Peta
Politik Pilkada Jabar
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
KORAN
SINDO, 29
Maret 2017
Genderang perang kontestasi elektoral di Jawa Barat sudah
ditabuh. Meski masih 17 bulan menuju pemilihan, proses berebut dukungan
partai dan calon pemilih sudah dimulai.
Tak mengherankan, karena Jawa Barat merupakan salah satu
provinsi yang menjadi target untuk dimenangkan oleh semua partai politik.
Jabar adalah lumbung suara nasional. Dengan penduduk kurang lebih 46 juta
warga, tersebar di 26 Kabupaten/Kota, 625 Kecamatan dan 5.899 Desa/
Kelurahan. Potensi pemilihnya dalam pemilu sangat besar, kurang lebih 33
jutaan. Oleh karenanya, selalu muncul asumsi jika menang di Jabar berpotensi
memenangkan Indonesia. Dari bacaan tersebut, sangat wajar jika Jabar menjadi
“battle ground” menentukan dalam perencanaan strategis parpol.
Kongsi Kandidasi
Ibarat petarung, ada yang sudah terang-terangan menyatakan
diri siap diusung dan didukung, tetapi ada juga yang masih malu-malu
mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon. Satu nama yang sudah
mendeklarasikan diri sebagai calon gubernur Jabar adalah sosok yang tak asing
lagi di kalangan media massa dan para netizen media sosial. Dialah Ridwan
Kamil yang menerima pencalonan dirinya sebagai calon gubernur Jabar oleh
Partai Nasdem, pada Minggu (19/3).
Secara faktual, apa yang dilakukan Nasdem baru sekadar
mendukung belum bisa mengusung. Hal ini disebabkan kursi Nasdem di DPRD Jabar
hanya 5 kursi, sementara syarat berdasarkan UU Pilkada Nomor 10/ 2016 jika
didukung oleh partai atau gabungan partai politik, maka syaratnya adalah 20%
kursi DPRD atau 25% suara sah di pemilu legislatif yang terakhir. Oleh karena
kursi di DPRD Provinsi Jabar ada 100 kursi, maka 20 persennya berarti 20
kursi.
Jika melihat syarat tersebut, hanya PDIP yang bisa
mencalonkan kandidatnya sendirian tanpa harus berkoalisi karena memiliki 20
kursi di DPRD Provinsi Jabar. Di bawahnya ada Partai Golkar dengan perolehan
17 kursi, lantas ada PKS dan Demokrat yang masing- masing mengantongi 12
kursi. Posisi “the big five” lainnya adalah Gerindra dengan 11 kursi.
Dari peta awal ini, sebenarnya tergambar kekuatan mana
yang akan menjelma menjadi pemain utama, dan yang lainnya adalah atmosfer di
tengah gegap gempitanya dukungan dalam kandidasi. Secara faktual, komunikasi
politik antarpartai semakin intens. Masing-masing pihak masih membuka peluang
untuk bersepakat alias zone of possible agreement.
Di atas kertas, masih terbuka bakal calon hingga 4 pasang
dengan catatan partaipartai tidak kumulasi di hanya satu atau 2 kandidat.
Pertama, Nasdem yang besar kemungkinan berkongsi dengan PDIP dan mengusung
Ridwan Kamil sebagai kandidat. Hal ini terkait dengan minimnya kader internal
kedua partai tersebut yang memiliki modal dasar elektoral tinggi saat ini.
Oleh karenanya, kemungkinan mengembangkan cara yang sama dengan di DKI saat
mendukung Ahok- Djarot.
Nasdem ambil langkah cepat deklarasi terlebih dahulu, dan
di pengujung berkongsi dengan PDIP. Jika skema kongsi ini terjadi, PDIP
kemungkinan akan mengambil “jatah” Jabar-2 sebagai politik representasi.
Sementara Nasdem dapat “panggung” popularitas sebagai bentuk political
publicity dan akses ke kekuasaan pada masa mendatang, juga sebagai strategi
penguatan partai pada masa mendatang. Partai lain yang berpotensi menguatkan
kongsi ada PPP (9 kursi), PKB (7 kursi), PAN (4 kursi) dan Hanura (3 kursi).
Jika keempat partai ini bersatu menguatkan PDIP dan
Nasdem, maka paslon kemungkinan hanya dua atau head-to-head. Kedua, Partai
Golkar dengan modal 17 kursi DPRD, hanya membutuhkan tiga kursi tambahan
untuk proses kandidasi. Rasanyatakterlalusulitbagi Golkar untuk mencari mitra
kongsi guna menggenapkan dukungan yang kemungkinan mengarah ke Dedi Mulyadi
yang saat ini menjabat Bupati Purwakarta.
Golkar bisa memersuasi beberapa partai untuk memuluskan
niatnya tersebut. Nama Dedi Mulyadi pun dari positioning, branding, dan
segmenting berpotensi punya nilai keberbedaan dengan Ridwan Kamil. Ketiga,
Gerindra dengan modal 11 kursi dan PKS dengan 12 kursi DPRD bisa memunculkan
paket pasangan calon sendiri. Seandainya hanya dua partai ini pun yang
mengusung, pasangan calon sudah bisa melaju. Ada beberapa alasan yang membuat
kedua partai berpotensi satu kongsi di Jabar.
Secara psikopolitik, kedua partai ini sudah membuktikan
padu padannya chemistry mereka saat mengusung Ridwan Kamil sebagai wali kota
Bandung dan sekarang sama-sama merasa ditinggalkan oleh Emil. Memiliki
kesamaan sebagai partai yang eksplisit memosisikan diri di luar pemerintahan
Jokowi-JK, berkongsi di Pilkada DKI, dan kemungkinan besar juga berkongsi di
2019 dalam pencapresan di luar sosok yang diusung PDIP.
Di level nasional Gerindra menyebut capres mereka pada
2019 adalah Prabowo Soebianto. Sementara di Jabar, Gerindra bersama PKS kemungkinan
mengusung petahana dan mengajukan politik representasi kader partai mereka di
Jabar-2. Misalnya memasangkan nama Deddy Mizwar dan Netty Prasetiyani Aher
(PKS) atau salah satu nama lain dari kader Gerindra. Keempat, adalah kongsi
yang kemungkinan diinisiasi oleh Demokrat.
Meski langkahnya lebih berat, bukan berarti mustahil.
Demokrat mengantongi 12 kursi DPRD butuh tambahan 8 kursi. PR syaratnya
adalah meyakinkan partai lain untuk berkongsi. Jika ini terealisasi, maka
potensi mengusung Dede Yusuf sebagai bakal calon dan menyandingkannya dengan
sosok lain akan membuka opsi pasangan calon keempat. Dengan modal yang ada
saat ini, sebenarnya Demokrat lebih realistis jika berkongsi dengan salah
satu dari tiga kongsi di atas.
Kesenjangan Komunikasi
Salah satu hambatan membangun kongsi dalam kandidasi di
Jabar adalah kesenjangan komunikasi (communication gap) antarparpol. Misalnya
sikap Gerindra yang kecil peluangnya mendukung Ridwan Kamil, selain karena
Emil sudah dideklarasikan sebagai calon oleh Nasdem, salah satu item syarat
yang diberikan Nasdem adalah terkait dengan persiapan Pilpres 2019.
Singkatnya Gerindra sepertinya mengalami disonansi kognitif.
Dalam pandangan Leon Festinger di bukunya, West &
Turner, Introducing Communication Theory Analysis and Aplication (2008),
disonansi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antar elemen
kognisi. Gerindra sebagai pengusung Ridwan Kamil di pemilihan wali kota
Bandung, merasa dikecewakan dengan sikap Ridwan Kamil yang melaju lebih
dahulu dengan partai berbeda.
Meskipun hal ini sesungguhnya juga konsekuensi dari
cairnya hubungan Gerindra dengan Ridwan Kamil karena Emil bukanlah kader
partai tersebut. Terlebih jika Nasdem jadi berkongsi dengan PDIP mengusung
Emil. Jarak komunikasi akan semakin melebar. Kesenjangan komunikasi dalam
kandidasi juga berpotensi terjadi antara Golkar dengan PDIP. Jika di nasional
keduanya sangat akur karena sesama pengusung pemerintahan Jokowi, pun
demikian satu kongsi di Pilkada DKI, tetapi di Jabar akan lain ceritanya.
Kedua partai memiliki ambisi memenangkan lumbung utama
nasional mereka. Jabar sudah lama menjadi lumbung suara Golkar sejak Orde
Baru. Di Pileg 2014 Golkar dikalahkan PDIP. Golkar dan PDIP akan sama-sama
memenangkan Jabar untuk tujuan strategis mereka di pileg maupun Pilpres 2019.
Inilah yang oleh Gary W Cox dalam Making Vote Count (1997) sebagai
probabilitas perolehan suara dalam perspektif struktur peluang.
Golkar dan PDIP berpeluang untuk menjadikan Jabar sebagai
arena pertarungan yang harus dimenangkan sehingga sulit berkongsi. Terakhir,
kesenjangan komunikasi juga sangat mungkin terjadi antara PDIP dengan PKS.
Hal ini lebih ke irisan ideologis dan psikopolitis. Meskipun pertimbangan
ideologi kerap tak menjadi orientasi parpol, khusus PKS dan PDIP di Jabar
akan sangat sulit berjumpa dalam satu kongsi politik. Sama halnya mereka juga
sulit berkongsi di DKI, dan juga berkoalisi di level nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar