Utak-Atik
Koalisi Politik
Hanta Yuda AR ; Direktur Ekesekutif
Poltracking Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Januari 2018
PENDAFTARAN calon kepala
daerah dalam Pilkada 2018 telah berakhir. Meskipun pergerakan bongkar pasang
dan utak-atik koalisi antarpartai politik (parpol) sangat dinamis, bahkan
hingga waktu akhir pendaftaran, perubahan komposisi koalisi antarparpol masih
berubah di beberapa daerah. Koalisi yang semula terbaca publik sudah solid
dan mantap, tiba-tiba bubar dan membentuk format baru koalisi yang sama
sekali berbeda. Mengapa perubahan komposisi koalisi dalam mengusung calon
kepala daerah menjadi demikian mudah berubah dan cair? Apa sesungguhnya yang
menjadi pijakan parpol dalam menentukan bakal calon kepala daerah dalam pilkada?
Tulisan ini mencoba menganalisis problem koalisi partai kita serta berbagai
aspek yang memengaruhi utak-atik koalisi parpol. Ada tiga hal yang
menjelaskan hal ini: 1) problem tuna-ideologi partai; 2) struktur kekuasaan
partai yang oligarkis; dan 3) realitas politik elektoral.
Tuna-ideologi
Meskipun terlihat klise,
sindrom tuna-ideologi yang menjerat parpol tak bisa lepas dari rantai
kausalitas bongkar pasang koalisi. Partai yang ada saat ini terlihat tak
mampu menjalankan platform ideologinya secara jelas. Sejurus dengan tesis
Kirchheimer (1966) setengah abad yang lalu soal catch-all party yang
berkembang di negara-negara Barat hingga kini, partai yang ada di Indonesia
relatif tidak berbeda. Partai dengan sengaja mengaburkan basis ideologinya
untuk menangkap semua kelompok pemilih. Identitas ideologis hanya digunakan
sebagai pembungkus kepentingan politik dan elektoral.
Sekalinya bertemu dalam
muara kepentingan yang sama, partai-partai ‘beda warna’ itu dengan segera
bisa leluasa bersenyawa. Partai nasionalis dan partai religius yang tak
canggung membangun relasi koalisi untuk mengajukan kandidat tertentu.
Misalnya, di Jawa Tengah (Jateng), PDIP bisa leluasa berkoalisi dengan PPP
mencalonkan pasangan Ganjar-Gus Yasin sebagai pasangan Cagub Jateng. Derita
tuna-ideologi parpol ini berakibat fatal pada pembangunan koalisi partai.
Pertama, spektrum ideologi parpol sering tak sejalan dengan garis kebijakan
partai. Misalnya, partai dengan identitas keagamaan bisa sangat cair dan
terlihat memiliki tabiat yang sama dengan partai berbaju nasionalis.
Kedua, di antara partai
pengusung dengan kandidat sering tidak linear dengan garis ideologinya. Pada
titik ini, kader partai menjadi korbannya. Mereka tak berdaya jika partai
mengusung kandidat di luar partai semisal mengejar kemenangan dengan hanya
menimbang faktor elektabilitas dan modalitas. Ketiga, proses koalisi di
daerah sering kali asimetris dengan koalisi di tingkat nasional. Misalnya,
relasi Partai PDIP-Gerindra berhadap-hadapan dalam politik nasional, tapi
bisa berkoalisi mendukung calon yang sama di pilkada Jawa Timur (Jatim) dan
Sulawesi Selatan (Sulsel). PDIP dan Demokrat juga cenderung berseberangan di
koalisi nasional, namun bisa berkoalisi dalam Pilkada Jateng dan Kalimantan
Barat (Kalbar). Begitu juga gambaran relasi PKS dan PDIP yang
berseberangan di koalisi nasional tapi mampu membentuk koalisi di Pilkada
Jawa Timur (Jatim) dan Sulsel. Relasi ini memberi gambaran bahwa semua bisa
berkoalisi dalam satu muara jika bertemu kepentingan yang sama.
Oligarki
parpol
Faktor lainnya yang
memengaruhi bongkar pasang koalisi parpol ialah kekuatan oligarki yang
berkembang dalam tubuh parpol. Dalam proses koalisi, pimpinan partai menjadi
semacam oligarki yang begitu berkuasa baik karena kekuatan finansialnya
maupun karena posisi kekuasaan di internal partai yang diakui hukum. Hegemoni
parpol dalam proses rekrutmen atau seleksi kandidat diperparah kekuatan
oligarki yang telah menjadikan proses kandidasi menjadi domain privat para
oligarki di tubuh partai. Argumen itu sejalan dengan beberapa Winters
(2011) serta Robison dan Hadiz (2004) yang menjelaskan bahwa para oligarki
telah membajak parpol di Indonesia.
Dan efek destruktif dari
oligarki di tubuh parpol ialah sentralisme struktur kekuasaan di dalam
partai. Pengurus partai daerah tak memiliki kekuatan otonom mengambil
keputusan politik koalisi. Mereka sepenuhnya bergantung kepada putusan dari
pimpinan parpol di Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Kondisi itu menjadikan para
pengurus DPP memiliki kekuatan besar dalam menentukan koalisi parpol yang
berkembang di semua wilayah. Karena pencalonan kandidat adalah domain para
elite, kedekatan elite parpol menjadi determinan pola koalisi. Misalnya,
kedekatan elite PDIP, PKB, dan NasDem akan cenderung mudah membentuk koalisi
dalam pilkada. Begitu juga dengan kedekatan elite PKS dengan sosok Prabowo
Subianto Ketum Gerindra akan cenderung memudahkan koalisi PKS-Gerindra di
beberapa Pilkada semisal Jawa Barat (Jabar), Jateng, Sumatra Utara (Sumut),
Kalimantan Timur (Kaltim), dan Sulsel.
Realitas
politik elektoral
Dua problem kepartaian tersebut
bertemu dengan beberapa realitas politik elektoral di Indonesia. Pertama, karena
perkembangan studi soal perilaku, partai akhirnya mempunyai referensi untuk
melihat potensi keterpilihan kandidat. Hampir semua partai mempertimbangkan
elektabilitas kandidat sebagai syarat pemberian dukungan. Pertimbangan ini
merupakan kalkulasi realistis parpol untuk memenangi pilkada. Sebagaimana
kata Storm (1990), pada dasarnya semua partai ingin menang pemilu. Tak pelak
kandidat dengan elektabilitas tinggi menjadi magnet bagi banyak partai.
Realitas kedua, regulasi
20% kursi menjadi pertimbangan praksis bagi partai untuk menimbang-nimbang
dukungan kandidat dalam pilkada. Pertimbangan kecukupan jumlah kursi ini
menjadi rawan terjadi transaksi politik yang tidak sesuai dengan platform
parpol. Namun, demi tujuan praktis kecukupan dukungan, lobi-lobi koalisi tak
terhindarkan.Terakhir ialah tingginya fragmentasi sistem kepartaian di level
lokal. Persebaran kursi di DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota
menciptakan tidak adanya dua atau tiga partai dominan. Dirk Tomsa (2014)
bahkan mencatat fragmentasi politik di level subnational ini jauh lebih
tinggi jika dibandingkan dengan fragmentasi di level pusat. fragmentasi yang
tinggi ini menyebabkan pola koalisi partai dalam pencalonan kepala daerah
tidak konsisten dengan karier politik kader, apalagi ideologi partai.
Akhirnya, rentetan kausalitas
di atas mau tak mau menyebabkan koalisi partai dalam pencalonan kepala
daerah manjadi begitu cair. Pertanyaannya, apakah tugas partai dianggap
selesai setelah surat rekomendasi diturunkan dan kandidatnya terdaftar di
KPU? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar