Mewaspadai
Bahaya Persekusi
Gun Gun Heryanto ; Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The
Political Literacy Institute
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Juni 2017
SAAT ini, batas antara dunia nyata dan dunia maya
sangatlah tipis.
Keduanya saling terhubung, semakin erat dan satu sama lain
saling memengaruhi. Salah satu fenomena yang lagi ramai dan patut diwaspadai
penyebarannya ialah persekusi atau tindakan memburu akun-akun tertentu di
media sosial yang diduga melecehkan, mencemarkan, menghina, atau menodai
agama ataupun tokoh agama tertentu.
Persekusi umumnya dilakukan sekelompok orang yang
mengatasnamakan ormas tertentu dan umumnya secara beramai-ramai mendatangi
target buruan mereka untuk menghentikan perbuatan yang menurut pemburu
melanggar hukum.
Niatan baik tak selalu dilakukan dengan proses yang baik. Lebih
lanjut, belum tentu berdampak baik pada terciptanya keteraturan sosial (social order). Bahkan, jika tak
diwaspadai, bisa menstimulasi masalah baru yakni pertentangan bahkan
pelanggaran hukum lainnya.
Konteks perburuan
Persoalan ini tak bisa dilepaskan dari tiga konteks yang
melatarbelakanginya. Pertama, keberlimpahan informasi yang tidak disikapi
secara dewasa dan berkeadaban.
Meminjam istilah John Keane dalam The Humbling of the Intellectual (1998), saat ini muncul era
keberlimpahan komunikasi (communicative
abundance), terutama informasi politik yang setiap saat menerpa khalayak.
Hal ini seiring dengan makin mudahnya orang terhubung satu
sama lain melalui teknologi komunikasi dan informasi. Komunikasi warga yang
multikanal tumpah ruah di media sosial, weblog interaktif bahkan
aplikasi-aplikasi yang menyediakan perbincangan gratisan.
Banyak orang abai bahwa media sosial adalah arena
pertukaran pesan yang bersifat one-to-many
(dari satu ke banyak orang), bahkan many-to-many
(dari banyak orang ke banyak orang).
Saat status ataupun narasi tertentu terpampang di timeline
media sosial, maka detik itu pula warga dunia maya (netizen) bisa
mengaksesnya.
Banyak warga yang tak peduli status-statusnya berpotensi
melanggar hukum. Misalnya saja mengumbar ujaran kebencian.
Kent Greenawalt dalam Fighting
Words: Individuals, Communities, and Liberties of Speech (1996)
mendefinisikan bahwa ujaran kebencian sebagai ucapan dan/atau tulisan yang
dibuat seseorang di muka umum untuk tujuan menyebar atau menyulut kebencian
suatu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda baik karena ras, agama
keyakinan, gender, etnisitas, kecacatan, dan orientasi seksual.
Banyaknya status yang berpotensi melanggar hukum pun tidak
disikapi secara dewasa oleh kelompok yang meresponsnya. Kerap terjadi
'tawuran opini' yang abai dengan nilai atau etos demokratik. Tak hanya itu,
sebagian di antara perespons pun melakukan tindakan yang melanggar hukum
juga.
Misalnya membuka detail data profil pribadi (track down)
seseorang yang menjadi target persekusi, melakukan tekanan mental melalui
pilihan kata atau kalimat yang kasar, tekanan fisik, mendatangi rumah dan
kehidupan nyata si target buruan secara bersama-sama.
Memvideokan buruan dan menyebarkan kejadian bahkan
menyebarkan video tersebut juga melalui media sosial sehingga menjadi viral.
Ketakutan, dan ekspresi terintimidasi target, menjadi
bahan tontonan dan olokan banyak orang.
Setelah dipermalukan dan ditekan, baru para target buruan
tersebut digelandang ke kantor polisi dan dilaporkan dengan menggunakan UU
ITE dan KUHP.
Kedua, fenomena persekusi ini semakin menjadi-jadi
terutama setelah terjadinya polarisasi politik sedemikian rupa di masyarakat
akibat kontestasi elektoral.
Banyak cara yang diekspresikan para timses, relawan,
pendukung yang memasuki wilayah sensitif, misalnya membawa isu suku, agama,
ras, dan antargolongan dalam kampanye hitam dan propaganda.
Ekspresi simbolik pertentangan pun memasuki kanal personal
media sosial.
Aspek resonansi atau gaung pertentangan SARA ini akhirnya
dianggap biasa dan menjadi menu harian.
Realitas pilkada di DKI dikhawatirkan ditiru beberapa
daerah lainnya.
Pertentangan ini mengemuka menjadi nyata dan mempertentangkan
antarwarga menjadi potensi konflik horizontal.
Persekusi pun mewabah seolah menjadi pesan nyata bahwa ada
sekelompok orang yang mau membenahi situasi dengan menegakkan kebenaran,
tetapi cara yang ditempuhnya juga senyatanya melanggar banyak aturan dan
kepatutan.
Ketiga, masih lambannya aparat penegak hukum terutama
polisi dalam mengambil peran.
Perkembangan dunia cyber sesungguhnya sudah disadari
polisi sebagai tantangan nyata di depan mata. Makanya, polisi punya unit
khusus cybercrime bahkan juga punya surat edaran Kapolri untuk internal
polisi dalam menangani ujaran kebencian. Di saat yang bersamaan, tampak masih
ada pembiaran pada persekusi yang kian hari kian menjadi-jadi ini.
Butuh ketegasan bahwa peran perburuan tidak boleh dilakukan.
Polisi harus mengambil peran lebih sigap dan jelas dalam menangani setiap
potensi pelanggaran di dunia nyata dan dunia maya. Kalau tidak, akan semakin
banyak pengadilan jalanan yang liar dan sulit dikendalikan.
Dampak pembiaran
Jangan remehkan fenomena persekusi! Jika dibiarkan, akan
terus meluas dan eskalatif. Terlebih, saat ini dan ke depan agenda politik
nasional kita berimpitan. Misalnya pilkada serentak 2018 di 171 daerah. Setelah
itu, ada agenda besar pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam waktu
bersamaan.
Hal yang tak terhindari dari setiap perhelatan kontestasi
elektoral tersebut ialah preferensi pilihan warga yang kerap kali
terpolarisasi sedemikian rupa. Polarisasi dukungan kerap kali menghadirkan
gesekan.
Dari kampanye terutama yang sifatnya negatif dan hitam
(negative and black campaign), propaganda, hingga fitnah dan rumor dalam
upaya memengaruhi opini dan persepsi masyarakat. Sangat mungkin ragam ucapan
dan tindakan di muka umum yang menghina orang atau pihak lain makin menjadi-jadi.
Tak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah lain.
Di sisi lain, ada upaya sekelompok orang mengambil cara
penyelesaian masalah yang melampaui kewenangan hukum dengan main hakim
sendiri atau menempuh cara di luar prosedur sehingga sama-sama melanggar
hukum.
Konsekuensi pembiaran itu berdampak pada dua hal.
Pertama, persekusi akan dianggap hal lumrah dan bisa
dilakukan siapa saja kepada mereka yang dianggap melecehkan atau menghina
salah satu pihak. Peran penegakan hukum akan mengalami pergeseran dengan
pelibatan peran semena-mena yang dilakukan satu kelompok warga atas pribadi
atau kelompok warga lainnya. Inilah fenomena law and disorder karena akan
memantik tindakan di luar hukum.
Singkatnya, persekusi bisa menjadi pengondisian instrumental
yang buruk.
Meminjam cara pandang teori-teori belajar sosial seperti
teori reinforcement imitation yang ditulis dalam buku klasiknya Neal E Miller
dan John Dollard, Social Learning and Imitation, perilaku sejenis ini karena
digaungkan media sosial dan media massa sangat mungkin menyebabkan tiga
perilaku, yakni copying, same behavior, dan matched-dependent behavior.
Perilaku copying, individu berusaha mencocokan perilakunya
sedekat mungkin dengan perilaku orang lain.
Video yang diviralkan di media sosial dan sangat mudah
diakses warga memudahkan orang lain mengopi persekusi dengan cara yang sama,
misalnya mendatangi target buruan dengan syarat-syarat atau tanda-tanda
kesamaan seperti yang dipertontonkan.
Pola yang sama, atribut yang sama, terutama isu yang sama
bisa dijadikan pola tindakan berulang yang sama pula.
Perilaku same behavior, individu memberi respons
masing-masing secara independen, tetapi dalam cara yang sama terhadap
rangsangan lingkungan yang sama.
Dalam konteks persekusi yang dibiarkan ini, bisa saja akan
memperluas persekusi-persekusi lain di luar isu penghinaan agama dan ulama.
Bisa isu persaingan usaha, persaingan tokoh di pilkada
atau pilpres, tetapi cara yang digunakan dalam memburu target buruan bisa
saja sama seperti persekusi yang ramai belakangan ini.
Adapun perilaku matched-dependent behavior terjadi saat
seorang individu belajar untuk menyamai tindakan orang lain karena ia
memperoleh imbalan dari perilaku tiruannya (imitatifnya).
Dalam konteks ini sangat mungkin juga muncul perilaku
persekusi yang dilakukan sekelompok orang yang tahu persis dengan melakukan
tindakannya tersebut, mereka mendapatkan imbalan.
Dalam kasus ini, bisa saja bertemu antara pihak yang punya
kepentingan baik politik maupun ekonomi dan para pelaku persekusi. Misalnya,
membuat semacam 'proyek' delegitimasi pihak lawan atau pendukungnya dalam
pilkada, pileg, maupun pilpres.
Memburu dengan alasan imbalan, tetapi cara atau modusnya
meniru perilaku persekusi seperti yang saat ini ramai diperbincangkan.
Perilaku belajar sosial dari persekusi ini akan semakin
menjadi-jadi jika tersedia aspek yang disebut observational learning.
Faktor yang biasanya meneguhkan observational learning ini
ialah perhatian (attention), ingatan khalayak (retention), reproduksi motorik
(motoric reproduction), dan faktor insentif atau motivasional.
Dengan perhatian (attention), warga yang awalnya tidak
tahu atau tidak mengenal persekusi menjadi tahu, mengenal, dan memperhatikan.
Ada juga faktor penyimpanan dalam ingatan khalayak
(retention).
Hal ini menjadi input sekaligus memberi 'ruang' atau
'loker' kognitif pada khalayak sehingga suatu saat sangat mungkin ada
recalling perilaku meniru.
Selain itu, ada proses reproduksi motorik (motoric
reproduction), yakni mereproduksi tindakan dan cara serupa di kemudian hari.
Terakhir, faktor insentif atau motivasional yang
menggerakkan seseorang meniru persekusi karena alasan insentif tertentu atau
adanya motif tertentu.
Kedua, persekusi bisa menyebabkan makin melemahnya atau
bahkan rusaknya kohesi sosial di masyarakat. Tak dimungkiri, saat ini kohesi
sosial menjadi persoalan kita bersama. Ada tren penurunan kohesi sosial dan
naiknya intoleransi antarkelompok warga yang berbeda pandangan agama,
keyakinan, dan pilihan politik.
Realitasnya, Indonesia memiliki keragaman baik suku,
agama, ras, antargolongan, maupun pilihan politik. Keragaman itu butuh
penopangnya, salah satunya semangat kekitaan sebagai warga bangsa bernama
Indonesia.
Intinya dapat kita simpulkan, penghinaan seseorang atau
satu kelompok pada pihak lain tak bisa dibenarkan terlebih menghina agama
atau tokoh agama tertentu. Pun demikian, perburuan terhadap para penghina
secara semena-mena terlebih melanggar hukum juga tak bisa dibiarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar