Fatwa
Haram bagi Pengguna Medsos
Rahma Sugihartati ; Dosen dan Ketua
Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 07
Juni 2017
MAKIN maraknya ujaran kebencian dan informasi hoax di
media sosial (medsos) tidak hanya menjadi keprihatinan pemerintah dan para
netizen, tetapi juga menjadi kerisauan para ulama. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) bahkan harus mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang hukum
dan pedoman bermuamalah melalui media sosial.
Fatwa terbaru MUI itu dikeluarkan berdasar kekhawatiran
akan maraknya ujaran kebencian dan permusuhan melalui media sosial yang
mengarah kepada upaya adu domba antarkelompok di masyarakat. Lima hal yang
dinyatakan haram dilakukan masyarakat di media sosial, menurut fakta MUI,
adalah melakukan gibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah,
namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan atas dasar suku, agama, ras,
atau antargolongan. Selain itu, MUI mengharamkan aksi bullying, penyebaran
materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i.
Fakta MUI juga mengharamkan pengguna media sosial menyebarkan konten yang
benar, tetapi tidak sesuai dengan tempat dan/atau waktunya.
Sejumlah Faktor
Dikeluarkannya fatwa mengenai hukum dan pedoman
bermuamalah (berinteraksi) di media sosial oleh MUI itu tentu bukan tanpa
alasan. Ulah sebagian buzzer yang memanfaatkan media sosial untuk memperoleh
keuntungan ekonomi maupun nonekonomi dengan cara menebar kabar bohong,
fitnah, aib, gosip, namimah, dan lain-lain memang sudah melewati batas
toleransi dan bahkan tidak jarang mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.
Memang berbeda dengan masyarakat yang sudah memiliki
tingkat literasi kritis yang tinggi. Di lingkungan masyarakat yang masih
gagap beradaptasi dengan teknologi informasi dan media sosial, mereka umumnya
mudah terjerumus melakukan aksi yang keliru dalam penggunaan media sosial.
Media sosial, internet, dan teknologi informasi yang
sebenarnya harus dimanfaatkan untuk kepentingan mempermudah mengembangkan
jejaring sosial dan memberdayakan potensi sosial-ekonomi para penggunanya
dalam praktik justru lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan yang salah.
Sejumlah faktor menjadi penyebab mengapa para netizen acap terjerumus dalam
penggunaan media sosial yang keliru.
Pertama, ketika keleluasaan yang ditawarkan dunia maya
ternyata tidak diimbangi dengan tingkat dan kesadaran moral para pengguna
media sosial, isi percakapan dan informasi yang diproduksi sebagian netizen
pun sering tidak terkontrol. Caci maki, ujaran-ujaran yang menjatuhkan
martabat orang lain, fitnah, dan sejenisnya tanpa rasa bersalah dengan mudah
diproduksi dan disirkulasikan ke media sosial sehingga menimbulkan wacana
yang merugikan orang lain yang tidak bersalah.
Kedua, ketika kepentingan politik dan sentimen pribadi
sebagian pengguna media sosial memperoleh saluran yang sangat longgar di
media sosial, kemudian dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab untuk
menghina dan menjatuhkan nama orang lain. Seperti sering terjadi di dunia
maya, sebagian netizen dengan mudah mengekspresikan ketidaksukaan dan
kebencian kepada orang lain tanpa memikirkan secara seksama apa akibat yang
mesti ditanggung korban di kemudian hari. Melalui media sosial, seseorang
dengan mudah melakukan aksi pembunuhan karakter dengan cara menjelek-jelekkan
reputasi korban, meskipun apa yang mereka sebarkan sama sekali jauh dari
kenyataan.
Ketiga, ketika semua orang berkesempatan menjadi wartawan dan
kemudian bebas meng-upload informasi apa pun di media sosial hanya karena
kesamaan ideologis dan kepentingan, bukan tidak mungkin seseorang tanpa
berpikir lebih panjang meresirkulasi informasi hoax dan ujaran kebencian
kepada orang lain melalui media sosial. Jangankan mengkritisi dan mengkaji
ulang kebenaran sebuah informasi hoax, akibat dorongan sentimen dan kesamaan
ideologis tertentu, sebagian netizen sering ikut menyebarluaskan informasi
hoax yang merugikan orang lain yang mereka benci.
Keempat, ketika para netizen belum memiliki tingkat
literasi yang kritis dan sikap skeptis dalam menyikapi booming informasi di
media sosial. Di era digital, kita tahu perkembangan informasi yang tersebar
di dunia maya boleh dikata nyaris tak terbatas. Informasi apa pun bisa dengan
mudah di-upload dan disebarluaskan melalui media sosial. Tanpa didukung sikap
kritis, jangan berharap para netizen akan bisa menyaring informasi mana yang
hoax dan informasi mana yang memiliki tendensi sebagai ujaran kebencian.
Lompatan meluasnya penggunaan teknologi informasi dan media sosial, ketika
tidak diimbangi dengan pengetahuan yang kukuh, niscaya ujung-ujungnya akan
melahirkan masyarakat yang mudah takjub, mudah lepas kontrol, dan mudah
tertipu oleh ulah netizen lain yang memanfaatkan situasi.
Membentengi Diri
Apakah dengan dikeluarkannya fakta haram oleh MUI tentang
penggunaan media sosial itu bisa dijamin ulah sebagian netizen yang terbiasa
memproduksi informasi hoax, ujaran kebencian, dan kemudian menyirkulasikan
akan otomatis berkurang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu waktulah
yang akan membuktikan. Tetapi, kalau melihat bahwa ulah sebagian netizen yang
acap memproduksi berita hoax dan ujaran kebencian karena didorong motif
ekonomi dan politis, sekadar hanya mengandalkan efektivitas seruan moral MUI,
tentu masih jauh panggang dari api.
Di kalangan orang yang terbiasa memolitisasi masalah dan
sarat dengan motif-motif mengeruk keuntungan di air keruh, kekisruhan dan
gonjang-ganjing yang ditimbulkan penyebarluasan berita hoax dan ujaran
kebencian justru menjadi target atau hasil yang diharapkan. Jangankan seruan
moral, bahkan ancaman hukuman dan tindakan tegas aparat kepolisian yang
menangkap sejumlah netizen yang memproduksi dan menyebarluaskan berita hoax
atau ujaran kebencian seperti terjadi belakangan ini, tampaknya, tidak juga
membuat netizen lain surut nyalinya.
Untuk melawan makin maraknya berita hoax dan ujaran
kebencian, selain melakukan tindakan tegas dan menyosialisasikan fakta MUI,
yang tak kalah penting adalah bagaimana menyadarkan dan meningkatkan sikap
kritis masyarakat agar mampu membentengi diri sendiri dari serbuan
konten-konten di media sosial yang berbahaya. Tanpa didasari oleh sikap
kritis masyarakat, niscaya ancaman penyebarluasan berita hoax dan ujaran
kebencian tetap tidak akan terbendung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar