Senin, 08 Januari 2018

Kecerdasan (Ber)demokrasi

Kecerdasan (Ber)demokrasi
Tulus Sudarto ;  Rohaniwan; Bekerja di Paroki St Theresia Sedayu, Yogyakarta
                                                      KOMPAS, 02 Januari 2018



                                                           
Ada sesuatu yang berbeda mengenai isu politik mutakhir, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, menyangkut cara masyarakat bangsa ini meresponsnya.

Terpilihnya Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto ternyata tidak memproduksi meme sebanyak adegan ”tiang listrik” ala politisi tertentu ataupun foto-foto gubernur Jakarta memberi excuse teologis mengenai problem banjir di Jakarta.

Lagi-lagi, atas motivasi politis murahan tapi begitu laris, nama istri yang ”tidak Indonesia” yang dipakai sebagai isu jualan utama. Selebihnya hanyalah spekulasi mengenai probabilitas kekuatan petahana dalam tahun politik nanti yang semakin menipis gara-gara semakin banyaknya ”pembelot”.

Dua hal bisa dianalisis dari hal ini. Pertama, peran negara dalam menjamin hak setiap warga sekaligus mengaturnya sedemikian rupa sehingga demokrasi tak berarti ”apa-apa boleh” dan ”sekenanya bisa”. Ketegasan negara melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk registrasi ulang nomor-nomor telepon seluler pribadi dalam tingkat apa pun telah membangun suatu psikologi kepatuhan tertentu dalam diri masyarakat.

Sebagai contoh, berita yang tersebar mengenai walk-out-nya seorang pianis di tengah sambutan kepala daerah hanya berhenti pada bentuk media sosial khusus, tidak lagi melalui Whatsapp (WA). Setelah rangkaian pesan melalui WA berpindah dari satu telepon ke telepon lain, tiba-tiba ada isi pesan yang memperingatkan dengan keras tentang kebenaran info tersebut disertai ancaman pemrosesan secara hukum menyangkut pencemaran nama baik.

Tidak pernah diketahui siapa yang mengirim pesan mengenai ancaman tentang penyebaran info melalui WA tersebut. Tetapi, senyatanya telah terbentuk ”ketakutan tertentu” di tingkat akar rumput untuk tidak meneruskan isi pesan tersebut dan hanya terbatas perbincangan atau guyonan sembari minum kopi. Akibatnya, wawancara pada pianis tersebut di kemudian minggu tidak lagi semenarik berita beberapa jam persis setelah acara tersebut berlangsung. Level tegangan (suspense) sudah terlebih dahulu menurun dan lama-lama hilang.

Kewaskitaan generik

Kedua, dan paling utama, adalah cara masyarakat ”membaca” politik dengan kacamata awam. Setelah Trio Macan diperkarakan dalam pengadilan karena telah menyebarkan berita dengan tingkat akurasi tinggi, awam nyaris tak punya sumber informasi lagi mengenai pergerakan ataupun manuver politik para elite.

Bukan berarti kaum awam tak dapat mengakses berita paling sahih ataupun paling aktual. Kaum awam tetaplah awam yang memiliki kemampuan analitis tersendiri dalam berpolitik. Yang aneh bukan pertama-tama media sosial yang bagai tsunami membanjiri masyarakat dengan info-info politik terkini. Namun, de facto makin transparannya perebutan kekuasaan yang dilakukan secara brutal dan vulgar, itulah yang membuat masyarakat awam dapat membaca dengan jelas mengenai perpolitikan di negeri ini.

Bahwa meritokrasi baru berjalan 2-3 langkah dengan terseok-seok tetapi langsung dibabat habis oleh kekuatan birokratif lama, itulah hal pertama yang dibaca oleh masyarakat awam. Pematahan secara sistematis melalui penggalangan kekuatan politik yang lebih tersistem telah bersifat abortif atas benih demokrasi yang asli.

Bahwa politik berisi tikung-menikung dan tikam-menikam antarkubu, itulah yang dibaca oleh kaum awam yang mengkristalkan ujaran klasik betapa tak ada musuh atau kawan abadi dalam politik dan yang ada hanyalah kepentingan abadi. Ibaratnya, sistem meritokrasi saat ini semakin kehilangan orang- orang kuat yang menopang setelah poros-poros tertentu telah digerogoti oleh kekuatan-kekuatan ”musuh dalam selimut”.

Persis seperti dalil Nietzsche, kekuasaan selalu bersifat merusak. Kehendak untuk berkuasa demi kekuasaan itu sendiri senantiasa korup. Bahwa ada atmosfer tertentu di setiap benak warga kalau bangsa ini benar-benar membutuhkan figur pemimpin demi masa depan dan bukan demi masa lalu, itulah yang pelan-pelan menjadi sekadar utopia karena telah dihantam oleh kekuatan-kekuatan spartan yang bersekutu dari pelbagai penjuru.

Ibaratnya, Indonesia tidak butuh santo. Orang sebaik apa pun tidak akan menjadi pemimpin yang bisa diterima jika tidak ikut berkotor-kotor dalam sistem. Selain itu, Indonesia juga tak butuh ”Rambo”. Sistem sudah demikian mengakar kuat jadi labirin yang begitu rumit dan ruwet.

Satu hal yang tetap adalah soal cara cerdas masyarakat dalam berdemokrasi. Memang peran massal dari kaum awam seolah nyaris tidak menunjuk sebagai variabel aktif dalam kehidupan demokrasi. Namun, masyarakat tetaplah masyarakat yang memiliki insting politik tertentu yang sering kali tidak dihiraukan oleh para penguasa politik.

Sekali tidak dianggap sebagai partisipan aktif dan hanya dianggap sebagai massa anonim, para elite politik yang berburu kekuasaan sungguh akan menerima nasib mereka ditinggalkan oleh akar rumput. Dan, kekuatan akar rumput ini tidak pernah bisa dibeli dengan uang. Sangat mungkin ancaman yang bersifat harian dan secara kolektif akan membuat masyarakat akar rumput ini patuh pada kekuasaan. Tetapi, cara berpolitik masyarakat awam ini telah sedemikian bertumbuh secara kualitatif.

Persis seperti jungkat-jungkit: di satu sisi, kubu tertentu begitu menggebu dalam mengejar kekuasaan. Kubu lain berisi masyarakat akar rumput yang lebih sumeleh karena mengendus aroma syahwat kekuasaan yang tak tertahankan.

Kontraproduktif

Penampakan rebutan kekuasaan yang banal dan ugal-ugalan tidak pernah dapat merebut hati masyarakat akar rumput. Behaviorisme demokrasi selalu saja bohong. Ibarat gunung es, tampilan-tampilan periferal demokrasi memendam 90 persen bawah-sadar kultur politik yang substansinya adalah dekonstruksi total. Bagian terbesar dalam demokrasi inilah yang merupakan kecerdasan masyarakat akar rumput.

Lubang hitam demokrasi Indonesia tidak terletak pada ”kebodohan masyarakat” ataupun keterbelakangan awam yang bersifat massal. Namun, problem tunggal yang abadi dalam sejarah demokrasi kita selalu saja mengenai rebutan kekuasaan, yang ujung-ujungnya bersifat ”fulusofis” daripada filosofis.

Macetnya demokrasi senantiasa terletak pada ”fulusofi” (baca: fulus, uang!) kekuasaan, bukan filosofi kekuasaan. Fulusofi kekuasaan lebih mengandalkan ”otot” daripada ”otak”. Fulusofi kekuasaan paralel lebih mengutamakan ”okol” (kekuatan fisik) daripada ”akal” (kekuatan nilai). Istilah dalam bahasa Jawa, asu gedhe menang kerahe. Anjing besar menang rebutan.

Sayangnya, masyarakat akar rumput tak lagi berada pada level berdemokrasi untuk cari makan, tetapi sudah naik tingkat pada level nilai. Berapa banyak masyarakat akar rumput yang mau menerima uang dari penguasa tetapi tetap keukeuh pada pilihan politik yang lebih menjamin nilai? Berapa banyak masyarakat yang justru nyinyir melihat elite politik menggebu-gebu dalam pencitraan, tetapi sebetulnya hanyalah periferal dan artifisial? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar