Sabtu, 08 April 2017

Mencegah Predator Anak

Mencegah Predator Anak
Najamuddin Muhammad  ;   Alumnus Pascasarjana Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
                                                        KOMPAS, 07 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Predator anak terus menjadi hantu menakutkan. Ia hadir di sekitar kita: lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah, bahkan predator anak juga sudah membangun "kerajaan" dalam jejaring sosial yang terkoneksi lintas negara.

Mencegah predator anak membutuhkan partisipasi aktif semua pihak. Tak hanya perlu hukuman berat bagi pelaku, tetapi juga penguatan peran keluarga, kepedulian masyarakat, dan rancangan sekolah yang aman dan nyaman bagi anak.

Terbongkarnya sindikat paedofil internasional lewat grup Facebook yang terkoneksi dengan sembilan negara, termasuk Indonesia, dengan nama Official Loly Candy's Group 18+, menunjukkan predator anak mulai membangun eksistensi, menyusun rencana dan aksi. Dalam grup itu mereka bertukar foto dan video. Di situlah aktor-aktor kekerasan seksual pada anak berkumpul.

Predator anak terjadi di luar nalar. Susanto (49), warga Lorong Karyawan Kelurahan 9 Ilir, Kecamatan Ilir Timur Ilir, memerkosa anak kandungnya sendiri yang berusia 23 tahun hingga dua kali melahirkan (2015). Begitu juga M, gadis 17 tahun asal Mamasa, Sulawesi Barat, diperkosa ayah kandungnya sejak kelas V SD hingga hamil (2016).

Aktor predator lain yang tak kalah mencengangkan adalah sekolah, baik oleh kepala sekolah maupun guru, dalam bentuk pelecehan, perundungan (bullying), penganiayaan, perpeloncoan, pencabulan, pemerkosaan, atau bentuk kekerasan lain. Seorang guru SD di Magelang, Abdul Kholik (56), mencabuli enam muridnya di kelas saat jam pelajaran. Guru Agama Islam di sebuah sekolah dasar negeri di Kecamatan Magelang Tengah juga mengaku melakukan perbuatan keji serupa kepada siswanya (2015). RU, seorang kepala SD di Desa Waiputih, Kecamatan Laihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, memerkosa siswinya (10) sendiri. Perbuatan itu dilakukan di kamar mandi sekolah saat semua siswa telah pulang ke rumah masing-masing (2016).

Masih banyak kasus lain yang menunjukkan predator anak bisa dari mana saja, termasuk orangtua, masyarakat sekitar, bahkan guru. Ironisnya, ragam aktor itu kini mulai diorganisasi untuk membuat persekutuan, jejaring grup yang berlevel internasional. Ini alarm darurat akan bencana kekerasan seksual pada anak.

Penguatan keluarga

Selain ketegasan polisi untuk terus membongkar sindikat jaringan predator anak yang berskala internasional hingga ke akar-akarnya, kita juga perlu melakukan langkah konkret menerapkan zona aman predator anak. Pertama, penguatan peran keluarga. Predator bisa muncul dalam lingkungan keluarga karena keluarga itu mengalami disfungsi. Disfungsi keluarga bermula dari pelemahan keluarga.

Keluarga adalah lembaga atau institusi sosial yang mampu menumbuhkan pemenuhan kebutuhan hidup manusia secara fisik, sosial, mental, dan moral. Fungsi keluarga cukup kompleks, meliputi fungsi biologis, ekonomi, kasih sayang, pendidikan, perlindungan, sosialisasi, rekreasi, agama, dan status keluarga (Melly Sri Sulastri Rifai, 2007). Apabila setiap keluarga mampu menjalankan fungsinya dengan baik, sejatinya tak akan ada praktik kekerasan pada anak-anak.

Akan tetapi, seiring dengan adanya pelemahan keluarga, pelan-pelan fungsi keluarga dirongrong. Pelemahan keluarga itu meliputi peran pria yang tak lagi menjadi kekuatan sehingga seorang ibu yang tak lagi bergantung secara ekonomis harus mencari nafkah sendiri. Dari sinilah peran edukasi keluarga berkurang, anak-anak pun banyak yang lebih dipercayakan ke sekolah. Intinya, keluarga bukan lagi sebagai zona edukatif, rekreatif, dan tempat perlindungan di mana kasih sayang bersemai.

Sebuah pengakuan mengejutkan dari bocah kelas III SD yang mencabuli siswi SMP di Surabaya. Sejak kecil dia ditinggal ibunya yang terpaksa pergi ke Kalimantan untuk bekerja sehingga ia tak pernah merasakan sentuhan kasih sayang. Keterdesakan ekonomi dan efek lingkungan yang kurang kondusif telah membuat suasana bangunan keluarga berubah.

Kemiskinan bukan faktor utama bangunan keluarga mengalami disfungsi. Ada keluarga miskin yang tetap mampu memerankan fungsi keluarga dan tak jarang keluarga dari kalangan menengah ke atas yang justru mengalami disfungsi, seperti menjadikan anak penghasil uang melalui iklan di televisi, bermain sinetron, dan eksploitasi lainnya yang berakibat pada hilangnya dunia bermain anak-anak.

Disfungsi peran keluarga juga dipicu melalui pernikahan dini, di mana di Indonesia angkanya masih tinggi. Data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015 menyebutkan, sekitar 2 juta perempuan Indonesia usia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Angka itu diperkirakan meningkat menjadi tiga juta orang pada 2030.

Tingginya pernikahan dini  juga berpengaruh terhadap praktik kekerasan dalam keluarga. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2015 menunjukkan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mendominasi kaum perempuan terjadi di 31 provinsi dengan jumlah mencapai 69 persen. Kekerasan umumnya dialami kelompok usia 0-17 tahun dengan persentase 30 persen.

Penguatan peran keluarga menjadi utama. Rumah tangga adalah bangunan paling dasar dalam setiap derap peradaban umat manusia. Butuh kedewasaan dan kematangan agar rumah tangga itu tetap kokoh meski ada hantaman badai yang bertubi-tubi.

Ada sebuah sajak yang berjudul family ties: the beauty of a family is harmony/the security of a family is loyality/the joy of a family is service/the comfort of a family is god  him self (Soemarno Soedarsono, 2008). Nilai-nilai kehidupan ditansformasi melalui sebuah bangunan keluarga yang kuat. Bangunan keluarga yang kuat selalu berdiri dalam suasana penuh keserasian, kesetiaan, kasih sayang, saling melayani, dan bersandar pada agama.

Kolaborasi dengan sekolah

Kedua, penguatan kolaborasi antara orangtua dan sekolah. Saat ini orangtua dan sekolah menjadi dua entitas yang saling berdiri sendiri, bahkan tak jarang konflik keduanya meruncing. Padahal, keduanya adalah kekuatan utama dalam mendidik anak. Paula McCoullough, guru di Lakehima Elementary Mustang, Okhaloma (2012), menegaskan, ketika rumah dalam hal ini orangtua/keluarga dan sekolah berkolaborasi, maka itu akan menjadi tim tak terkalahkan.

McCoullough sebagai seorang guru melakukan penguatan kolaborasi dengan menjalin kemitraan dengan orangtua siswa, berkomunikasi dengan orangtua siswa, baik melalui telepon maupun internet, mengirim buletin dan umpan balik, mengajar orangtua yang biasa dilakukan pada awal tahun, dan juga merekrut orangtua untuk menjadi sukarelawan dalam aktivitas di dalam kelas.

Dengan begitu, antara guru yang mempunyai informasi lebih di lingkungan sekolah dan orangtua/keluarga yang memantau anak ketika di rumah dan masyarakat mampu melindungi anak dari predator. Anak tidak hanya terlindungi dari kejahatan, tetapi orangtua dan sekolah juga akan mampu meningkatkan potensi dan melejitkan prestasi anak menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar