The
American Way
Imam Shamsi Ali ; Presiden Nusantara Foundation
|
REPUBLIKA, 26 Maret 2017
Sejak
dimulainya kampanye pemilihan presiden Amerika di tahun 2016 lalu serangan
dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Amerika Serikat meningkat tajam.
Terlebih lagi setelah pemilihan itu memberikan kesempatan kepada Donald Trump
masuk ke Gedung Putih (White House), kediaman resmi presiden Amerika,
serangan terhadap minoritas menjadi 'momok' yang menakutkan.
Komunitas
Muslim, Yahudi, Hispanic, African American, dan kelompok minoritas lainnya
mendapat perlakuan yang kurang wajar. Kekerasan fisik maupun teror mental
seringkali mereka alami dalam berbagai bentuknya.
Seorang
anggota kepolisian New York diserang karena wanita Muslimah yang berjilbab.
Seorang pekerja MTA (transportasi umum New York) didorong di sebuah tangga
kereta bawah tanah juga karena agama dan pakaian Muslimahnya. Seorang pekerja
airport JFK New York diserang secara fisik oleh orang yang tidak bertanggung
jawab juga karena agama dan hijabnya.
Dalam
beberapa pekan terakhir masyarakat Yahudi juga mendapat serangan yang tidak
kurang. Pekuburan bersejarah mereka di St. Louis dirusak oleh orang yang
tidak bertanggung jawab.
Bahkan
puluhan sinagog atau pusat-pusat dan rumah ibadah Yahudi mendapat teror bom
lewat telepon. Hanya beberapa hari yang lalu seorang ilmuan Hindu keturunan
India terbunuh karena etnik dan negara asalnya. Demikian pula seorang
pemimpin Sikh tertembak mati di pekarangan rumahnya di Seattle Washington.
Beberapa
hari lalu sebuah masjid di Arizona dimasuki oleh seseorang di saat sepi, dan
Alquran yang ada di rak-rak itu disobek sobek. Baru kemarin seorang wanita
Muslimah diteriaki dan dipukuli.
Itu
sekelumit Amerika di bawah kepemimpinan Donald Trump saat ini. Kekerasan demi
kekerasan, kebencian terhadap warga minoritas semakin menjadi-jadi. Bahkan
polling terakhir mengatakan 60 persen warga Muslim Amerika merasa ketakutan
dengan suasana saat ini.
Belum
lagi tentunya upaya Donald Trump untuk melarang pendatang yang beragama Islam
dari negara-negara mayoritas Muslim. Sesunguhnya, pelarangan yang dimulai
dengan beberapa negara itu adalah memenuhi janji kampanye untuk melarang
siapa saja yang beragama Islam datang ke negara ini.
Pelarangan
itu tentunya merupakan penampakan karakter Donald Trump yang sesungguhnya
kepada Islam dan komunitas Muslim. Tapi sekaligus bagian dari upaya
membendung perkembangan Islam yang semakin pesat. Justeru yang lucu kemudian
ketika pangeran Saudi memuji dan menganggapnya "sangat bersahabat"
dengan orang Islam. Atau ketika petinggi Indonesia melihatnya sebagai
politisi yang baik dan akan memberikan dukungan kepada masyarakat Muslim.
Kebijakan
pelarangan ini menjadi bagian dari kemenangan kelompok-kelompok Islamophobia
yang selama ini sangat gencar memerangi Islam dan komunitas Muslim. Sehingga,
dengan sendirinya menjelaskan kecurigaan yang ada bahwa Islamophobia sekarang
ini sudah menjadi bagian sistim kenegaraan.
Dan
dengan sendirinya, ini juga membawa kepada sebuah situasi yang sangat
berbahaya. Jika masa lalu Islamopobia bersifat kasuistik, kejadian atau kasus
di sana-sini, maka sekarang ini seolah penyakit ini sudah berada di jantung
Amerika. Berada di pusat pemerintahannya di Gedung Putih.
The
American way
Ternyata
Amerika memang Amerika. Amerika punya jalannya sendiri. Jalan Amerika itu
adalah demokrasi. Dan demokrasi itu memberikan otoritas tertinggi kepada
rakyatnya.
Saya
mungkin tidak salah jika mengatakan bahwa kemenangan Donald Trump adalah
sebuah "unintended mistake" (kesalahan yang tidak disengaja). Tentu
sebuah konsekwensi dari demokrasi itu sendiri. Tapi sejatinya kemenangannya
adalah kesalahan yang akan dicatat oleh sejarah Amerika itu sendiri.
Delapan
tahun Amerika mencatat sejarah dengan memilih seorang presiden dari kalangan
Afro Amerika. Tidak saja karena Barack Obama terpilih mewakili banyak latar
belakang. Afro Amerika, juga putih, dan juga mewakili Imigran secara keseluruhan
karena ayahnya adalah seorang Muslim berkebangsaan Kenya. Tapi saya kira yang
terpenting adalah Barack Obama relatif berhasil dalam memimpin negara ini
dalam delapan tahun terakhir.
Terpilih
menjadi presiden Amerika pasca-George W Bush, bukan hal mudah. Negara telah
didorong ke dalam multi dimensi permasalahan, baik secara domestik maupun
global. Ekonomi mengalami krisis yang luar biasa. Dan dengan nafsu perang
Bush menjadikan nama Amerika menjadi rusak di mata dunia.
Barack
Obama berhasil, minimal bertahan sehingga Amerika tidak mengalami krisis yang
lebih jauh. Ekonomi tumbuh kembali. Hubungan dengan negara-negara dunia
semakin membaik, termasuk dengan negara-negara mayoritas Muslim.
Mungkin
salah satu sejarah yang akan dicatat oleh Amerika tentang Barack Obama adalah
keberhasilannya meloloskan Healthcare atau jaminan kesehatan menjadi UU di
Amerika. UU ini lebih populer dengan nama Obamacare.
Keberhasilan
itu ternyata menumbuhkan "keresahan" di pihak lain. Oleh karenanya
lawan-lawan politiknya berusaha menggantikannya dengan segala cara. Kemarin
baru saja akan dilakukan voting di Kongress. Tapi sekali lagi Amerika punya
jalannya sendiri. Usaha mengganti Obamacare itu gagal sebelum dimulai.
American
way yang saya maksud di sini adalah bahwa urusan publik kenegaraan memang
tidak ditentukan oleh seorang, atau sepihak. Tapi, semua ikut mengambil
bahagian untuk menentukan arah kebijakan publik kenegaraan (state affairs).
Tentu termasuk di dalamnya sebagai pemegang otoritas tertinggi masyarakat itu
sendiri.
Sejak
kampanye rasis dan anti imigran, khususnya Muslim, dilancarkan Donald Trump,
masyarakat Amerika sudah mulai menyuarakan resistensi. Berbagai kegiatan
sebagai bentuk solidaritas dilakukan. Walaupun saat itu sebagian menganggap
jika pernyataan-pernyataan maupun perilaku Donald Trump hanya sebagai
strategi tim kampanyenya untuk menarik simpati dari segmen tertentu
masyarakat Amerika.
Kini
dengan terpilihnya Donald Trump dan gelagat kebijakannya yang memang mengarah
ke rasisme dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas, termasuk Muslim dan
imigran, the American way itu semakin menampakkan diri.
Demonstrasi
demi demonstrasi dilakukan di mana-mana membela hak-hak sipil minoritas.
Kebijakan pelarangan pendatang Muslim ke Amerika oleh Donald Trump disambut
dengan penentangan di mana-mana. Bahkan oleh Hakim Tinggi diblok
berkali-kali, menjadikan kebijakan itu kehilangan wibawa.
Baru-baru
ini dan untuk pertama kalinya dalam sejarahnya peringatan hari St. Patrick
masyarakat Amerika keturunan Irlandia mengundang kami memberikan presentasi
tentang Komunitas Muslim pasca terpilihnya Donald Trump. Kami mendapatkan
penerimaan yang luar biasa. Selain karena memang ada keinginan membangun
kerjasama dan solidaritas, juga karena kini Muslim bisa dipercaya.
American
way itu adalah suara rakyat dan supremasi hukum. Dan dalam sebuah negara jika
rakyat luas masih didengar dan hukum masih dijunjung tinggi maka negara itu
adalah negara harapan dan impian.
Digagalkannya
kebijakan pelarangan orang Islam (Muslim ban) masuk Amerika oleh Hakim Tinggi
Amerika bukti nyata bahwa hukum masih otoritas tertinggi. Gagalnya
penggantian Obamacare ke Ryancare juga membuktikan jika suara rakyat masih
mengontrol kekuasaan publik.
Oleh
karenanya di tengah berbagai tantangan yang sedang kita hadapi saat ini, saya
tetap yakin jika Amerika akan tetap Amerika yang dulu kami kenal. Amerika
yang menjadi harapan banyak orang, pulau impian bagi imigran. Tidak saja
untuk perbaikan ekonomi dan pendidikan. Tapi yang terpenting adalah kebebasan
dan keadilan sosialnya.
Amerika
insya Allah tidak akan berubah prinsip hanya karena sebuah pemilu. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar