Jumat, 02 Juni 2017

Rumah Bersama Bernama Pancasila

Rumah Bersama Bernama Pancasila
Imam Nahrawi  ;   Menteri Pemuda dan Olahraga RI
                                                        JAWA POS, 01 Juni 2017




                                                           
KETEGANGAN dan polarisasi yang dipicu oleh proses politik elektoral memang mencemaskan. Betapa tidak. Karena perbedaan pandangan dan posisi politik, satu sama yang lain saling serang secara membabi-buta. Yang satu menuduh kafir, yang lain menuding garis keras. Yang satu teriak anti-asing, yang satu lagi mendamprat anti kebinekaan. Tidak heran jika sampai ada hubungan silaturahmi yang retak gara-gara itu.

Perbedaan pandangan dan sikap politik sebenarnya hal jamak dalam kehidupan demokrasi. Jika mau ditelaah lagi, ketegangan dan polarisasi yang terjadi pada masa silam bahkan jauh lebih kuat dan keras. Dulu ketegangan dan polarisasi itu bahkan dipicu oleh sesuatu yang mendasar: konflik ideologi. Pada masa ketika para pendiri bangsa masih mencari-cari bentuk kebangsaan dan kenegaraan, konflik ideologi itu tampak lebih sulit didamaikan, bahkan walau tidak sedang terjadi proses politik elektoral sekali pun.

Justru karena konflik ideologi yang mengeras itulah kita akhirnya ’’menemukan’’ Pancasila.

Dalam pidato di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni, yang hari ini kita peringati sebagai Hari Lahir Pancasila, Bung Karno dengan begitu menggugah mengutarakan gesekan ideologi sebagai keniscayaan:

’’Tidak ada satu staat (negara) yang hidup betul, betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih bak kawah candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Tidak ada negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya.’’

Dengan metafora ’’menumbuk padi’’ itulah, Bung Karno hendak menegaskan bahwa sejarah Indonesia memang penuh dengan gesekan, konflik, kompetisi, atau kontestasi politik dan ideologi. Dalam kontestasi politik dan ideologi itulah, Bung Karno berpidato dan akhirnya mengajukan proposal hebat yang bernama Pancasila. Nasi bernama Indonesia, atau bisa saja kita sebut ’’nasi Pancasila’’, adalah buah dari proses tumbuk-menumbuk berbagai paham dan aliran politik serta ideologi dalam lesung sejarah kebangsaan kita.

Tumbuk-menumbuk itu melibatkan ideologi kiri, tengah, maupun kanan. Dari kalangan sosialis, bahkan komunis, di kiri, kaum nasionalis di tengah, hingga kaum agamis di sisi kanan perjuangan. Pancasila adalah hasil tumbuk-menumbuk itu, semacam jalan tengah, yang dari sanalah ’’rumah bersama’’ bernama Indonesia akhirnya mendapat payungnya.

Tumbuk-menumbuk aliran politik, bahkan ideologi, dalam lesung ke-Indonesia-an itu niscaya tidak akan pernah berhenti. Jangan berpikir bahwa sekali Pancasila disepakati oleh para pendiri bangsa, maka tidak akan ada lagi tumbuk-menumbuk berikutnya. Sama sekali tidak. Jalan sejarah bangsa ini terus saja bergelora, dengan amat dinamis, dan dalam sejumlah kesempatan –sayangnya– berakhir dengan pedih dan perih.

Persoalannya bukan pada proses tumbuk-menumbuk itu, melainkan apa yang akan dihasilkan?

Oleh para pendiri bangsa, proses tumbuk-menumbuk itu melahirkan konsensus berharga bernama Pancasila. Sebuah konsensus yang memungkinkan Indonesia yang beragam mampu bertahan melewati berbagai kelokan sejarah. Konsensus yang menjadikan Indonesia sebagai milik bersama, bukan sekelompok atau segolongan orang belaka.

Tentu saja Pancasila bukan kreasi yang sempurna. Sebab, Pancasila memang bukan wahyu dari Dia Yang Maha Sempurna Lagi Menyempurnakan. Pancasila adalah kreativitas para pendiri bangsa dalam menyikapi realitas dunia yang plural, pelik, kompleks, dan centang perenang.

Amat tepat jika, lagi-lagi, Bung Karno menggunakan kiasan ’’menggali’’ saat menceritakan proses mengkristalkan pemikirannya mengenai Pancasila yang kemudian dia uraikan dalam pidato pada 1 Juni 1945. Kiasan ’’menggali’’ dari Bung Karno menyiratkan proses membumi, menuju bumi, mengais-ngais apa yang terpendam di dalam bumi, dan bukan menyorong-nyorongkan tangan dalam rupa memohon ke atas langit.

Dengan kiasan ’’menggali’’, Bung Karno –juga semua pendiri bangsa yang menyepakati konsensus bernama Pancasila– tidak akan pernah mengklaim Pancasila sebagai sesuatu yang suci lagi wingit laksana wahyu yang turun dari pucuk Arasy. Pancasila adalah kreativitas manusia dan kemanusiaan. Justru karena itulah Pancasila menjadi hidup dan sadar akan dinamika yang riil terjadi.

Pancasila bukan hukum langit sehingga pada dirinya sendiri Pancasila mengakui kekurangan, ketidaksempurnaan. Karena itulah, memang watak dunia yang terus bergerak dan berubah. Pancasila tidak boleh berhenti menjadi doktrin, apalagi dogma. Sebab, begitu Pancasila didekati sebagai dogma, ia akan rentan digugat oleh perkembangan sejarah. Pancasila semestinya menjadi medan ’’tumbuk-menumbuk’’ di mana satu sama yang lain saling menguji, saling berkontestasi, saling menyebarkan pengaruh –selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum.

Bagi kelompok yang ingin mengukuhkan sila pertama, silakan saja. Tetapi, Pancasila juga punya sila-sila yang lain sehingga sila pertama (yang menekankan agama) tidak akan menjadi maslahat jika tidak diikuti oleh, misalnya, prinsip kemanusiaan (sila kedua) dan prinsip keadilan (sila kelia). Yang ingin lebih menonjolkan sila kelima (tentang keadilan), yang cukup lama dicurigai sebagai pengejawantahan sosialisme, juga dipersilakan. Tapi, jika itu dilakukan dengan mengabaikan sila-sila yang lain, misalnya sila pertama tentang ketuhanan, perjuangan itu tentu akan semakin sulit terealisasi secara –katakanlah– politik elektoral.

Ilustrasi di atas inilah yang kiranya bisa menegaskan Pancasila sebagai jalan tengah, sebagai konsensus, sebagai rumah bersama, dari keberagaman yang dianugerahkan Tuhan kepada Indonesia. Kita harus merawat dan menjaganya dengan sepenuh hati. Sebab, jika Pancasila roboh, rumah bersama itu pun akan runtuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar