Puasa
dan Pancasila
Andi Faisal Bakti ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila; Pengurus Pusat ICMI
|
KORAN
SINDO, 31
Mei 2017
Ramadan kembali menyapa. Ramadan kali ini hadir berdekatan
dengan hari lahir Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Juni. Di kalangan umat muslim, Ramadan diyakini
sebagai bulan di mana rahmat dan berkah melimpah. Di bulan ini, umat Islam
diwajibkan berpuasa guna mencapai tujuan mulia , yakni mencapai derajat takwa
kepada Allah. Dengan berpuasa, ada dua dimensi yang dapat terjalin. Pertama,
dimensi vertikal, yaitu pengabdian manusia kepada Sang Maha Pencipta
(al-Khaliq). Kedua, dimensi horizontal, yakni hubungan yang terbangun dengan
baik antara sesama ciptaan Tuhan (makhluk).
Lima Prinsip Pancasila
Di dalam konteks kehidupan kebangsaan, puasa merupakan
ritus yang selaras dengan falsafah Pancasila, karena di dalamnya tak lepas
dari aspek teologis dan humanitas. Lebih jauh, puasa dapat menjadi katalisator
pembelajaran dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila . Jika dikaitkan
dengan spirit Ramadan, sesungguhnya antara puasa dan Pancasila mempunyai
keterhubungan. Kohesivitas ini setidaknya tertuang ke dalam lima prinsip Pancasila.
Per ta m a, puasa merupakan pancaran dari keinsafan ma nu
- sia di dalam menjalankan ajaran Tuhan. Pancasila meng amanat - kan kepada
manusia Indonesia agar memegang teguh agama dan melaksanakan a jarannya
secara sadar dan penuh ke - ikhlasan. Adanya laku ke iman - an ini menandakan
telah ter - bukanya jiwa manusia Panca - silais. Dari situ tampak bahwa
sesungguhnya laku keimanan melalui ibadah puasa ialah pengukuhan kesadaran
yang dalam akan kehadiran Tuhan.
Kesadaran inilah yang me - landasi ketakwaan dan mem -
bimbing seseorang ke arah tingkah laku yang baik dan terpuji. Terlebih lag i
puasa merupakan ibadah yang khusus antara Tuhan dan hamba-Nya, yang tidak
termasuki oleh sikap pamrih. Seorang yang menahan dirinya sebulan penuh puasa
tid ak meng harapkan apaapa kecuali rida A llah se - hing ga se se orang yang
ber - puasa akan me rasa malu kepada Allah untuk me - langgar larang
an-larang - an-Nya. Ia malu jika me - lakukan tindakan seperti ko rupsi, mem
bunuh, me - mer kosa, me nipu, meng - hasut, mem fit nah, dan praktik-praktik
keji lain - nya.
Kedua, puasa mencer - min kan hubungan ke - manusiaan yang
egaliter. Ketika berpuasa, kita tidak sekadar merasakan rasa lapar dan
dahaga, namun juga turut me - nyelami menjadi orang yang benar-benar papa.
Dengan demikian, puasa bukan sekadar ritus menahan haus dan lapar semata.
Tetapi, lebih dari itu, ia hadir untuk mem - bentuk manusia yang peka
terhadap realitas sosial. Nurcholish Madjid (1993) pernah mencatat bahwa
etika sosi al yang paling utama dalam ajaran agama, yaitu egalitarian - i
sme, paham yang berupaya menempatkan manusia pad a posisi yang setara. Ia
tidak boleh dibedakan dalam harkat dan martabatnya.
Terlebih lagi da - lam alam demokrasi yang sudah sangat
terbuka seperti saat ini hendaknya penind asan manu - sia dalam bentuk yang
tradisio - nal maupun modern harus di - hilangkan. Di samping itu, menebarkan
cinta kasih kepad a sesama umat manusia adalah sebuah tindakan yang bernilai
kemanusiaan ting gi karena setiap manusia mendambakan kedamaian di dalam
hidupnya. Ketiga, puasa dapat meman - car kan rasa persatuan dan ke - satuan
bangsa. Hal ini misalnya dapat kita saksikan dan rasakan saat adanya momen
sahur dan berbuka puasa bersama yang dilakukan, baik dalam lingkup keluarga,
pertemanan, kelom - pok masyarakat, maupun pada tingkat kelembagaan.
Memang tak dapat dimung - kiri bahwa dengan beragamnya
pembelahan sosial yang sangat plural di masyarakat, rentan ter jadinya konf
lik. Namun, hal itu tidak akan menjadi runcing manakala yang dicar i ad alah
simpul persamaan dan bukan perbedaan sehingga satu sama lain saling mengenal
dan dapat menjaring persatuan nasional. Realitas kekinian yang men - j adi
ujian bangsa ini seperti ada - n ya uj aran kebencian, per - musuhan, aksi
kekerasan, dan gesekan sesama anak bangsa setelah pilkada dan pemilu, d alam
momentum Ramadan ini sepatutnya di akhiri.
Terlalu mahal harga yang harus dibayar jika Indonesia
harus pecah dan runtuh hanya karena masalahmasalah politik temporer.
Sejarawan terkemuka Kunto wijoyo di dalam bukunya Identitas Politik Umat
Islam (1997) pernah meng ungkap - kan, agar persatuan dapat ter - cipta,
Pancasila harus di - masya rakatkan se bagai common deno minator (rujukan
bersama) ti d ak hanya untuk Islam, namun semua agama, ras, suku, dan kelomp
o k ke pen - ting an.
Semua agama perlu menatap Pancasila se bagai suatu
objektivi - kasi ajaran agama seba - gai rujukan ber sama. Keempat, puasa
dapat meng hadirkan nilai-nilai kebijak sana an yang bisa diimplemen tasikan
dalam menangani per - soalan-persoalan ma - sya rakat dan ke bang sa - an.
Jika selama ini rea - litas sosial-politik ba - nyak dis esaki oleh ke -
gaduhan sikap egosen - tri sme, puasa d apat men jadi alar m untuk me nyeles
ai kannya de - ngan cara-cara ber a dab berdasarkan musyawarah.
Demok rasi per mu - sya wa rat a n yang ber sifat egaliter
dan inklusif kerap kali terping gir kan oleh pengadopsian nilainilai
demokrasi liberal, yang membuat banyak pihak tidak memiliki akses di dalam
proses pengambilan ke - putusan, se hingga hasil yang di - lahirkan sering
kali tak pari - purna. Maka dari itu, peran elite di sini penting untuk
menjadi teladan bagi masyarakat dalam mem beri jalan keluar (solusi) ke tim
bang debat kusir yang bersifat retoris-artifisial. Kelima, puasa dapat
menjadi pancaran keadilan sosial. Hal ini tercermin d ari adanya ritus me -
nunaikan zakat fitrah di bulan puasa dan Ramadan.
Sikap filan - tropis ini merupakan peng - ejawantahan
nilai-nilai Panca - sila yang mencerminkan ke adil - an dan kesejahteraan.
Zakat fitrah sebenarnya merupakan bentuk peringatan simbolik tentang
kewajiban bag i anggota masyarakat untuk berbag i kebahagiaan dengan kaum
yang kurang beruntung, dalam hal ini fakir miskin (duafa). Dari seg i jumlah
dan jenis - nya sendiri, zakat fitrah mung - kin tidaklah begitu berarti bag
i kalangan yang ekonominya ber - kecukupan. Tetapi, lebih dar i itu, yang
lebih asasi dari zakat fitrah adalah lambang keadilan dan solidaritas sosial.
Dalam bahasa lain, zakat fitrah adalah lambang tanggung
jawab kema - syarakatan kita yang dituai dar i proses ibadah puasa. Dalam
perjalanan sejarah bangsa ini, sila kelima Pancasila perihal keadilan sosial
kerap kali dilupakan sebagai pedom an dalam pembangunan sosialekonomi
nasional. Akibatnya, kesenjangan sosial-ekonomi se - makin lebar. Puasa hen
dak nya mampu menumbuhkan rasa soli daritas dan empati ki ta ke - pada
masyarakat yang ku rang beruntung.
Tidakkah kita ingat, ketika bangsa ini sedang berjuang
melawan penindasan dan penjajahan pada masa lalu, solidaritaslah yang mampu menjadi
obat mujarab bagi terbuka luasnya gerbang kemerdekaan. Akhirnya, Ramadan dan
ritus puasa hendaknya tidak sekadar menjadi ritual tahunan, tapi lebih dari
itu, dapat menjadi momen refleksi untuk memperkuat ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Sebagai bangsa yang besar, kita hendaknya memiliki jiwa
yang besar, terutama dalam menghadapi persoalan kebangsaan. Untuk itu, mari kita
secara konsisten terus menyemai keteladanan perilaku, baik dalam kehidupan
seharihari maupun kehidupan kebangsaan sesuai dengan nilainilai luhur
Pancasila. ●
|
(Mohon maaf, karena
proses edit belum diselesaikan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar