Kompleksitas
Pergulaan
Adig Suwandi ; Praktisi Agribisnis dan Analis Senior Nusantara
Sugar Community
|
KOMPAS, 03 Juni 2017
Komitmen pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan
melalui penguatan basis produksi sejumlah komoditas pangan utama menuju
swasembada berdaya saing secara berkelanjutan patut diberi acungan jempol.
Meski secara teoretik bisa saja sebagian perolehan devisa ekspor hasil industri
manufaktur dialokasikan untuk membeli bahan pangan, swasembada pangan bagi
negara berpenduduk sekitar 250 juta jiwa-dengan kepemilikan sumber daya lahan
berlimpah berikut dukungan agroklimat memadai-sangatlah relevan.
Gula termasuk salah
satu komoditas pangan yang hingga hari ini belum berstatus swasembada. Pabrik gula (PG) berbasis tebu di seluruh
negeri masih dikonsentrasikan pada
produksi untuk konsumsi langsung. Itu
pun produksi dicapai masih fluktuatif,
dari 2,2 juta ton-2,5 juta ton, sementara kebutuhan melesat di atas
2,75 juta ton setahun.
Di sisi lain, kebutuhan gula untuk industri
makanan/minuman mengandalkan bahan baku berupa gula rafinasi. Kendati telah dapat diproduksi di dalam
negeri, tetapi seluruh bahan baku gula
rafinasi berupa gula mentah harus diimpor.
Jumlahnya pun semakin fantastis, berkisar 2,8 juta ton-3,2 juta ton
dengan tingkat pertumbuhan 5-7 persen setahun.
Sejumlah program guna menutup disparitas kebutuhan versus
konsumsi telah diintroduksikan, tetapi hingga kini kompleksitas permasalahan
belum terurai secara jelas. Demikian
pula solusi komprehensif melalui kebijakan kondusif dan memberdayakan pelaku
usaha masih harus diperjuangkan.
Tingkat kompetisi
Selain revitalisasi PG yang ada melalui peningkatan
kapasitas, pembenahan dari aspek budidaya dan manufaktur terus dilakukan.
Sayangnya, daya dukung agroekologis Jawa terhadap keberadaannya juga sangat
terbatas. Tebu menghadapi tekanan
teramat berat. Bahkan di sejumlah
kawasan, khususnya lahan sawah berpengairan teknis, tebu kalah pamor
dibandingkan komoditas pangan lain, terutama padi, jagung, dan hortikultura.
Rata-rata kepemilikan lahan petani yang kurang dari 0,5
hektar menyebabkan tidak semua orang bisa leluasa berusaha tani tebu. Masa tunggu antara tanam hingga panen selama setahun, praktis kurang
menarik bagi petani. Konsekuensi
logisnya, petani kecil cenderung memilih tanaman lain atau menyewakan lahan miliknya
kepada petani pengusaha yang secara ekonomi memiliki kekuatan lebih baik.
Ketatnya kompetisi
menstimulasi mahalnya sewa lahan. Tak mengherankan bila kemudian tebu pun
bergeser ke lahan kering dengan tingkat kesuburan dan potensi produksi jauh
lebih rendah. Kehadiran petani pengusaha dengan penguasaan lahan lebih 10
hektar tak dapat dihindari.
Konsolidasi lahan pengusahaan tebu pun makin tak dapat
dihindari dengan fenomena memudahkan pihak PG melakukan negosiasi untuk
mendapatkan bahan baku, tetapi layanan tidak memuaskan bisa membuat tebu
gentayangan ke sana kemari mencari nilai ekonomi lebih tinggi. Kondisi tersebut tidak semata- mata
ditopang jarak antar-PG warisan kolonial di Jawa sangat berdekatan juga
terbatasnya bahan baku membuat manajemen PG tidak punya banyak pilihan selain
mengikuti alur bergeraknya mekanisme pasar dalam pengadaan tebu.
Bila dicermati lebih dalam, tebu hanya unggul di sejumlah
tempat, dalam artian tanaman lain kurang dapat diandalkan. Sebut saja kawasan Pati-Kudus, Kediri
selatan, Malang selatan, Magetan, Situbondo timur, dan Lumajang. Dari tahun ke tahun tendensi semakin
banyaknya PG beroperasi di bawah kapasitas terpasang dan lama giling ideal
sehingga terpaksa memproduksi gula dengan biaya jauh lebih tinggi
dibandingkan harga jual.
Restrukturisasi melalui penggabungan beberapa PG berkapasitas kurang
dari 3.000 ton tebu sehari menjadi salah satu opsi yang kini dipertimbangkan.
Pabrik gula baru
Terlepas dari permasalahan yang dihadapi tampaknya tidak
juga menghalangi niat sejumlah investor untuk membangun PG baru di Jawa
bahkan dengan kapasitas lebih besar.
Perang urat syarat antara PG lama dan baru pun tak dapat
dihindari. PG baru dituduh tidak
memiliki tebu dalam jumlah cukup, baik ditanam sendiri maupun bermitra dengan
petani sekitar. Tudingan tidak sedap
muncul seolah-olah PG baru hanya memanfaatkan fasilitas berupa impor gula
mentah selama tiga tahun sejak pendiriannya, sebagaimana diatur UU Nomor 39
Tahun 2014.
Persepsi PG baru mengambil sebagian tebu yang selama ini
dipasok ke PG lama pun tak dapat dihindari, sementara PG baru melihat inilah
kompetisi yang mesti dijalani untuk memberikan lebih banyak alternatif kepada
petani. Mengacu Peraturan Menteri
Pertanian No 98/2013, PG baru memang diwajibkan memiliki sekurang-kurangnya
20 persen bahan baku dari tebu, berasal dari kebun sendiri dan kekurangannya
dari kebun masyarakat atau perusahaan perkebunan lain melalui kemitraan
pengolahan berkelanjutan.
Kenyataan di lapangan menunjukkan tak mudah mendapatkan
lahan semacam ini bila PG dibangun di areal di mana tebu belum dikenal. Terkait fasilitas impor gula mentah
tampaknya tidak mudah diselesaikan mengingat investasi PG baru relatif besar
sehingga bila hanya mengandalkan tebu lokal rasanya return on investment
terlalu lama sangat tidak menarik bagi investor. Peraturan Menteri Perindustrian No 10/2017
tentang pemberian fasilitas impor gula mentah untuk PG baru dan PG lama yang
melakukan investasi peningkatan kapasitas atau perluasan produksi mungkin
salah satu solusi menuju akselerasi peningkatan produksi gula.
Bagaimanapun, keterbatasan lahan di Jawa akan memaksa
pembangunan PG baru di luar Jawa tak dapat dielakkan. Lagi-lagi, persoalan penyediaan lahan bebas
permasalahan dan dukungan infrastruktur fisik pendukung menjadi hambatan
klasik terkait pembangunan dimaksud.
Tidak mudahnya mendapatkan lahan membuat investor berpikir ulang untuk
bisa merealisasikan pembangunan.
Solusi menyeluruh atas komitmen merekonstruksi arah
swasembada gula hendaknya dilakukan secara menyeluruh. Caranya dengan
memberikan porsi keseimbangan antara kesejahteraan petani dan transformasi PG
menjadi industri berbasis tebu dengan kemampuan menghasilkan produksi derivat
bernilai tambah tinggi. Ekspektasinya,
nilai tambah tersebut bisa mereduksi harga pokok produksi gula ke arah lebih
bersaing terhadap gula impor.
Peningkatan
produksi secara paralel antara budidaya dan manufaktur harus berjalan simultan, diikuti kebijakan
komprehensif dan terintegrasi sebagai bagian meniadakan benturan kepentingan
di antara pemangku kepentingan.
Insentif kepada petani berupa penyediaan benih unggul, agro-inputs, alat/mesin pertanian,
dan dukungan pemasaran rasanya menjadi syarat mutlak. Tentu saja diikuti
bimbingan teknis agar mampu melaksanakan praktik budidaya terbaik dan terukur
serta dukungan pabrik dengan overall recovery sesuai standar internasional.
Tentu pemerintah juga harus hadir melalui visualisasi
kebijakan protektif berupa pembatasan impor secara ketat, diikuti konsistensi
pemberlakuan bea masuk. Demikian pula,
tidak kalah pentingnya, adalah bagaimana pemerintah menjaga harga gula yang
tetap memotivasi petani meningkatkan produksi di satu sisi, tetapi di sisi
lain masih dalam batas-batas keterjangkauan konsumen miskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar