Setelah
Amnesti Pajak Berakhir
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta
|
KOMPAS, 03 April 2017
Program amnesti pajak telah berakhir pada 31 Maret 2017.
Hasilnya menimbulkan perasaan mendua. Di satu pihak, diungkap aset Rp 4.855
triliun yang selama ini tidak tersentuh pajak yang berasal lebih dari 800.000
orang. Jumlah ini signifikan karena setara dengan 40 persen terhadap produk
domestik bruto dan ekuivalen dengan lebih dari dua tahun anggaran pemerintah
(APBN).
Namun, di sisi lain, hasil repatriasi Rp 147 triliun
dianggap kurang berhasil karena pemerintah semula menargetkan Rp 1.000
triliun, yang dikritik terlalu ambisius. Dari jumlah itu, Rp 85 triliun (58
persen) berasal dari Singapura. Sisanya dari tiga negara tax haven
(negara-negara kecil yang memberikan fasilitas pajak murah), yakni Kepulauan
Cayman, Hongkong, Kepulauan Virgin Amerika Serikat, China, Australia, dan
lain-lain.
Kita dapat membentangkan tiga perspektif terhadap
peristiwa ini. Pertama, dari sisi pengungkapan harta, aset Rp 4.855 triliun
bakal menambah basis pajak bagi Kementerian Keuangan untuk meningkatkan
penerimaan pajak di masa depan. Terungkap aset yang semula tersembunyi tak
terpantau radar resmi pajak yang siap dipajaki jika terjadi transaksi
terhadap aset-aset tersebut.
Jika diasumsikan pemerintah dapat memungut rata-rata 3
persen setahun terhadap transaksi atas aset-aset tersebut, akan terkumpul Rp
145 triliun. Jumlah ini signifikan karena ekuivalen dengan 50 persen defisit
APBN setahun, yakni Rp 300 triliun. Jika ini terjadi, pemerintah bisa
menurunkan agresivitas mencari utang untuk menutup defisit APBN. Pemerintah
juga bisa menaikkan belanja APBN, misalnya untuk infrastruktur. Sebagai
ilustrasi, dana Rp 145 triliun bisa membiayai enam MRT Jakarta atau 20
terminal baru (T3) Bandara Soekarno-Hatta atau 15 bandara baru DI Yogyakarta
di Kulon Progo.
Kedua, pemerintah mendapat uang masuk ke kas negara Rp 134
triliun, yang terdiri dari pembayaran tebusan (denda) Rp 114 triliun,
pembayaran tunggakan Rp 18,6 triliun, dan pembayaran bukti permulaan Rp 135
triliun. Jumlah ini mendekati target tebusan Rp 165 triliun dan melampaui
prediksi pengamat ekonomi, Rp 60 triliun-Rp 80 triliun.
Dana inilah yang mampu membantu APBN 2016 sehingga
defisitnya hanya 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan
undang-undang, defisit APBN kita diizinkan maksimal 3 persen terhadap PDB.
Bagaimana ”angka keramat” ini diturunkan? Ketika negara-negara Amerika Latin
bangkrut terkena krisis 1980-an dan 1990-an, para ekonom di Washington DC,
Amerika Serikat (IMF, Bank Dunia, dan Kementerian Keuangan AS), membuat
konsensus agar idealnya defisit tidak melampaui 2 persen terhadap PDB.
Belakangan, mengikuti dinamika perekonomian dunia, angkanya direlaksasi
menjadi 3 persen terhadap PDB.
Penerimaan dana tebusan amnesti pajak pada 2016 telah
berhasil memangkas defisit APBN 2016, tetapi tidak signifikan untuk APBN 2017
karena sebagian terbesar tebusan masuk di tahun 2016. Dengan kata lain, tebusan
dari amnesti pajak tidak berhasil menyumbang secara langsung APBN.
Ketiga, meski hasil repatriasi tak sesuai target,
signifikan menaikkan cadangan devisa yang saat ini sekitar 120 miliar dollar
AS. Belum semua dana repatriasi masuk sehingga diperkirakan cadangan devisa
mencapai 125 miliar dollar AS. Jumlah ini melampaui rekor tertinggi, 124,7
miliar dollar AS, pada Juli-Agustus 2011, saat rupiah mencapai rekor terkuat
sesudah krisis 1998, yakni Rp 8.700 per dollar AS.
Masuknya devisa repatriasi dikombinasikan dengan surplus
ekspor telah membantu rupiah untuk tetap stabil pada level Rp 13.300 per
dollar AS. Bahkan, ketika bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga
acuannya dari 0,75 persen menjadi 1 persen, rupiah tidak terdepresiasi
sebagaimana semula dikhawatirkan. Indeks harga saham Indonesia bahkan
memecahkan rekor dan akhir pekan lalu 5.592. Penyebabnya, indikator ekonomi
makro kita relatif baik dibandingkan dengan negara-negara kompetitor.
Sesudah program amnesti pajak berakhir, apa yang mesti
dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati? Dengan keyakinan masih
banyak dana WNI di luar negeri, masih ada potensi membawa pulang ke Tanah
Air. Amnesti pajak tidak bisa terlalu sering dilakukan, maka yang harus
dilakukan adalah meningkatkan daya tarik untuk masuknya modal dari luar
negeri.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah gencar membangun
infrastruktur. Ini sudah benar dalam konteks menaikkan daya saing dan mengail
masuknya modal global. Pasar modal juga harus kian dapat mengundang dana global,
termasuk milik WNI. Terjadinya lonjakan indeks harga saham Indonesia pada
saat indeks saham global terkoreksi memberikan indikasi kuat tentang
potensinya yang besar.
Untuk menggairahkan bursa, saya usul agar pemerintah
mendorong Pertamina untuk menjual sahamnya. Pertamina baru saja sukses
melakukan reformasi—menutup anak-anak usaha yang menjadi sarang perburuan
rente ekonomi—dan memotong subsidi BBM eceran sehingga mencetak laba
fantastis 3,14 miliar dollar AS (ekuivalen Rp 41,7 triliun) pada 2016. Inilah
laba terbesar korporasi dalam sepanjang sejarah Indonesia, yang jauh
melampaui laba BRI (Rp 25,8 triliun), BCA (Rp 20,6 triliun), dan Astra
International (Rp 15,2 triliun). Semua perusahaan top tersebut sudah menjual
sahamnya di bursa, kecuali Pertamina.
Bursa efek yang bergairah karena masuknya Pertamina akan
menjadi magnet penting dan kuat untuk menarik kembali dana WNI. Perusahaan
minyak terbesar di dunia, Saudi Aramco, berani melakukannya pada 2018, kenapa
Pertamina belum? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar