Zaman
Baru
Bre Redana ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 02 April 2017
Setiap kali menyusuri Jagorawi sekarang ini, melihat
tiang-tiang pancang light rail transit (LRT) di pinggir tol, rasanya seperti
tengah mimpi. Inikah zaman baru? Di balik tiang-tiang pancang yang tengah
dibangun-kini mengular hampir sepenuhnya tersambung-terbayang wajah Presiden
yang bekerja.Matur sembah nuwun, Pak.
Teman dari Kuala Lumpur yang menginap di rumah saya di
Ciawi dan berada dalam mobil saya berujar: Jakarta will soon be a modern
city. Kota-kota modern umumnya memang memiliki kereta entah itu yang bergerak
di bawah tanah, underground, ataupun melayang di atas jalan raya dengan
berbagai sebutannya. Di Bangkok disebut BTS.
Kereta akan menjadi alternatif dari jalur ini yang kian
hari kian macet. Masuk tol JORR, frustrasi bertambah. Kecepatan kendaraan 20
kilometer per jam. Ini sama kecepatan zaman baru di Jawa, saat selesainya
pembangunan Jalan Raya Pos Daendels pada awal abad ke-19. Jalan Daendels
menandai kemajuan Jawa, dengan kecepatan kereta kuda 18 hingga 20 kilometer
per jam. Dengan kata lain, mau dengan mobil semewah apa pun sekarang, kita
sebenarnya tengah merangkak serupa di zaman pra-abad ke-20.
Kalau dilanjutkan ke Sumatera, selain jalanan yang rusak
dan rawan longsor, persoalan bertambah dengan rawan kejahatan. Lagi-lagi,
barangkali situasinya tidak beda dengan ketika Dr Jan Willem Ijzerman
melakukan ekspedisi dari Padang Panjang ke Siak pada abad ke-19. Seyogianya
pengemudi di jalur ini diizinkan menyandang revolver.
Dengan berbagai atribut modern, banyak yang belum berubah
pada kita. Dari buku Engineers of Happy Land karya Rudolf Mrazek terbaca,
pada masa itu kebersihan jalan menjadi problematik tersendiri. Orang kadang
bahkan membuang hajat di tengah-tengahnya. Belum lagi kotoran binatang
kerbau, sapi, kuda. Debu jalanan menyebarkan ancaman tetanus.
Ibu nasionalisme Indonesia, RA Kartini, juga pernah
menyinggung perlunya kebersihan jalan. Kebersihan jalanan baginya adalah
cermin kemurnian zaman. Bagi Kartini, jalanan harus terbuat dari bahan yang
keras dan bersih, dan dengan itu tak ada yang sanggup menghentikan roda-roda
kemajuan.
Apa yang kita lihat kini? Kelas menengah bermobil entah
mewah atau ecek-ecek memperlakukan jalan raya sama seperti dilakukan pembuang
kotoran sekitar 300 tahun lampau. Begitu jalan menuju arah Puncak dibuka
seusai pemberlakuan jalur satu arah, jalan tol dipenuhi sampah kelas menengah
kita: botol minuman, gelas kertas bermerek kopi internasional, kotak makanan,
plastik, dan lain-lain. Bekas buang air kecil ada, untung tidak ada yang
senekat meninggalkan bekas buang air besar.
Pemuda-pemuda dalam usia produktif menjajakan makanan
masuk ke jalan tol. Yang lain lagi membujuk para pengendara untuk dipandu
melewati jalan alternatif di kampung-kampung. Di setiap tikungan, orang
mengacungkan tangan meminta jatah. Jumlah pengutip uang ini pasti jauh lebih
banyak dibandingkan dengan pos-pos pemeriksaan di zaman Jalan Daendels.
Oleh karena itu, siapa tak bermimpi akan lahirnya zaman
baru dengan adanya LRT, MRT, atau angkutan umum sejenis bagi masyarakat
urban? Nantinya, transportasi ini akan memicu perkembangan daerah-daerah
pinggiran menjadi suburban dengan kultur modern. Tanda-tandanya sudah
kelihatan. Hotel-hotel dan kafe-kafe modern kini berkembang di pinggiran
Jagorawi dan tol-tol lain di sekitar Jakarta. Perumahan modern di Sentul pada
perempatan jalan memasang karya ikonik seniman kontemporer Robert Indiana,
patung berupa huruf L.O.V.E. Seperti tas perempuan Hermes, karya ini terkenal
di seluruh dunia.
Menurut berbagai laporan, tiang pancang LRT Cawang-Cibubur
menghabiskan biaya Rp 2,5 sampai Rp 3 triliun. Seketika terbayang, korupsi
e-KTP senilai Rp 2,3 triliun. Kalau tidak ditelan oleh mulut rakus para
koruptor, uang sejumlah itu bisa untuk membuat tiang pancang LRT sampai ke
depan gang rumah saya di Cibedug-Ciawi.
Sumpah, di tengah perasaan bersyukur, saya tidak pernah
bisa menghilangkan kegeraman saya terhadap para koruptor di negeri ini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar