Ahok
dan Pendidikan Kita
Titik Firawati ; Staf Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Juni 2017
PENDIDIKAN tanpa pengetahuan dan keterampilan manajemen
konflik dapat menyuburkan perilaku kekerasan di masyarakat. Perilaku
kekerasan bisa kita lihat pada kampanye pemilihan gubernur Jakarta belum lama
ini. Contoh perilaku kekerasan
struktural, yaitu upaya menjatuhkan lawan dengan justifikasi agama melalui
pesan meme yang berbunyi 'EIITT ...BELUM SUNAT, ENGGAK BOLEH NYALON GUBERNUR'
atau melalui pesan spanduk bernada ancaman: 'Masjid ini tidak mensalatkan
jenazah pendukung dan pembela penista agama'. Kasus pengusiran Djarot Saiful
Hidayat, wakil Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), seusai menunaikan salat Jumat juga
termasuk perilaku kekerasan verbal.
Semua contoh ini membuktikan pendidikan nasional dalam hal
pengetahuan dan keterampilan yang mengedepankan arti penting perilaku
nirkekerasan masih lemah. Untuk itu, kita perlu memperkukuh sistem pendidikan
dengan manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS).
Pelajaran penting
Dari kasus Ahok dalam pilkada Jakarta, bagaimana kita tahu
bahwa pendidikan kita masih lemah?
Buktinya terletak pada pelanggaran terhadap nilai-nilai
sosial yang arti pentingnya selalu ditekankan dalam proses mendidik anak-anak
di Indonesia.
Di antara nilai-nilai tersebut yang dilanggar mencakup
toleransi, keadilan, dan nirkekerasan.
Bagi masyarakat muslim yang menolak petahana, penolakan
tersebut mereka justifikasi dengan agama untuk menghambatnya supaya gagal
terpilih.
Padahal, nilai toleransi mengajari kita untuk menerima
sesuatu yang tidak selalu selaras dengan apa yang kita yakini.
Misalnya, kita memberikan kesempatan kepada orang lain
yang berbeda etnik dan agama memimpin dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
lebih baik.
Selama pilkada berlangsung, nilai keadilan juga dilanggar.
Padahal, kita telah dididik guru untuk bertanding dalam
perlombaan apa pun dengan jujur dan sportif, tidak malah menjahati lawan demi
kemenangan. Satu lagi nilai yang dilanggar ialah nirkekerasan.
Kampanye pilkada yang telah berlalu penuh dengan kekerasan
verbal dan kekerasan struktural (diskriminasi etnik dan agama).
Sebagian besar dari kita membiarkannya, bahkan
menggelorakannya dengan eksploitasi bahasa agama untuk menjatuhkan lawan.
Apa konsekuensi pelanggaran nilai-nilai tersebut?
Konsekuensinya ada tiga yang paling pokok.
Pertama, pelanggaran ketiga nilai sosial di atas telah
mencederai hubungan antarmasyarakat.
Luka karena kekerasan lebih sulit disembuhkan daripada
luka karena sayatan pisau.
Kedua, penggunaan agama dan etnik sebagai senjata untuk
menghambat perjuangan seseorang merugikan demokrasi.
Ketiga, kekerasan struktural mematikan. Johan Galtung,
ilmuwan perdamaian Norwegia, mengingatkan seseorang yang terluka karena
perlakuan diskriminatif sama buruknya dengan seseorang yang mati karena
peluru.
Manajemen konflik berbasis sekolah
Pelanggaran nilai sosial yang disinggung di atas berdampak
negatif dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini disebabkan sistem pendidikan kita tidak cukup kuat
menjadi landasan moral dalam mencegahnya.
Untuk itu, sistem pendidikan perlu diberdayakan melalui
MKBS agar perannya sebagai pencegah tindak kekerasan bisa berfungsi optimal.
Dengan pendidikan yang ditopang dengan MKBS, pembentukan
pola perilaku yang mendasarkan pada prinsip-prinsip perdamaian dapat
terwujud.
MKBS didefinisikan sebagai pendekatan resolusi konflik
dalam pendidikan yang bertujuan agar warga sekolah, khususnya peserta didik,
secara fisik dan psikologis merasa bebas dari kekerasan, mendapatkan
kesempatan bekerja atau belajar yang sama untuk mencapai tujuan bersama, dan
menghargai perbedaan di sekolah.
Ada enam unsur MKBS, yaitu: budaya sekolah, kurikulum yang
damai, kelas yang damai, mediasi sejawat, penanganan perundungan (bullying),
dan peran orangtua dan partisipasi masyarakat. Keenam unsur berfungsi saling
memperkuat.
Pertama, dipimpin kepala sekolah, seluruh anggota warga
sekolah menyepakati sejumlah nilai kunci yang dianggap pihak sekolah
fundamental bagi pembangunan bangsa.
Misalnya, yang dipilih ialah nilai toleransi, kerja sama,
dan kesetaraan.
Maka, segenap pikiran, perasaan, dan aksi setiap warga
dilandasi dan diarahkan pada pembiasaan ketiga nilai tersebut di lingkungan
sekolah.
Contohnya, guru dan murid menjadi panitia perayaan hari
besar agama orang lain.
Kedua, mengintegrasikan nilai-nilai yang berorientasi pada
perdamaian, tidak terbatas pada nilai yang sudah dipilih sebagai bagian dari
budaya sekolah, ke dalam kurikulum sekolah.
Nilai-nilai tersebut diintegrasikan ke dalam unsur-unsur
kurikulum: tujuan, materi, dan strategi pembelajaran serta sistem evaluasi
murid.
Di samping itu, guru juga bisa menempuh strategi lain,
yakni memberikan pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik melalui mata
pelajaran tersendiri atau mengadakan pelatihan manajemen konflik di luar jam
belajar.
Apabila guru mengalami kesulitan dalam mengembangkan
strategi alternatif ini, sekolah bisa bekerja sama dengan pihak lain yang
memiliki kepakaran di bidang perdamaian dan resolusi konflik.
Ketiga, murid mempraktikkan mediasi sejawat. Murid diajari
bagaimana membantu menengahi konflik tanpa kekerasan.
Dengan mediasi sejawat, anak dilatih dengan sikap yang
berorientasi pada tanggung jawab, empati, pemecahan masalah, kesetaraan,
kerja sama, dan kepentingan bersama.
Pengetahuan dan keterampilan mediasi sejawat perlu
dilembagakan, contohnya, melalui kegiatan ekstrakurikuler dan pelatihan rutin
untuk seluruh warga sekolah.
Sekolah perlu mengadakan kerja sama dengan pihak lain yang
mendalami bidang resolusi konflik untuk membantu mewujudkan kegiatan mediasi
sejawat.
Terakhir, orangtua dan masyarakat memiliki peran
fundamental dalam MKBS. Di luar sekolah, mereka perlu memastikan anak-anak
tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab.
Masyarakat harus menjamin anak-anak hidup di lingkungan
yang terbebas dari kekerasan, seperti mengumpat, tawuran antarkampung, dan
tindak kejahatan.
Orangtua juga demikian. Komunikasi yang saling menghormati
sesama anggota keluarga kunci keberhasilan peran orangtua dalam mendidik
anak.
Yang tak kalah pentingnya ialah kerja sama masyarakat,
orangtua, dan sekolah dalam mewujudkan MKBS.
Ketiga pihak sama-sama aktif terlibat dalam mendiskusikan
gagasan dan implementasi program MKBS di dalam dan luar sekolah.
Gagasan pengembangan MKBS tidak sebatas wacana.
Pelatihan MKBS pernah diberikan kepada sekolah-sekolah di
Aceh, Lampung, Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan, dan NTB.
Pada tahap implementasi, sekolah akan menghadapi tantangan
yang tidak mudah.
Dua macam tantangan di antaranya kita dihadapkan pada
kurikulum nasional yang 'mendua'.
Di satu sisi, guru mengajarkan kesetiaan kepada Pancasila
dan mengutamakan hubungan yang baik dengan sesama manusia melalui mata pelajaran
Ppkn, tapi pada pelajaran agama, kita masih menemui guru mengajarkan
kebenaran agama masing-masing.
Pandangan ini selaras dengan temuan Lembaga Kajian Islam
dan Perdamaian yang menunjukkan 25,8% murid menyatakan Pancasila sudah tidak
relevan lagi sebagai ideologi bangsa. Hasil survei ini dikumpulkan dari 993
murid SMP dan SMA se-Jabodetabek pada 2011.
Tantangan lain ialah sosialisasi nilai-nilai
antikebangsaan bersumber dari masyarakat itu sendiri. Melalui pengajian,
misalnya, seseorang diimbau agar memilih pemimpin Islam. Pesan-pesan kampanye rasial antipemimpin
nonmuslim seperti yang dialami Ahok juga membuktikan masyarakat bersikap
menyampingkan UUD 1945. Padahal, kita tahu UUD 1945 menjamin hak yang sama
bagi setiap warga negara untuk menjadi pemimpin. Mengabaikan UUD 1945 sama
halnya masyarakat mangkir dari tanggung jawabnya dalam mendidik anak.
Jika sekolah mengadopsi MKBS dan menjalankan keenam
unsurnya secara konsisten, perilaku kekerasan di masyarakat bisa dihindari. Internalisasi
nilai-nilai perdamaian di sekolah, didukung dengan komitmen penuh dari orang
tua dan masyarakat, akan mampu menciptakan Indonesia yang lebih beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar