Komparasi
PNBP Penyiaran dan Telekomunikasi tidak Relevan
Kamilov Sagala ; Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan
Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII)
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Mei 2017
DALAM usul Kemenkominfo, penerimaan negara bukan pajak
(PNBP) industri penyiaran dan PNBP industri telekomunikasi dibandingkan
sebagai dasar usul. Perbandingan itu jelas tidak relevan. Membandingkan PNBP
dari kedua industri yang secara nature
layanan berbeda tentu menimbulkan penafsiran tidak benar. Karena itu,
Menkominfo harus jeli dan teliti memberikan perbandingan dan pernyataan.
Perlu diketahui, karakter layanan dari lembaga penyiaran swasta (LPS) ialah
memberikan tayangan kepada seluruh pemirsa secara cuma-cuma, free to air (FTA). Sebaliknya,
operator telekomunikasi membebankan pembayaran terhadap setiap layanan yang
digunakan pelanggan. Sumber pendapatan LPS berasal dari penayangan iklan
saja, itu pun ada pembatasan jumlah durasi. Sebaliknya, pendapatan operator
telekomunikasi berasal dari berbagai sumber mulai proses aktivasi, penggunaan
airtime, pendapatan roaming internasional, pengaktifan atau pemakaian layanan
data, hingga termasuk juga iklan.
LPS merupakan kegiatan komunikasi massa yang memiliki fungsi
sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan, serta perekat sosial yang
sifatnya massive. Sebaliknya,
industri telekomunikasi bersifat private. LPS menanggung risiko atas
pembelian konten-konten yang berkualitas seperti World Cup, Formula One, dan
program berlisensi lain. Biaya pengadaan konten hanya dapat dikembalikan
apabila konten mendapatkan rating dan share tinggi sehingga pengiklan
tertarik membeli spot iklannya. Sebaliknya, pada industri telekomunikasi yang
menyediakan layanan voice dan data serta konten-konten yang disiarkan dan
konten lainnya akan dibebankan dan dibayar pelanggan. Besarnya belanja iklan
bersih industri FTA Rp15 triliun sedangkan pendapatan para operator
telekomunikasi mencapai Rp203 triliun (2016).
Di industri penyiaran, khususnya LPS tidak akan pernah
dapat menyaingi besarnya total pendapatan operator telekomunikasi. Kelak,
pangsa pasar LPS atas belanja iklan stagnan dan cenderung menurun karena
media untuk menayangkan iklan semakin banyak. Termasuk Over the Top dan jaringan
telekomunikasi sebagai konsekuensi perkembangan teknologi digital dan
konvergensi media. Selain itu, kompetisi sangat ketat dan cenderung tidak
sehat. Berbeda pada industri telekomunikasi yang dominan player dan
konsolidasi kepemilikan serta jaringan.
Dengan memahami perbedaan yang dijelaskan itu, tidaklah
tepat bila Menkominfo melalui RUU Penyiaran 2017 menuntut kenaikan PNBP
kepada LPS dengan pengenaan pungutan seperti diterapkan pada industri
telekomunikasi, yakni konsep pungutan dana USO. Rencana Menkominfo itu juga
akan menimbulkan risiko terganggunya ekosistem penyiaran khususnya lembaga
penyiaran berlangganan (LPB) di daerah blank spot.
Konsep Orba
Sistem single mux membuat kita tertarik melihat kembali
sejarah struktur dan sistem pembangunan ekonomi masa Orba. Sebuah masa ketika
pemerintahan ideal ditunjukkan sebagai suatu pemerintahan yang kuat dan
dominan, yang pada kenyataannya dirasakan terlalu kuat dan menekan sektor
nonpemerintah. Pada masa Orba, khususnya media massa diatur rezim yang berkuasa
untuk dua fungsi. Pertama menjadi industri yang menyokong perekonomian
nasional. Fungsi lainnya menjadi mitra pembangunan pemerintah. Dengan
demikian, media harus senantiasa mendukung program pemerintahan Orba. Kontrol
kuat terhadap media massa membuat semua aspek berada di bawah pengawasan
ketat dan kuasa negara.
Pengawasan dan kontrol terhadap segala aktivitas penyiaran
pada media elektronik baik radio ataupun televisi pada masa itu dilakukan di
bawah kendali Departemen Penerangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Penerangan
RI No 19/KEP/MENPEN/1969, pemerintah melalui Departemen Penerangan akan
mencabut surat izin terbit (SIT) dan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP)
bagi surat kabar yang dinilai tidak taat. Radio-radio dan TVRI saat itu pun sangat
loyal dengan Departemen Penerangan. Baik radio maupun televisi tidak
diperkenankan memproduksi siaran berita sendiri tanpa izin pemerintah.
Jika dianalogikan dengan sistem single mux dengan mux
operator-nya tunggal dan dikuasai pemerintah (baik frekuensi maupun sensor
konten), sistem ini tidak lain membangkitkan kembali ruh Orba di masa
reformasi. Pemerintah dengan kekuasaannya akan mengatur sektor nonpemerintah
dengan aturan yang hanya mengakomodasi kepentingan pemerintah semata dalam
mengejar peningkatan PNBP dari industri penyiaran.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, TVRI yang di masa ini
'masih' dibiayai dan tunduk pada mekanisme APBN boleh jadi 'sulit' untuk
tidak di bawah kontrol rezim berkuasa. Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan
yang dipenuhi ambisi dan berorientasi mengejar sasaran-sasaran yang terlalu
ideal oleh pemerintah menyebabkan kemunduran pembangunan nasional. Perubahan
teknologi dalam industri penyiaran melalui ide migrasi dari analog ke digital
ialah sebuah keniscayaan. Terlebih karena akan membawa dampak besar.
Tentunya, harus didukung dengan regulasi yang tepat dari pemerintah.
Hal yang perlu betul-betul dipertimbangkan ialah bagaimana
ide perubahan itu tidak membawa dampak destruktif bagi seluruh stakeholder
industri penyiaran. Pemerintah dengan kekuasaan mengaturnya tidak boleh
menguntungkan diri sendiri, tapi menghancurkan stakeholder lainnya agar
tujuan penataan kebijakan terkait dengan penyiaran sebagaimana tercantum
dalam Konsiderans Menimbang RUU Penyiaran 2017, yakni dalam rangka
menciptakan iklim usaha yang sehat, serta untuk menjalankan kedaulatan dan
menjaga keutuhan negara, dapat tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar