Pancasila
dan Penyakit Antikeragaman
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU)
|
MEDIA
INDONESIA, 01 April 2017
EDITORIAL harian Media Indonesia, Kamis (30/3), bertajuk
Antikeberagaman kian Mencemaskan membuat kita harus menarik napas panjang.
Sejumlah pertanyaan kemudian menyusul begitu saja. Benarkah sedemikian
mengkhawatirkan kondisi kebangsaan kita? Apakah betul penghayatan terhadap
nilai-nilai keberagaman sudah sangat luntur? Saya ingin memulai menjawab
kegelisahan pertanyaan itu dengan sebuah inisiatif kecil yang beberapa waktu
lalu saya tempuh. Insiatif itu, terus terang saya ambil sebagai wujud
ekspresi kekhawatiran saya atas merebaknya semangat menghargai perbedaan
antara elemen bangsa. Saya membuat video pendek berdurasi satu menit yang
saya sebarkan via akun media sosial Instagram yang saya miliki. Video itu
saya beri tajuk Makna Perbedaan. Isinya berupa grafis visual soal bagaimana
seharusnya kita memaknai perbedaan. Saya membuka video itu dengan kalimat
"Saat engkau melihat awan di langit membentuk lafaz
Allah, engkau berkata: inilah tanda kebesaran Allah. Namun, saat engkau
melihat manusia yang berbeda-beda suku, rasa, agama, golongan, engkau malah
menganggap mereka musuh yang harus dibunuh dan diperangi. Mengapa tak kau
lihat tanda kebesaran-Nya?" Apa hasilnya? Video itu dilihat ratusan ribu
orang. Ia menyebar begitu masifnya. Bahkan, belakangan saya tahu, beberapa
kalangan selebgram juga ikut menyebarkan video itu. Saya menangkap ada
semacam dahaga asupan renungan untuk memaknai dan menyikapi keberagamaan yang
dirasakan kebanyakan kita. Saya menyebut kegiatan itu sebagai dakwah virtual.
Sebuah ikhtiar dakwah atau ajakan yang mediumnya berupa dunia digital. Hal
ini sudah mulai marak dilakukan, utamanya di Nahdlatul Ulama (NU) dengan
gerakan netizen NU-nya. Lalu hubungannya apa dengan kebinekaan?
Tentu saja titik tekan yang ingin saya sampaikan ialah
semangat memaknai perbedaan di bangsa kita memang belakangan terindikasi
memudar. Maraknya kelompok yang anti liyan dan cenderung membenarkan
pandangannya sendiri adalah tanda utama memudarnya semangat menghargai
keragaman ini. Penting untuk disadari bahwa kita hidup bergelimang perbedaan.
Antara satu dengan yang lainnya sudah pasti berbeda. Itulah yang disebut
dengan istilah binneka. Kita tidak bisa menolak perbedaan. Yang bisa kita
lakukan ialah mengolahnya menjadi energi yang positif dan berguna. Yang bisa
kita kerjakan ialah meletakkan perbedaan sebagai bahan baku mencari
titik-titik persamaan sekaligus mentransformasikannya menjadi kekuatan
positif. Saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan, ibarat benda,
Indonesia benda yang berbahan baku perbedaan. Ia harus dirajut dan ditenun.
Pekerjaan merajut dan menenun ialah tugas kita bersama agar kain
keindonesiaan itu tidak terkoyak atau bahkan robek. Saya ingin mengatakan,
secara terminologis, ada yang patut untuk dikritik dari semboyan Bhinneka
Tunggal Ika itu.
Sejak kanak-kanak jika selalu diajari bahwa arti dari
Bhinneka Tunggal Ika ialah meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Padahal jika kita telaah lebih dalam manakah di kalimat Bhinneka Tunggal Ika
itu yang bermakna satu? Kata tunggal artinya bukan satu, melainkan hanya
satu, the only, satu-satunya. Tunggal berarti tiada duanya, bukan satu,
melainkan satu-satunya. Jadi, Bhinneka Tunggal Ika itu artinya berbeda-beda,
tapi hanya satu jua. Makna berbeda-beda, tapi hanya satu jua ini mengandaikan
Indonesia yang berbahan baku beragam aneka suku, bangsa, budaya dan juga
karakter ini bisa melebur hanya satu-satunya menjadi dan dalam wadah
Indonesia yang tiada duanya. Dalam kaitan menyatunya kebinekaan itu, yang
patut untuk disadari ialah bukan dengan cara menghilangkan identitas asalnya,
tapi sebaliknya identitas dan budaya asal justru harus diperkuat adanya. Ini
mutlak diperlukan karena banyaknya pandangan yang menyatakan bahwa jika kita
ingin menjadi Indonesia, kita harus meninggalkan budaya asli kita.
Kerap kita temui cemoohan anak muda di Ibu Kota terhadap
rekannya dari Jawa, Madura, atau Batak yang mengejek serta mengolok-olok
corak bahasa Indonesianya yang katanya medok rasa Jawa, Madura, dan juga
Batak. Padahal, ibarat makanan, Indonesia ialah rujak. Untuk menjadi rujak
yang berkualitas baik, diperlukan bahan baku yang baik pula. Rujak itu
membutuhkan cabai dengan kualitas nomor satu, mentimun yang segar, petis
udang yang asli. Kualitas bahan baku itulah yang membuat rujak itu menjadi
rujak nomor satu. Artinya, untuk menjadi Indonesia kita harus tetap menjaga
keragaman serta keaslian budaya kita, bukan malah sebaliknya
menghilangkannya. Kebinekaan itu harus kita kelola dan kita rayakan. Bahkan
manusia memang secara fitrah diciptakan dalam beragam macam perbedaan. Dalam
Alquran disebutkan "Yaa ayyuhannas inna kholaqnakum min dzakarin wa
unsta wajaalnaakum suuban waqobaila lita'arofu," yang berarti, Wahai
manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan
aku menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal." Pada hemat saya, menjamurnya gerakan-gerakan yang antiliyan
akhir-akhir ini disebabkan minimnya kesadaran dan penghargaan kita terhadap
realitas kemajemukan yang ada. Kita mungkin sudah lupa bahwa betapa realitas
konstruksi keindonesiaan dibangun di atas konsensus perbedaan yang disatukan
sebuah cita-cita menuju kehidupan yang makmur, merdeka, dan bermartabat.
Dalam bahasa sosiolog Ben Anderson (1999) masyarakat
Indonesia disatukan kesatuan cita dan asa. Mereka mungkin belum pernah
bertemu satu dengan yang lainnya, secara fisik, tapi mereka punya kesatuan
tekad dan kesamaan cita. Itulah yang dimaksud dengan masyarakat terbayang
imagined community. Tantangan-tantangan yang kita hadapi ke depan kian
beragam. Pelbagai sektor siap menanti kita. Ekonomi, politik, pendidikan, dan
juga kesehatan. Untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat itu, tak elok
dan tidak atau bahkan sangat salah jika hari ini kita masih berkubang pada
perdebatan yang cenderung mempermasalahkan perbedaan dan kebinekaan yang
alamiah dan fitrah kita miliki sebagai sebuah entitas bangsa dan negara.
Oleh karena itu, menghadirkan kembali Pancasila dengan
semangat Bhinneka Tunggal Ika-nya dalam tafsir-tafsir yang lebih membumi,
progresif, dan juga aplikatif ialah sebuah langkah yang tidak boleh ditawar
kembali.
Dengan hadirnya Pancasila dengan tafsir-tafsir progresif
sekaligus membumi dan aplikatif itu diharapkan generasi muda penerus bangsa
terus aktif terlibat dalam usaha-usaha menjaga harmoni dalam keragaman di
bawah semangat serta spirit Bhinneka Tunggal Ika. Jika hal itu tidak bisa
kita tempuh, bukan tidak mungkin jika semangat antiliyan sebagaimana yang
terjadi belakangan. Ia akan menjadi kanker yang bisa menyebar dan
menggerogoti tubuh dan jiwa kebangsaan kita. Semoga itu tidak terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar