Jumat, 02 Juni 2017

Penelantaran Warisan Jassin

Penelantaran Warisan Jassin
Bandung Mawardi ;   Kuncen di Bilik Literasi Solo
                                                   KORAN TEMPO, 02 Juni 2017



                                                           
Hari-hari menjelang peringatan 100 tahun H.B. Jassin (3 Juli 1917–3 Juli 2017), kita masih bersedih atas nasib sial warisan sang kritikus sastra berupa Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Warisan itu telantar saat pemerintah, perusahaan, dan komunitas sedang gencar mengadakan aksi literasi dengan mendirikan taman baca atau perpustakaan. Di pelbagai desa dan kampung, orang-orang pun mengadakan pustaka bergerak, menghampiri orang-orang untuk berkenan menjadi pembaca buku. Ambisi mengajak jutaan orang menjadi pembaca tak seelok nasib pusat dokumentasi sastra terbesar di Indonesia itu. Nasibnya tak jelas akibat tarik-ulur soal teknis pengambilalihan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Koran Tempo, 24 Mei 2017).

Penelantaran warisan hampir serupa peredupan ingatan ketokohan dan peran Jassin. Di sekolah dan universitas, Jassin ada di tepian pengetahuan dan perbincangan. Para tokoh sastra masa lalu melulu Marah Roesli, Abdoel Moeis, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Chairil Anwar, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, dan Toto Sudarto Bachtiar. Mereka menulis puisi, cerita pendek, novel, dan drama. Jassin sulit masuk dalam daftar ingatan materi pelajaran atau pembuatan jawaban saat ujian di sekolah.

Semula, Jassin memang berhasrat menjadi penulis puisi dan cerita. Hasrat itu sengaja "ditamatkan" demi ketekunan menjadi kritikus sastra. Murid, guru, mahasiswa, dan dosen mungkin tak pernah mengetahui bahwa Jassin pernah tampil sebagai pengarang tapi sekejap. Warisan kecil puisi dan cerita pendeknya terlambat dikumpulkan menjadi buku berjudul Darah Laut (Balai Pustaka, 1997). Sapardi Djoko Damono mengakui Jassin "suka mengelu-elukan berbagai kecenderungan baru dalam kesusastraan" tapi tak mengejawantahkan pembaruan dalam garapan cerita pendek dan puisi. Pilihan menjadi kritikus sastra membuat Jassin terhormat pada masa lalu meski gampang terlupakan pada abad XXI.

Kini, para kritikus sastra terus bermunculan tapi sulit meraih kehormatan setara Jassin. Di Indonesia, kritikus sastra tetap saja menulis dan membuat publikasi tapi tak semeriah penerbitan buku puisi, cerita pendek, dan novel. Di pelajaran atau perkuliahan, Jassin sulit teringat atau diajarkan secara lengkap. Di perpustakaan-perpustakaan, buku-buku garapan Jassin jarang menghuni rak. Buku-bukunya telah lama disingkirkan dengan dalih pengadaan buku-buku baru oleh pengelola perpustakaan. Jassin semakin pudar dalam selebrasi sastra mutakhir. Orang-orang mungkin sengaja menelantarkan Jassin, memberi tempat terhormat pada masa lalu, bukan untuk masa sekarang. Nasib apes serupa warisan berupa pusat dokumentasi.

Di majalah Tempo edisi 2 Juli 1988, kita pantas mengenang sesumbar Jassin: "Buku adalah segalanya." Pada peringatan 10 tahun Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, usia sang kritikus sastra semakin renta, 71 tahun. Jassin terus menulis dan mendokumentasi pelbagai kerja sastra tanpa letih atau putus asa. Masalah demi masalah terus menumpuk belum dianggap petaka. Pada 1988, pemerintah dan berbagai lembaga memberi bantuan agar pusat dokumentasi tetap hidup dan berfaedah bagi studi sastra di Indonesia. Berita di Tempo itu sudah menandakan benih-benih nasib buruk. Jassin mengerti tapi pantang kalah atau mundur.

Pada masa para pengarang Indonesia mulai tenar di dunia, Jassin berada di lorong gelap ingatan sastra. Warisan pusat dokumentasi sastra tak usai dijerat dilema-dilema. Kita mungkin pantas memberi sebutan petaka tanpa tamat. Jassin itu masa lalu lekas "terkubur" di keramaian sastra. Kini, orang melampaui tata cara mendokumentasi seperti Jassin. Dokumentasi tak melulu edisi cetak yang memerlukan tempat dengan ketersediaan sekian fasilitas. Orang-orang gampang menuduh itu cara lama: boros dan melelahkan. Kita mungkin sudah kehilangan gairah meniru kerja dan pengabdian Jassin.

Sejak mula, Jassin menginginkan pusat dokumentasi sastra meninggikan martabat Indonesia. Keinginan itu sempat disokong Ali Sadikin, Adam Malik, dan para pengarang kondang. Sokongan itu memberi gairah besar tapi tanpa memastikan nasib pusat dokumentasi itu bakal langgeng dan membesar. Pada 31 Juli 1983, Jassin berusia 66 tahun dan mengadakan peringatan mengharukan di pusat dokumentasi itu. Ongkos listrik tak pernah memadai. PLN enggan mengalirkan listrik ke tempat berisi ribuan buku dan dokumen sastra itu. Tanda dari nasib tak untung adalah menggantikan lampu berlistrik dengan 66 lilin (Darsjaf Rahman, Antara Imajinasi dan Hukum: Sebuah Roman Biografi H.B. Jassin, 1986). Kini, nasib Jassin dan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin tetap belum beruntung alias masih berpetaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar