Rabu, 17 Januari 2018

Asmat dan Pembangunan

Asmat dan Pembangunan
Achmad Maulani  ;  Staf Ahli Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
                                                      KOMPAS, 17 Januari 2018



                                                           
Kasus gizi buruk dan campak yang telah merenggut nyawa 63 anak di Kabupaten Asmat, Papua, dalam beberapa bulan terakhir bukan sekadar bencana kesehatan (”Kompas”, 13/1). Lebih dari itu, hal tersebut merupakan potret ironi sebuah bangsa.

Sebuah paradoks pembangunan dan ketimpangan yang tidak bisa dibantah. Meminjam istilah Ufford dan Giri (2004), kasus itu menunjukkan ketidakselarasan dalam praktik pembangunan.

Moral pembangunan dalam hal ini jelas harus digugat. Negara harus diingatkan bahwa ia alpa menyantuni setiap anak bangsa sehingga sebagian dari warganya telah tersisih di tepi pembangunan tanpa kehadiran negara. Betapa tidak, kejadian luar biasa ini terjadi di sebuah negara yang telah menempatkan cita-cita keadilan sosial sebagai tujuan akhir bernegara.

Harap dicatat, di wilayah dengan luas hampir 40.000 km persegi itu, dalam beberapa bulan terakhir sedikitnya 171 anak dirawat inap dan 393 dirawat jalan di RS setempat. Puncaknya adalah terenggutnya puluhan jiwa anak yang rata-rata berusia 1 tahun-3 tahun. Kemiskinan pun begitu akrab dengan kehidupan warga: 27,79 persen penduduk hidup miskin.

Bencana ini jelas menunjukkan satu hal, basis falsafah politik bernegara, yakni terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, telah tercederai. Negara (pemerintah pusat dan daerah) lalai merawat kelas-kelas rakyat yang diasuhnya.

Paradigma penyelesaian masalah yang ditawarkan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, juga terkesan menganggap remeh persoalan ini. Dalih bahwa Papua sudah memiliki dana otonomi khusus adalah bentuk lempar tanggung jawab yang jelas menunjukkan tiadanya sense of urgency dalam rona kebijakan publik yang diproduksi negara.

Fenomena yang terjadi di Asmat, Papua, tersebut saya kira hanyalah puncak gunung es dari ribuan kisah kemiskinan yang melilit warga bangsa ini. Kejadian itu seolah memutar kaset lama yang terus berulang. Negara seakan tidak memiliki peta jalan yang jelas dalam penanganan kasus gizi buruk. Betapa tidak, beberapa tahun lalu, 1.918 anak di Nusa Tenggara Timur juga menderita gizi buruk. Dari jumlah itu, 11 anak berusia balita meninggal.

Ranah komunitas miskin

Serangkaian kejadian itu jelas memunculkan pertanyaan gugatan: apakah kebijakan-kebijakan yang diambil negara, legislatif maupun eksekutif, selalu abai dalam menyentuh ranah komunitas-komunitas miskin? Pertanyaan fundamental ini penting agar proyek-proyek pembangunan yang selalu diagung-agungkan tidak kehilangan saripati sosialnya dan justru memunculkan kesenjangan.

Selain itu, desentralisasi dan otonomi khusus yang selama ini berlangsung di tanah Papua tidak boleh hanya memakmurkan segelintir elitenya. Kasus Asmat harus menjadi pelajaran bahwa ruang-ruang perdebatan publik yang terhampar di seluruh lini birokrasi negara tidak boleh habis hanya untuk memperbincangkan jatah kursi pilkada, belanja fasilitas pegawai, ataupun kasak-kusuk politik dalam riuh pemilihan kepala daerah.

Isu-isu itu adakalanya penting. Namun, ketika lalu lintas perbincangan tidak bersinggungan dengan kondisi riil rakyat, sebaiknya ia harus minggir terlebih dahulu. Potensi diskoneksi demokrasi (disconnected democracy), ketika kesejahteraan masyarakat di satu sisi dengan hiruk pikuk politik beserta elite-elitenya pada sisi lain berjalan sendiri-sendiri, harus dicegah.

Sudah saatnya suatu kebijakan yang diambil negara diformulasikan untuk menyelamatkan sendi-sendi sosial kehidupan rakyat. Misalnya, dengan memperkuat kebijakan layanan sosial dasar, terutama kesehatan dan  pendidikan, pengelolaan anggaran pro-poor, sumber daya manusia yang mumpuni, serta memunculkan inovasi-inovasi kebijakan yang membuat masyarakat merasakan kehadiran negara. Prinsipnya, kebijakan yang mampu menghadirkan visi keadilan negara.

Amartya Kumar Sen  (dalam The Kian Wie, 2004) secara tajam mengkritik pandangan yang mengatakan bahwa bencana kelaparan, yang berimplikasi pada kekurangan gizi, disebabkan hanya persoalan kekurangan  persediaan pangan. Sen melihat bahwa bencana kelaparan juga erat kaitannya dengan ketiadaan entitlement (hak) yang dimiliki setiap orang. Mulai hak untuk mengakses fasilitas umum dan sosial, seperti program kesehatan atau pendidikan yang memadai, hingga program ketertiban sosial lainnya.

Bencana kesehatan di Kabupaten Asmat sekali lagi menunjukkan bahwa jargon membangun Indonesia dari pinggiran yang menjadi ”mantra suci” pemerintah ternyata belum   benar-benar menyentuh wilayah pinggiran-pedalaman. Pembangunan proyek infrastruktur tidak disertai bidang-bidang pelayanan sosial dasar, yakni pendidikan dan kesehatan. Kondisi inilah yang menyebabkan siklus kemiskinan tak bisa diputus dan selalu beregenerasi.

Menyikapi kondisi tersebut, ada beberapa langkah mendesak yang saya kira harus segera dilakukan oleh segenap pemangku kebijakan. Pertama dan utama adalah memperkuat kapasitas pemerintah daerah, terutama dalam bidang pelayanan sosial dasar. Penguatan kapasitas ini harus mencakup segala lini, mulai perspektif soal penganggaran, kapasitas sumber daya manusia seluruh aparatur birokrasi, dan kualitas pelayanan publik.

Paradigma pelayanan publik yang hanya menekankan kepada standar pelayan minimum (SPM) harus digeser ke paradigma new public service yang meletakkan pelayan publik sebagai perwujudan hak rakyat dan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Prinsip utamanya adalah rakyat sebagai pemilik kedaulatan mesti menikmati hak-hak dasarnya dan tugas negara adalah memastikan perwujudannya secara optimal.

Optimalkan dana desa

Langkah kedua adalah mengoptimalkan penggunaan dana desa. Pada 2018, pemerintah menggelontorkan dana desa Rp 60 triliun untuk seluruh desa. Setiap desa akan menerima dana Rp 800 juta-Rp 1 miliar. Menurut Peraturan Menteri Desa Nomor 19 Tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2018, dana itu bisa digunakan untuk berbagai bidang. Salah satunya fasilitas kesehatan dan pendidikan. Misalnya, pembangunan posyandu, klinik kesehatan serta apotek, dan PAUD. Untuk Kabupaten Asmat, daya ungkitnya akan makin kuat jika disandingkan dengan dana anggaran otonomi khusus.

Langkah ketiga adalah dengan memastikan kembali bahwa dana otonomi khusus yang diberikan kepada Papua dipergunakan untuk kesejahteraan. Dalam hal ini, pemerintah daerah tentu harus detail melakukan assessment dan memetakan persoalan-persoalan yang mendesak untuk diselesaikan. Hal ini terkait dengan peningkatan kapasitas pemerintah daerah.

Pesan moral utama yang hendak disampaikan bahwa gegap gempita pembangunan dengan proyek-proyek infrastruktur tidak boleh meminggirkan anak bangsa untuk menikmati nisbah pembangunan. Slogan membangun dari pinggiran, dengan demikian, harus kembali diberi roh agar pelaksanaannya lebih berkualitas dan menyentuh rakyat, bukan terkesan jargon tanpa makna.

Pembangunan harus mampu mengajak segenap anak bangsa untuk bersama-sama melakukan mobilitas vertikal menuju taraf yang lebih baik. Itulah makna moral pembangunan. Dengan itu, semua kita dapat terhindar dari jebakan yang oleh Weber disebut sebagai ”sangkar besi pembangunan”. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar