Mediasi
Sekolah Damai
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Juni 2017
KONFLIK merupakan hal alamiah dan milik semua manusia.
Konflik tak bisa dihindari, tetapi harus dikelola. Selama hubungan antarmanusia
terus berlangsung, selama itulah konflik akan tetap ada, tak terkecuali di
sekolah, tempat setiap orang dapat belajar.
Sebagai lembaga yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan
adiluhung untuk dihormati dan amalkan, sekolah kerap kali jarang menempatkan
diri sebagai lembaga yang mendorong tumbuhnya semangat mengelola perbedaan.
Karena itu, mengenali konflik dan sebarannya di seluruh
stakeholder sekolah menjadi amat penting untuk mengajarkan sekaligus
mengamalkan arti penting mengelola perbedaan berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan.
Di sekolah, di antara siswa sering kali terjadi
kesalahpahaman karena masalah ringan dan sepele.
Di antara guru tak jarang timbul perbedaan sikap terhadap
hal tertentu seperti alokasi jam mengajar.
Orangtua juga memiliki beragam tentang bagaimana
sesungguhnya sebuah sekolah seharusnya.
Dalam berhubungan, emosi manusia bisa berlangsung
sedemikian rupa karena memiliki beragam motif, kebutuhan, pandangan, dan
nilai-nilai yang berbeda.
Karena itu, merupakan sebuah tantangan bagi setiap sekolah
untuk memiliki manajemen konflik berbasis kebutuhan sekolah.
Pertanyaan menarik sesungguhnya datang dari efek proses
belajar-mengajar yang dapat berujung pada perilaku kekerasan.
Kekerasan yang terjadi dengan intensitas tinggi dalam
beberapa tahun terakhir ini patut diuji melalui serangkaian analisis, baik
secara sosiologis maupun pedagogis.
Secara sosial, jangan-jangan bentuk kekerasan yang terjadi
di masyarakat kita itu merupakan akumulasi dari gagalnya lembaga pendidikan
dalam melakukan transfer pendidikan secara damai dan berkeadilan.
Sementara itu, secara pedagogis, jangan-jangan
sekolah-sekolah kita memang tak memiliki kendali operasional resolusi konflik
yang dapat melatih seluruh komunitas sekolah untuk terbiasa mengatur pola
konflik di sekolah melalui skema pembelajaran yang efektif.
Tujuan bersama
Seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) sekolah harus
memiliki kesadaran tentang betapa pentingnya keterampilan mengelola konflik.
Salah satu jenis pengelolaan konflik yang secara inheren
masuk ke dalam kurikulum sekolah ialah mediasi.
McMahon (1998) menjelaskan, "Well developed whole school conflict management and curriculum
plans will often include peer mediation as one program valuable for the
school to implement as part of the big picture of school based dispute
resolution."
Kebutuhan setiap sekolah untuk peduli sekaligus mau
mempraktikkan mediasi dalam pengelolaan konfliknya merupakan pertanda sekolah
tersebut layak disebut sebagai sekolah damai.
Meskipun setiap sekolah dapat memiliki beragam jenis
keterampilan dalam praktik manajemen konflik, melakukan proses pelatihan
mediasi bagi setiap unit kerjanya ialah imperatif.
Dengan pelatihan yang teratur tentang resolusi konflik,
termasuk melatih praktik mediasi antarsesama siswa di dalam kelas dapat
mengurangi tensi kekerasan yang lain.
Praktik mediasi merupakan strategi jitu dan efektif untuk
kesuksesan sebuah program resolusi konflik di sekolah.
Mengapa?
Pertama, mediasi merupakan proses penyelesaian masalah
paling positif yang dapat mencegah konflik menjadi berlanjut dan
berkepanjangan.
Bisa dibayangkan, karena ketiadaan keterampilan mediasi di
dalam kelas, para siswa bisa mengambil tindakan sekenanya tanpa mengukur dan
menimbang efek negatif dari setiap tindakan yang bakal muncul.
Sebagai sebuah katalisator pencegahan kekerasan dan
kesalahpahaman berlanjut di tingkat kelas, mediasi dapat memberikan solusi
yang bisa diterima semua pihak yang bermasalah atau berkonflik.
Tujuan lain mediasi ialah menjadikan setiap siswa dapat
berpikir realistis tentang makna perbedaan yang ada di sekitar mereka.
Kedua, guru, orangtua, dan staf sekolah juga penting untuk
diberi latihan soal keterampilan memediasi konflik.
Bagi mereka, menyadari pentingnya pihak ketiga (third
party) dalam menangani beragam konflik di sekolah akan menjadikan sekolah
tetap dalam jalur yang benar untuk tidak menerima dan mempraktikkan
kekerasan.
Jika sekolah memiliki struktur organisasi yang baku dan di
beberapa titik tertentu disepakati pentingnya mengelola konflik melalui
metode mediasi, kesadaran tentang pentingnya peran pihak-pihak yang netral
dan bukan karena otoritas kekuasaan perlu dilembagakan ke dalam dokumen
sekolah semacam statuta sekolah.
Langkah mendasar
Dalam sekolah berciri damai, mediasi diyakini sebagai
strategi jitu karena proses yang akan dilalui biasanya adil karena kedua
belah pihak bisa saling mendengar dan memahami.
Begitu juga dengan keputusan yang akan dihasilkan, juga
sangat masuk akal karena berdasarkan kesepahaman kedua belah pihak.
Karena itulah, hasil sebuah proses mediasi biasanya dapat
mendatangkan pola hubungan yang lebih adil dan muncul rasa saling peduli
karena untuk jangka waktu yang lama.
Banyak masalah yang bisa dilakukan melalui proses mediasi
di sekolah, seperti hubungan antarsiswa, guru dengan siswa, guru dengan guru,
guru dengan orangtua, orangtua dengan sekolah dan sebagainya.
Masalah terbanyak, biasanya datang dari persoalan
keseharian antarsiswa yang, jika tidak ditangani secara dini, akan menjadi
sumber konflik yang berkepanjangan dan melibatkan hampir seluruh pemangku
kepentingan sekolah.
Karena itu, menjadi penting, agar sekolah menjadi damai,
inisiatif untuk membuat juru damai di tingkat siswa dengan cara melatih
mereka menjadi semacam mediator untuk setiap masalah yang muncul antarmereka,
menjadi relevan dan penting.
Secara umum, beberapa langkah mendasar yang perlu
dilakukan dalam melatih dan menciptakan juru damai/mediator kelas di sekolah
terdiri dari enam langkah.
Pertama, ajarkan bagaimana seorang anak memahami konteks
konflik yang terjadi dengan cara membuat ruang nyaman bagi kedua belah pihak
yang berkonflik dalam waktu yang disepekati.
Kedua, ajari siswa kemampuan untuk menjelaskan proses
mediasi, terutama hal-hal yang menyangkut tujuan dan aturan yang harus
disepakati kedua belah pihak dalam proses mediasi.
Ketiga, latihlah siswa untuk memiliki kepekaan dalam
mendengarkan apa yang sesungguhnya terjadi karena proses mendengarkan tanpa
adanya interupsi dari kedua belah pihak yang berkonflik menjadi sangat
penting.
Ketika keterampilan mendengarkan sudah dikuasai dengan
baik, langkah keempat yang juga penting ialah bagaimana siswa diajari dan
dilatih untuk mendefinisikan masalah yang muncul dan mengatur agenda mediasi
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan para pihak. Kemampuan
ini akan membentuk langkah mendasar kelima, yaitu kemampuan siswa untuk tetap
strict pada tujuan tertulis mediasi yang telah disepakati para pihak agar
solusi bisa tercapai.
Fokus pada tujuan dan solusi ialah makna dasar mediasi
yang harus dilakukan secara bersama-sama.
Barulah sesudah itu para siswa bisa dilatih langkah
keenam, yaitu bagaimana cara membuat kesimpulan yang seluruh kesepakatan
dikonfirmasi melalui perjanjian kesepakatan, jika dibutuhkan.
Selain enam langkah tersebut, dalam proses pelatihan
tentang bagaimana menjadi seorang mediator atau juru damai ulung, biasanya
para siswa akan menyadari sebuah mediasi damai biasanya harus dimulai sikap
netral seorang mediator, termasuk bagaimana cara berbicara yang efektif
dengan bahasa tubuh yang tidak menunjukkan keberpihakan.
Mediator juga perlu merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang
akan didiskusikan dalam sebuah proses mediasi, mencoba mendeteksi rasa dan
kepekaan pendengaran secara aktif.
Dengan demikian, mediator dapat membingkai seluruh
informasi dalam proses mediasi secara positif dan diterima kedua belah pihak.
Cukup sulit, tetapi harus dicoba setiap sekolah karena
kemampuan yang kecil dan sederhana ini akan menentukan suasana dan proses
belajar-mengajar berlangsung secara aman, nyaman, dan damai.
Selamat mencoba! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar