Agama
dan Pilkada
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara
Foundation
|
KORAN
SINDO, 11 Januari 2018
SAYA mendapat kesempatan
berada di Tanah Air dalam tiga hari terakhir, bersamaan dengan masa-masa
pendaftaran calon-calon yang akan bertarung di pilkada serentak di tanah air
tahun ini. Sungguh banyak hal yang saya pelajari, yang boleh jadi selama ini
sering saya dengar. Tapi kali ini hal-hal itu nampak di hadapan mata, bahkan
serasa saya sendiri yang mengalaminya.
Manuver-manuver politik
yang begitu dahsyat, bahkan tidak jarang menengangkan bagi para bakal calon
dan para pendukungnya. Manuver-manuver itu tidak lepas dari “keuangan yang
maha kuat”, dan himpitan kepentingan, langsung ataupun tidak. Langsung
berarti dengan memenangkan kandidat tertentu ada pihak-pihak yang secara
langsung meraup keuntungan, khususnya meraup keuntungan materi.
Tapi ada juga yang
bertujuan dengan memenangkan kandidat tertentu merasa kepentingannya akan terlindungi,
apakah itu posisi selanjutnya atau boleh jadi dari kemungkinan terbongkarnya
kejahatan-kejahatan yang melibatkan dirinya. Bahkan benar tidaknya proses
pencalonan ini kerap kali melibatkan “penyanderaan” pada tingkatan tertentu.
Artinya jika tidak
meloloskan kandidat tertentu maka ada “kasus”. Apakah itu benaran atau boleh
jadi dalam bentuk “rekayasa” yang akan dimainkan untuk mencelakakang
pihak-pihak yang menentukan rekomendasi sang calon.
Penentuan rekomendasi oleh
pimpinan pusat partai juga menjadi dilema besar. Selain karena mereka yang di
pusat belum tentu tahu realita daerah, juga pengurus partai daerah juga sarat
dengan kepentingannya, yang belum tentu sejalan dengan kepentingan umum
konstituennya.
Realita ini yang
seringkali menjadikan sikap partai-partai sangat membingunkan, seolah tidak
berprinsip. Di pusat atau di daerah lain menampakkan diri sebagai musuh, tapi
di daerah tertentu justru berangkulan.
Apakah hal itu salah?
Tentu tidak karena partai memang kendaraan untuk mencapai tujuan politik.
Dilemanya ada pada apa yang dimaksud tujuan politik itu? Apakah itu
kemahakuasaan uang? Atau sekadar kekuasaan itu sendiri seraya menghiraukan
kepentingan umum rakyat?
Yang lebih parah lagi
adalah ketika partai-partai yang berangkulan untuk kandidat tertentu itu
secara ideologi kontras. Di saat sebuah partai misalnya dituduh melindungi
kebijakan-kebijakan yang “anti Islam” dan "kepentingan rakyat mayoritas”
tapi di sisi lain berangkulan mendukung kandidat tertentu. Tentu hal ini
bukan lagi pertimbangan “strategi” tapi sudah menjadi isu ideologi.
Religiusitas
Musiman
Ada lagi satu hal yang
lucu di musim pilkada, dan juga pilihan-pilihan lainnya termasuk pemilihan
anggota legislatif bahkan pilpres. Yaitu terjadinya musim beragama dadakan. Tiba-tiba
saja para kandidat menjadi sangat religius dan punya perhatian kepada agama.
Ada yang selama ini
dikenal liar dari agama, bahkan maaf kerap kali menampakkan
ketidaksimpatisannya kepada agama. Tiba-tiba di saat akan memasuki hari-hari
kampanye secara mendadak menjadi sangat religius. Rajin mengunjungi masjid,
berpakaian koko dan songkok, bahkan memberikan janji-janji kesejahteraan
kepada para takmir masjid.
Bahkan tidak lagi menjadi
rahasia umum jika ada pihak-pihak yang berkepentingan menampilkan perilaku
kontra yang nyata. Semua ini menunjukkan bahwa memang agama masih menjadi
komoditas menarik untuk dijual demi kepentingan-kepentingan politik. Kerap
kali agama menjadi bumper bagi kepentingan-kepentingan sesaat para politisi.
Di satu sisi, sebagaimana
sering saya sampaikan, masyarakat Indonesia masih sangat labil dalam emosi.
Begitu mudah terbawa arus, mengikuti arus dan hembusan angin kepentingan
mereka yang berkepentingan. Kelabilan emosi ini menjadikan umat dan bangsa
ini sangat mudah marah, tapi juga mudah melupakan dan terbuai di kemudian
hari.
Oleh karenanya di
saat-saat seperti ini, di saat ketika berbagai manuver dilakukan untuk
meloloskan kepentingan politik, umat harus punya prinsip. Bahwa dalam memilih
hendaknya memperhatikan latar belakang, realita karakter pribadi, keluarga
serta kematangan dari calon-calon yang ada.
Jangan mudah silau,
apalagi terjatuh dalam perangkap kepentingan sesaat. Khusus dalam hal agama
hendaknya jeli dengan latar belakang seseorang. Agama itu tidak terjadi
secara spontanitas. Agama itu adalah kehidupan.
Kalau kehidupan seseorang
selama ini acuh, tidak peduli, bahkan kontra dengan agama itu sendiri, lalu
tiba-tiba di musim kampanye menjadi sangat agamis? Apakah itu kejujuran? Atau
itu sebuah jebakan bagi khalayak ramai untuk mendukungnya.
Tapi kalau seorang
kandidat itu jelas latar belakangnya, keluarganya, bahkan sikap dan kebijakan
publiknya jelas memihak, jangan lagi ragu untuk memilihnya. Pilihlah
kejujuran di atas kepura-puraan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar