Aksi
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 01 April 2017
Berbagai
ormas Islam kembali melaksanakan aksi massa. Kali ini labelnya aksi 313,
penamaan kreatif untuk menjelaskan aksi itu terjadi pada tanggal 31 di bulan ke-3,
alias 31 Maret. Sebelumnya ada aksi berlabel 112 yang merujuk ke hari
bertanggal 11 Februari. Padahal, kalau tak dicatat baik-baik, di kemudian
hari bisa saja diduga hari itu bertanggal 1 Desember. Bukankah sebelumnya ada
aksi 212 yang merujuk ke tanggal 2 Desember?
Kita
mencatat aksi-aksi ini berjalan damai-pujian bagi koordinator aksi dan tentu
juga aparat keamanan. Tapi kita juga mencatat, yang mau disuarakan lewat aksi
ini masih seputar kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Gubernur DKI Jakarta
yang kini bertarung kembali untuk jabatan keduanya. Jika awalnya untuk
menuntut kasus Ahok diproses secara hukum, belakangan hal ini meningkat
menjadi tuntutan agar Ahok diberhentikan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Presiden
Joko Widodo ataupun Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sudah mendengarkan
suara aksi itu. Masalahnya, menurut Menteri Tjahjo, pasal-pasal yang
dituduhkan oleh jaksa penuntut umum ada dua. Yang satu hukumannya di atas 5
tahun bui, satu lagi hukumannya di bawah 5 tahun penjara. Adapun untuk
menonaktifkan seorang gubernur ketika menyandang status terdakwa, pasal yang
dituduhkan harus menghukum di atas 5 tahun penjara. Karena itu, Menteri
Tjahjo perlu menunggu pasal mana yang dipakai jaksa nantinya saat menuntut.
Proses ini sedang berlangsung di pengadilan. Kalau proses ini dihormati atau
disepakati, seharusnya ada kesabaran untuk menunggu.
Karena
itu, sangat bijak apa yang disampaikan Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin, yang
menyebutkan aksi 313 tidak perlu dilakukan karena pemerintah sudah mendengar
tuntutan itu. Cuma Kiai Ma'ruf menyampaikan hal ini setelah bertemu dengan
Presiden Jokowi di Istana, dan ini memberi kesan pemerintah mengintervensi
lewat ulama. Padahal, Jokowi, lewat juru bicaranya, menyatakan menghormati
hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
Aksi
massa memang dilindungi konstitusi sebagai hak untuk menyampaikan pendapat.
Pertanyaannya, sampai kapan aksi itu akan punya akhir kalau kasusnya masih
berada dalam "proses" atau dalam tataran "perbedaan
pendapat" yang mempengaruhi kebijakan.
Ini
bukan perkara aksi ormas Islam semata. Berbagai aksi bertahan dalam hitungan
tahun tanpa henti. Aksi Kamisan sebagai bentuk perlawanan keluarga korban
pelanggaran hak asasi manusia sudah berusia 10 tahun. Patut dipuji semangat
para "pencari keadilan" itu, tapi bukankah apa yang dituntut itu
sudah didengar pemerintah dan diupayakan solusinya? Kalau mengacu pada ucapan
Kiai Ma’ruf, seharusnya aksi tak diperlukan lagi. Persoalannya, solusi
pemerintah tak memuaskan pengunjuk aksi. Ini yang rumit.
Aksi
petani Kendeng, yang menolak pabrik semen, sudah berusia tiga tahun. Bahkan,
seorang ibu meninggal di tengah perlawanan. Apakah tuntutan mereka tak
didengar? Tentu sudah. Namun Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga
mendengar suara yang lain, termasuk para pemerhati lingkungan yang
menyebutkan pabrik semen tak membuat kerusakan.
Inilah
yang disebut rwabhineda - baik dan
buruk berdampingan. Harus dicari yang mana lebih baik. Tidakkah itu bisa
dilakukan dengan dialog sambil minum wedang jahe? Kenapa harus lewat aksi
yang kadang membuat orang cemas? Diperlukan keseriusan dan hukum jadi
panglima.
Namun
aksi, sekali lagi, sah-sah saja. Ini namanya dinamika berbangsa. Ibarat
mengemudi mobil, kalau jalannya lurus kita bosan, perlu ada kelokan dan naik-turun.
Yang dijaga, mobil jangan terjun ke jurang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar