai tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi adalah perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan
langsung atau tidak langsung proses penegakan hukum kasus korupsi.
Penetapan tersangka pada mantan pengacara
Setya Novanto dan dokter yang merawat Setya Novanto tentu
"membayar" rasa penasaran atas sepak terjang Setya Novanto yang
sempat viral sebelum akhirnya dia "mengalami kecelakaan menabrak tiang
listrik" hingga akhirnya ditahan oleh KPK.
Ekspektasi publik terhadap perkara tersebut
sangat besar. Harapan tersebut seolah muncul, di samping menyangkut perkara
korupsi e-KTP, juga karena berbagai manuver Setya Novanto yang berkesan ingin
melepaskan diri dari jeratan kasusnya.
Padahal publik saat itu sudah percaya bahwa
KPK mengantongi dua alat bukti meskipun pada tahap awal ketika praperadilan
KPK kalah. Begitu praperadilan jilid II menang, keyakinan tersebut semakin
bertambah ketika Setya berusaha "kabur" dari penangkapan KPK hingga
terjadilah tragedi "tiang listrik".
Terapi
Kejut
Seolah antiklimaks atas perjalanan
kasusnya, Setya Novanto pada minggu- minggu ini justru mengajukan diri
sebagai justice collaborator. Sikap ini justru meneguhkan bahwa sejatinya
Setya Novanto sudah mengakui keterlibatannya dalam korupsi e-KTP. Sebab,
salah satu syarat utama pemberian status sebagai justice collaborator adalah
mengakui kesalahannya.
Langkah penetapan tersangka terhadap mantan
pengacara dan dokter oleh KPK pada konteks hukum responsif, seperti yang
dikatakan Philippe Nonet dan Philip Selznick merefleksikan nilai-nilai yang
dominan, moralisme hukum yang akan menang. Upaya pengelabuan fakta yang
bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran menjadi kontraproduktif bagi
penegakan hukum sehingga akan berbanding lurus pada nilai-nilai kebenaran.
Disadari atau tidak, upaya KPK menjerat
pengacara dan dokter yang diduga menghalangi proses penyidikan bisa menjadi
terapi kejut siapa pun orang atau profesinya bila mencobacoba menghalangi
proses penyidikan korupsi. Selaras dengan penerapan pasal tentang menghalangi
proses penyidikan, perlu juga adanya terapi kejut bagi para tersangka yang
dalam proses penegakan hukum korupsi memberikan keterangan palsu, terutama
pada saat persidangan.
Kasus Miryam menjadi contoh bagaimana KPK
bersikap tegas dan tidak kompromi terhadap upaya-upaya pengelabuan
fakta-fakta korupsi. Alat bukti yang dimiliki KPK hendaknya diuji di
persidangan, bukan dengan cara-cara penghalangan ataupun memanipulasi
keterangan dalam bentuk keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU
Tipikor.
Perbuatan yang dengan sengaja tidak
memberikan keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar ini dapat
dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).
Lembaga praperadilan menjadi cara yang
legal apabila pihak tersangka ingin "mengoreksi" apakah langkah KPK
dalam menetapkan status tersangka sudah sah atau belum, bukan dengan
cara-cara yang justru membuka lubang kubur sendiri dan mengantarkannya pada
status tersangka tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar