Kemiskinan
di Jakarta,
Kenapa
tidak Kunjung Berkurang?
Bagong Suyanto ; Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Januari 2018
KENDATI tidak sedikit dana
dikucurkan dan berbagai program penanggulangan kemiskinan telah digulirkan,
tetapi jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta ternyata tidak banyak
berkurang.Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2015-2017), jumlah penduduk
miskin di DKI Jakarta dilaporkan justru bertambah.
Berbeda dengan jumlah
penduduk miskin di tingkat nasional yang cenderung turun, di DKI Jakarta
sekitar 393,13 ribu warga dilaporkan masih dalam kategori miskin. Per
September 2017, jumlah orang miskin di DKI Jakarta malah mengalami kenaikan
sebesar 3,77% (3,44 ribu orang), dari 389,69 ribu menjadi 393,13 ribu orang
antara Maret ke September 2017. Padahal, di tahun sebelumnya, September 2016,
persentase kemiskinan tercatat hanya 3,75% dengan 385,84 ribu orang miskin.
Meskipun angka kemiskinan
di DKI Jakarta paling rendah se-Indonesia, angkanya selalu stagnan dalam 10
tahun terakhir sehingga wajar jika muncul pertanyaan di mana kekeliruan yang
terjadi? Kenapa di ibu kota negara, yang perputaran uang mencapai 80% dari
perputaran uang nasional, masih ada penduduk miskin yang tidak kunjung
berkurang? Kenapa pula indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan
kemiskinan di DKI Jakarta juga meningkat.
Sejumlah
faktor
Jika dibandingkan
persentase kemiskinan nasional yang masih di atas angka dua digit (10,52%),
persentase jumlah penduduk miskin di Jakarta yang berkutat pada besaran
3,93%-3,78% memang tergolong kecil. Namun, kalau mengingat besaran anggaran
pembangunan yang tersedia dan banyaknya dana yang telah disalurkan untuk
membantu meningkatkan taraf kesejahteraan keluarga-keluarga miskin di DKI
Jakarta, sesungguhnya memang agak mengherankan jika besaran angka kemiskinan
cenderung stagnan.
Berdasarkan sinyalemen
Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta salah satu faktor yang menyebabkan
angka kemiskinan di wilayah ibu kota negara ini tidak kunjung berkurang ialah
akibat dari pilihan strategi dan pelaksanaan program pengentasan masyarakat
dari kemiskinan yang belum berjalan optimal. Secara garis besar, paling-tidak
ada tiga faktor yang menyebabkan program penanggulangan kemiskinan di DKI
Jakarta belum terbukti menimbulkan daya ungkit yang signifikan.
Pertama, berkaitan dengan
karakteristik program yang cenderung lebih banyak program yang sifatnya
amal-karitatif daripada program yang benar-benar berorientasi pemberdayaan.
Berbagai program penanggulangan kemiskinan, seperti program pemberian beras
sejahtera (rastra) yang dulu namnya program raskin (beras untuk orang
miskin), program keluarga harapan (PKH), program kartu Jakarta sehat (KJS)
dan kartu Jakarta pintar (KJP), dan lain-lain, semuanya telah dijalankan dan
dinikmati masyarakat miskin yang tersebar di berbagai wilayah DKI Jakarta.
Namun, karena substansi
program yang digulirkan umumnya hanya bersifat amal-karitatif, alih-alih
menstimulasi munculnya potensi swakarsa masyarakat. Dalam praktik justru yang
terjadi ialah makin memudarnya mekanisme self-help masyarakat untuk menolong
dan memberdayakan dirinya secara mandiri. Berbagai program yang sifatnya
populis justru melahirkan ketergantungan dan memudarnya etos kerja keras
masyarakat miskin.
Kedua, berkaitan dengan
faktor ‘deferensiasi struktural’ yang tidak banyak berkembang, bahkan
cenderung stagnan, yang menyebabkan peluang masyarakat miskin di DKI Jakarta
untuk menembus sekat-sekat antarkelas menjadi terhambat. Peluang penduduk
miskin di DKI Jakarta untuk mengembangkan potensi ekonominya seringkali
terkendala berbagai faktor perizinan, kelayakan tempat usaha, dan
syarat-syarat ketat layaknya aktivitas perekonomian firma.
Jangankan berusaha
mengembangkan aktivitas ekonomi yang makin luas, dalam kenyataan atas nama
ketertiban kota, sering terjadi usaha-usaha yang ditekuni masyarakat miskin
di DKI Jakarta justru rawan penggusuran. Penduduk miskin di DKI Jakarta yang
tidak memiliki modal yang memadai sering hanya berkutat mengembangkan usaha
mikro dan kecil, yang cepat atau lambat tersisih karena tak kuat menanggung
iklim persaingan usaha yang makin ketat dan cenderung properekonomian firma.
Ketiga, berkaitan dengan
perkembangan DKI Jakarta sebagai megapolitan yang makin tidak ramah kepada
rakyat miskin. Dalam berbagai kasus, keberadaan masyarakat miskin kota
umumnya makin tersisih ke pinggiran, dan usaha-usaha yang ditekuninya pun
makin kehilangan daya saing akibat penetrasi usaha-usaha berskala besar yang
jauh lebih mapan.
Produk-produk usaha kecil,
seperti makanan dan minuman yang dihasilkan masyarakat miskin, kini masih
tersisih kalah bersaing dengan produk-produk makanan perusahaan besar yang
menyebar luas di pasaran. Saat ini boleh dikata tidak banyak kesempatan
tersedia untuk peredaran produk masyarakat miskin karena situasi perekonomian
yang masih mengglobal.
Ilegal
Jika dibandingkan wilayah
perdesaan, tekanan kemiskinan yang terjadi di DKI Jakarta umumnya jauh lebih
menjejas dan mematikan. Di kota besar seperti DKI Jakarta, tekanan kemiskinan
lebih besar. Selain karena harga kebutuhan hidup yang lebih mahal, juga
karena tidak ada ada mekanisme shared poverty dan kurangnya jaring pengaman
sosial yang mampu mengurangi beban yang mesti ditanggung keluarga miskin di
kota besar.
Di DKI Jakarta, ketika
pola hubungan sosial dan pola hubungan kerja yang berkembang cenderung
bersifat kontraktual dan soliter, yang terjadi kemudian ialah meningkatnya
beban yang harus ditanggung masyarakat miskin di kota besar. Bagi masyarakat
miskin DKI Jakarta, mereka tidak hanya harus menghadapi iklim persaingan
dengan kelas sosial di atasnya, tetapi mereka juga harus berhadapan dengan
kaum migran miskin dari luar kota yang menyerbu DKI Jakarta.
Saat ini, satu-satunya
peluang yang tersisa bagi masyarakat miskin di DKI Jakarta umumnya hanyalah
usaha-usaha berskala kecil yang termasuk ke dalam aktivitas shadow economy,
bahkan tidak jarang sektor ekonomi yang ilegal. Tidak adanya pilihan lain
yang memungkinkan dapat mereka jadikan tempat untuk bergantung menyebabkan
masyarakat miskin di DKI Jakarta akhirnya terdorong masuk ke aktivitas
ekonomi yang tidak terlindungi, bahkan sebaliknya malah dijadikan objek
penggusuran aparat di kota.
Sepanjang Pemerintah DKI Jakarta
masih mengedepankan aktivitas perekonomian firma dan menganggap usaha
berskala kecil milik orang miskin sebagai gangguan atau beban kota, sepanjang
itu pula jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta tidak akan berkurang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar