Mencegah
Predator Anak
Najamuddin Muhammad ; Alumnus Pascasarjana Pendidikan Islam Anak
Usia Dini (PIAUD) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
|
KOMPAS, 07 April 2017
Predator anak terus menjadi hantu menakutkan. Ia hadir di
sekitar kita: lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah, bahkan predator
anak juga sudah membangun "kerajaan" dalam jejaring sosial yang
terkoneksi lintas negara.
Mencegah predator anak membutuhkan partisipasi aktif semua
pihak. Tak hanya perlu hukuman berat bagi pelaku, tetapi juga penguatan peran
keluarga, kepedulian masyarakat, dan rancangan sekolah yang aman dan nyaman
bagi anak.
Terbongkarnya sindikat paedofil internasional lewat grup
Facebook yang terkoneksi dengan sembilan negara, termasuk Indonesia, dengan nama
Official Loly Candy's Group 18+, menunjukkan predator anak mulai membangun
eksistensi, menyusun rencana dan aksi. Dalam grup itu mereka bertukar foto
dan video. Di situlah aktor-aktor kekerasan seksual pada anak berkumpul.
Predator anak terjadi di luar nalar. Susanto (49), warga
Lorong Karyawan Kelurahan 9 Ilir, Kecamatan Ilir Timur Ilir, memerkosa anak
kandungnya sendiri yang berusia 23 tahun hingga dua kali melahirkan (2015).
Begitu juga M, gadis 17 tahun asal Mamasa, Sulawesi Barat, diperkosa ayah kandungnya
sejak kelas V SD hingga hamil (2016).
Aktor predator lain yang tak kalah mencengangkan adalah
sekolah, baik oleh kepala sekolah maupun guru, dalam bentuk pelecehan,
perundungan (bullying), penganiayaan, perpeloncoan, pencabulan, pemerkosaan,
atau bentuk kekerasan lain. Seorang guru SD di Magelang, Abdul Kholik (56),
mencabuli enam muridnya di kelas saat jam pelajaran. Guru Agama Islam di
sebuah sekolah dasar negeri di Kecamatan Magelang Tengah juga mengaku
melakukan perbuatan keji serupa kepada siswanya (2015). RU, seorang kepala SD
di Desa Waiputih, Kecamatan Laihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, memerkosa
siswinya (10) sendiri. Perbuatan itu dilakukan di kamar mandi sekolah saat
semua siswa telah pulang ke rumah masing-masing (2016).
Masih banyak kasus lain yang menunjukkan predator anak
bisa dari mana saja, termasuk orangtua, masyarakat sekitar, bahkan guru.
Ironisnya, ragam aktor itu kini mulai diorganisasi untuk membuat persekutuan,
jejaring grup yang berlevel internasional. Ini alarm darurat akan bencana
kekerasan seksual pada anak.
Penguatan keluarga
Selain ketegasan polisi untuk terus membongkar sindikat
jaringan predator anak yang berskala internasional hingga ke akar-akarnya,
kita juga perlu melakukan langkah konkret menerapkan zona aman predator anak.
Pertama, penguatan peran keluarga. Predator bisa muncul dalam lingkungan
keluarga karena keluarga itu mengalami disfungsi. Disfungsi keluarga bermula
dari pelemahan keluarga.
Keluarga adalah lembaga atau institusi sosial yang mampu
menumbuhkan pemenuhan kebutuhan hidup manusia secara fisik, sosial, mental,
dan moral. Fungsi keluarga cukup kompleks, meliputi fungsi biologis, ekonomi,
kasih sayang, pendidikan, perlindungan, sosialisasi, rekreasi, agama, dan
status keluarga (Melly Sri Sulastri Rifai, 2007). Apabila setiap keluarga
mampu menjalankan fungsinya dengan baik, sejatinya tak akan ada praktik
kekerasan pada anak-anak.
Akan tetapi, seiring dengan adanya pelemahan keluarga,
pelan-pelan fungsi keluarga dirongrong. Pelemahan keluarga itu meliputi peran
pria yang tak lagi menjadi kekuatan sehingga seorang ibu yang tak lagi
bergantung secara ekonomis harus mencari nafkah sendiri. Dari sinilah peran
edukasi keluarga berkurang, anak-anak pun banyak yang lebih dipercayakan ke
sekolah. Intinya, keluarga bukan lagi sebagai zona edukatif, rekreatif, dan
tempat perlindungan di mana kasih sayang bersemai.
Sebuah pengakuan mengejutkan dari bocah kelas III SD yang
mencabuli siswi SMP di Surabaya. Sejak kecil dia ditinggal ibunya yang
terpaksa pergi ke Kalimantan untuk bekerja sehingga ia tak pernah merasakan
sentuhan kasih sayang. Keterdesakan ekonomi dan efek lingkungan yang kurang
kondusif telah membuat suasana bangunan keluarga berubah.
Kemiskinan bukan faktor utama bangunan keluarga mengalami
disfungsi. Ada keluarga miskin yang tetap mampu memerankan fungsi keluarga
dan tak jarang keluarga dari kalangan menengah ke atas yang justru mengalami
disfungsi, seperti menjadikan anak penghasil uang melalui iklan di televisi,
bermain sinetron, dan eksploitasi lainnya yang berakibat pada hilangnya dunia
bermain anak-anak.
Disfungsi peran keluarga juga dipicu melalui pernikahan
dini, di mana di Indonesia angkanya masih tinggi. Data penelitian Pusat
Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015 menyebutkan,
sekitar 2 juta perempuan Indonesia usia di bawah 15 tahun sudah menikah dan
putus sekolah. Angka itu diperkirakan meningkat menjadi tiga juta orang pada
2030.
Tingginya pernikahan dini
juga berpengaruh terhadap praktik kekerasan dalam keluarga. Data
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2015
menunjukkan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mendominasi kaum
perempuan terjadi di 31 provinsi dengan jumlah mencapai 69 persen. Kekerasan
umumnya dialami kelompok usia 0-17 tahun dengan persentase 30 persen.
Penguatan peran keluarga menjadi utama. Rumah tangga
adalah bangunan paling dasar dalam setiap derap peradaban umat manusia. Butuh
kedewasaan dan kematangan agar rumah tangga itu tetap kokoh meski ada
hantaman badai yang bertubi-tubi.
Ada sebuah sajak yang berjudul family ties: the beauty of
a family is harmony/the security of a family is loyality/the joy of a family
is service/the comfort of a family is god
him self (Soemarno Soedarsono, 2008). Nilai-nilai kehidupan
ditansformasi melalui sebuah bangunan keluarga yang kuat. Bangunan keluarga
yang kuat selalu berdiri dalam suasana penuh keserasian, kesetiaan, kasih
sayang, saling melayani, dan bersandar pada agama.
Kolaborasi dengan sekolah
Kedua, penguatan kolaborasi antara orangtua dan sekolah.
Saat ini orangtua dan sekolah menjadi dua entitas yang saling berdiri
sendiri, bahkan tak jarang konflik keduanya meruncing. Padahal, keduanya
adalah kekuatan utama dalam mendidik anak. Paula McCoullough, guru di
Lakehima Elementary Mustang, Okhaloma (2012), menegaskan, ketika rumah dalam
hal ini orangtua/keluarga dan sekolah berkolaborasi, maka itu akan menjadi
tim tak terkalahkan.
McCoullough sebagai seorang guru melakukan penguatan
kolaborasi dengan menjalin kemitraan dengan orangtua siswa, berkomunikasi
dengan orangtua siswa, baik melalui telepon maupun internet, mengirim buletin
dan umpan balik, mengajar orangtua yang biasa dilakukan pada awal tahun, dan
juga merekrut orangtua untuk menjadi sukarelawan dalam aktivitas di dalam
kelas.
Dengan begitu, antara guru yang mempunyai informasi lebih
di lingkungan sekolah dan orangtua/keluarga yang memantau anak ketika di
rumah dan masyarakat mampu melindungi anak dari predator. Anak tidak hanya
terlindungi dari kejahatan, tetapi orangtua dan sekolah juga akan mampu
meningkatkan potensi dan melejitkan prestasi anak menjadi lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar