Percepatan
Pembangunan Manusia
Razali Ritonga ; Kapusdiklat BPS RI; Alumnus Georgetown University,
Amerika Serikat, jurusan
Kependudukan dan Ketenagakerjaan
|
MEDIA
INDONESIA, 07 April 2017
KOMITMEN pemerintahan Jokowi-JK untuk meningkatkan
kualitas hidup penduduk sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita ketiga kiranya
patut diapresiasi. Komitmen pemerintah itu, antara lain, tecermin dari
pemberlakuan kartu Indonesia sehat (KIS), kartu Indonesia pintar (KIP), dan
kartu keluarga sejahtera (KKS) yang diluncurkan Presiden Jokowi pada November
tahun lalu. Secara faktual, pemberlakuan ketiga kartu itu juga sejalan dengan
pembangunan manusia yang berdimensi kesehatan (melalui KIS), pengetahuan
(melalui KIP), dan daya beli (melalui KKS). Namun, upaya pemerintah itu
barangkali perlu ditingkatkan lagi, terutama dari sisi alokasi anggaran. Hal
itu mengingat pada tataran global, meski nilai indeks pembangunan manusia
Indonesia meningkat, dari sisi peringkat menurun bila dibandingkan dengan
tahun lalu.
Laporan terbaru UNDP (2016) menyebutkan pembangunan
manusia Indonesia berada di peringkat ke-113 dari 188 negara atau menurun
dari peringkat ke-110 pada tahun lalu. Nilai indeks pembangunan manusia di
Tanah Air memang meningkat dari 0,684 pada 2015 menjadi 0,689 pada 2016 atau
meningkat sebesar 0,005 poin. Namun, peningkatan nilai indeks itu masih kalah
cepat jika dibandingkan dengan kenaikan nilai indeks secara global sebesar
0,006 poin sehingga peringkat pembangunan manusia kita menurun. Sejatinya,
untuk meraih peringkat pembangunan manusia ke level yang lebih tinggi,
diperlukan upaya percepatan, antara lain dengan memperbesar anggaran
pembangunan manusia. Hal itu mengingat semakin besar anggaran yang dikucurkan
akan semakin berpotensi meningkatkan peringkat pembangunan manusia. Untuk
itu, pada APBN 2017, pemerintah berupaya mengalokasikan anggaran berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku, yakni 205 dari APBN untuk pendidikan dan
5% dari APBN untuk kesehatan. Tercatat, alokasi anggaran pendidikan pada 2017
sebesar Rp416 triliun dan alokasi anggaran kesehatan sebesar Rp104 triliun
(laman Kemenkeu/APBN 2017, 4/1).
Rasio PDB rendah
Namun, meski anggaran sudah mengacu pada peraturan
perundangan yang berlaku, dari sisi rasio terhadap produk domestik bruto
(PDB) belum cukup memadai. Hal itu diketahui dari rasio pengeluaran
pemerintah (government expenditure) untuk pendidikan dan pengeluaran publik
(public expenditure) untuk kesehatan terhadap PDB yang terbilang kecil jika
dibandingkan dengan rata-rata global. Rasio pengeluaran pendidikan terhadap
PDB di Tanah Air hanya sebesar 3,3%. Sementara itu, rasio pengeluaran
kesehatan terhadap PDB hanya sebesar 1,1%. Secara faktual, rasio pengeluaran
sebesar itu masih jauh di bawah rasio global yang besarnya untuk pendidikan
5,0% dan untuk kesehatan 6,0% terhadap PDB global (UNDP, 2017). Patut
dicermati, sejumlah negara meski dengan pendapatan per kapita lebih rendah
memiliki rasio pengeluaran terhadap PDB yang lebih besar sehingga mengalami
percepatan pembangunan manusia dengan peringkat yang lebih baik daripada kita,
misalnya Kuba (peringkat ke-68) dan Ukraina (ke-84). Kuba dengan pendapatan
per kapita sebesar US$7.455 memiliki rasio pengeluaran pendidikan terhadap
PDB sebesar 12,8% dan rasio pengeluaran kesehatan terhadap PDB sebesar 10,6%.
Sementara itu, Ukraina dengan pendapatan per kapita
sebesar US$8.189 memiliki rasio pengeluaran pendidikan terhadap PDB sebesar
6,7% dan rasio pengeluaran kesehatan terhadap PDB sebesar 3,6%. Pendapatan
per kapita di Indonesia tercatat sebesar US$10.053 (UNDP, 017). Bahkan, pembangunan
manusia bisa kian dipercepat jika disertai dengan partisipasi masyarakat,
seperti di Korea Selatan (Korsel). Diketahui, masyarakat di 'Negeri Ginseng'
itu sangat memperhatikan kualitas manusianya, khususnya pada aspek
pendidikan. Padahal, anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah negeri
itu terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang
lainnya, yakni rata-rata hanya sekitar 3% dari PDB mereka selama 1970-1990.
Namun, kecilnya alokasi dana pendidikan negara itu terkompensasi oleh
pendanaan dari masyarakat. Tercatat, misalnya, selama 1968-1990 lebih dari
63% total biaya penyelenggaraan pendidikan berasal dari orangtua murid
(Jong-wha Lee, Economic Growth and Human Development in the Republic of Korea
1945-1992, Occasional Paper 24). Kerja keras masyarakat
Korsel itu membuahkan hasil dengan peringkat pembangunan
manusia pada kelompok paling tinggi, yakni di peringkat ke-18 dari 188
negara. Selain tambahan anggaran, tata kelola dan sistem penyelenggaraan
pendidikan dan kesehatan barangkali juga perlu diperbaiki agar percepatan
pembangunan manusia dapat terwujud. Tiongkok, misalnya, meski dengan populasi
terbesar di dunia, mampu menyelenggarakan pembangunan pendidikan dan
kesehatan yang memadai, terbukti dari perkembangan pembangunan manusia di
negeri itu yang tergolong cepat sejak 1990. Padahal, nilai indeks pembangunan
manusia 'Negeri Tirai Bambu' itu pada awal laporan pembangunan manusia UNDP
1990 masih lebih rendah daripada kita, yaitu sebesar 0,499, sedangkan nilai
indeks kita pada waktu itu sebesar 0,528. Namun, kini pada 2016 nilai indeks
pembangunan manusia Tiongkok sebesar 0,738 dan berada di peringkat ke-90 dari
188 negara.
Sebenarnya, kita pernah mengalami perkembangan nilai
indeks pembangunan manusia yang tergolong cepat, yakni pada periode 1990-2000
dengan rata-rata perkembangan nilai indeks sebesar 1,36% per tahun. Namun,
pada periode 2000-2010 rata-rata perkembangan nilai indeksnya mengalami
penurunan menjadi rata-rata sebesar 0,92% per tahun, lalu terus menurun menjadi
rata-rata sebesar 0,78% per tahun pada periode 2010-2015 (UNDP, 2017). Hal
itu sekaligus mengisyaratkan bahwa untuk mempercepat kenaikan pembangunan
manusia kita perlu berupaya keras agar mencapai kenaikan minimal seperti
periode 1990-2000. Maka, dengan mencermati turunnya peringkat pembangunan
manusia kita pada tataran global, dan kini masih berada di tingkat menengah,
sangat diharapkan munculnya kebangkitan besama; pemerintah dan masyarakat
untuk berupaya keras mengatasi ketertinggalan agar sejajar dengan negara lain
yang telah mengalami kemajuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar