Politik
Hukum Pengujian Perda
Ismail Hasani ; Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Direktur Riset
Setara Institute
|
KOMPAS, 05 Juni 2017
Paket reformasi hukum pemerintahan Joko Widodo, yang selama
ini melaju di jalur lambat, akan semakin melambat oleh hadirnya putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang membatalkan kewenangan
Kementerian Dalam Negeri dan gubernur untuk membatalkan peraturan daerah
kabupaten/kota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Salah satu penanda paket reformasi hukum Jokowi adalah
deregulasi bidang ekonomi dan investasi. Pada Juni 2016, Kementerian Dalam
Negeri telah membatalkan 2.143 peraturan daerah (perda) yang dianggap
bermasalah untuk tujuan menciptakan Indonesia hebat yang berdaya saing.
Dengan adanya putusan MK tersebut, obsesi pemerintah merampingkan obesitas
hukum akan terhambat.
Merespons putusan MK tersebut, Jokowi menyatakan
menghormatinya meski tetap meyakinkan publik bahwa deregulasi adalah
keniscayaan untuk menyederhanakan dan mempercepat perizinan, yang menopang
iklim investasi kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.
Sementara Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyayangkan
kewenangan kementerian yang dipimpinnya dipangkas MK. Putusan MK atas Pasal
251 Ayat (2), (3), (4), dan (8) memang tidak bulat disepakati oleh semua
hakim konstitusi. Meski terdapat dissenting opinion, putusan tersebut tetap
final dan mengikat.
Politik hukum
Politik hukum pengujian peraturan perundang-undangan
(judicial review) pertama kali diadopsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
pada 1970, melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Sesungguhnya gagasan itu telah muncul sejak pembentukan UUD 1945,
sebagaimana dalam Sidang BPUPKI (Bahar, 1995), saat M Yamin mengusulkan
pentingnya mekanisme korektif atas sebuah produk hukum negara. Gagasan ini
ditentang Soepomo sehingga gagal diadopsi dalam UUD 1945.
Meski diadopsi dalam UU No 14/1970, kewenangan Mahkamah
Agung (MA) pun terbatas pada pengujian peraturan di bawah UU, dilakukan pada
pemeriksaan kasasi, dan menyerahkan pencabutan perda yang dinyatakan batal
oleh MA pada organ pembentuk peraturan melalui mekanisme executive review.
Mekanisme yang tidak akuntabel ini diperbarui dengan
amandemen UUD 1945, yang mempertegas mekanisme pengujian peraturan
perundang-undangan sebagai salah satu cara menjaga prinsip supremasi
konstitusi (Limbach, 2001), dan checks and balances. Intinya adalah membagi
kewenangan pengujian UU terhadap UUD oleh MK (Pasal 24C UUD 1945) dan
kewenangan pengujian peraturan perundangan-undangan di bawah UU, termasuk
perda, terhadap UU oleh MA (24A UUD 1945).
Desain pengujian peraturan perundang-undangan sebagaimana
diatur Pasal 24A dan 24C di atas menegaskan bahwa peraturan
perundang-undangan hanya bisa diuji dan dibatalkan oleh badan yudisial dengan
mekanisme yang akuntabel. Meskipun demikian, dalam ilmu perundang-undangan
dikenal juga istilah executive review dan legislative review. Dua istilah ini
menunjuk pada kewenangan organ eksekutif dan legislatif untuk meninjau
peraturan yang dibuatnya sendiri secara sukarela bukan dengan mekanisme
represif.
Jika membandingkan mekanisme pembatalan perda pada UU No
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dengan UU No 23/2014 sebagai versi
terbarunya, terdapat perbedaan signifikan. Pada UU No 32/2004, Kemendagri
memiliki kewenangan preview dan menolak perda terkait tata ruang dan wilayah
(RTRW) dan perda Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara untuk
perda dengan materi muatan lainnya, Kemendagri memiliki kewenangan, tetapi
dengan ketentuan yang lebih rigid.
Produk putusan pembatalan Mendagri yang bertindak atas
nama presiden harus dituangkan dalam bentuk peraturan presiden (perpres).
Perpres ini kemudian menjadi obyek hukum yang bisa dipersoalkan di MA melalui
uji materiil untuk mencegah potensi abuse
of power pemerintah. Bahkan, kewenangan itu pun hanya bisa dijalankan
setelah 7 hari sebuah perda disahkan dan hanya 60 hari perda tersebut dikaji
oleh Kemendagri. Jika tidak ada sikap dari Kemendagri, maka perda sah dan
berlaku. Mekanisme ini jauh lebih akuntabel meskipun berliku.
Sementara dalam UU No 23/2014, kewenangan Kemendagri
nyaris tanpa batas, dapat menjangkau perda-perda yang sudah lampau. Juga
menutup mekanisme banding melalui badan yudisial dengan mekanisme uji
materiil ke MA karena produk putusannya yang bersifat beschikking. Memang
putusan yang bersifat penetapan bisa dipersoalkan melalui peradilan tata
usaha negara (PTUN), tetapi mekanisme itu pun belum teruji efektivitasnya
untuk menegakkan prinsip checks and balances.
Tak heran, dengan mekanisme baru ini, Kemendagri dalam
waktu singkat dapat mengambil sikap atas 2.143 perda terkait investasi dan
perizinan untuk dibatalkan meskipun Kemendagri juga tak bersikap terhadap
perda-perda diskriminatif dan intoleran.
Mengacu pada putusan MK, mekanisme pembatalan perda dalam
UU No 23/2014 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan melanggar asas
kepastian hukum karena memberikan kewenangan kepada badan eksekutif untuk
menguji sebuah peraturan, yang merupakan domain badan yudikatif.
Meski demikian, mekanisme dalam UU No 23/2014 merupakan
jalan paling rasional mengatasi obesitas perda-perda yang tidak kondusif bagi
investasi dan pertumbuhan ekonomi serta mengatasi 421 perda diskriminatif
(Komnas Perempuan, 2016) dan 71 perda intoleran (Setara Institute, 2016) yang
dalam 10 tahun kepemimpinan Presiden Yudhoyono tidak tertangani.
Tantangan baru
Betapapun putusan MK membawa kabar muram bagi pemerintah
yang agresif melakukan deregulasi ekonomi dan investasi, serta kecemasan baru
tumbuhnya perda diskriminatif dan intoleran, sesungguhnya MK tengah
meluruskan arah politik hukum pengujian perda sebagaimana prinsip rule of law
yang sesungguhnya. Bagaimanapun checks and balances dan kepastian hukum mesti
dirawat dan kewenangan lembaga negara yang mulai menyimpang bisa diluruskan.
Akan halnya kebutuhan deregulasi untuk menciptakan daya
saing dan kecemasan pelembagaan diskriminasi dan intoleransi melalui
perda-perda harus dijawab dengan penguatan mekanisme preventif di tubuh
Kemendagri dan Kementerian Hukum dan HAM yang memiliki kantor wilayah di
setiap provinsi. Gagasan pembentukan local law center yang banyak menjadi
rekomendasi riset soal kualitas perda dapat jadi pilihan Jokowi guna mencegah
perda bermasalah dan meningkatkan kualitas perda.
Paralel dengan langkah itu, kepekaan DPRD dan pemerintah
daerah sebagai pembentuk perda akan kebutuhan penyederhanaan perizinan dan
investasi harus menjadi landasan sikap mengevaluasi perda-perda bermasalah
dalam kerangka legislative/political
review. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar