Sabtu, 08 April 2017

Percepatan Pembangunan Manusia

Percepatan Pembangunan Manusia
Razali Ritonga  ;   Kapusdiklat BPS RI;  Alumnus Georgetown University,
Amerika Serikat, jurusan Kependudukan dan Ketenagakerjaan
                                              MEDIA INDONESIA, 07 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KOMITMEN pemerintahan Jokowi-JK untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita ketiga kiranya patut diapresiasi. Komitmen pemerintah itu, antara lain, tecermin dari pemberlakuan kartu Indonesia sehat (KIS), kartu Indonesia pintar (KIP), dan kartu keluarga sejahtera (KKS) yang diluncurkan Presiden Jokowi pada November tahun lalu. Secara faktual, pemberlakuan ketiga kartu itu juga sejalan dengan pembangunan manusia yang berdimensi kesehatan (melalui KIS), pengetahuan (melalui KIP), dan daya beli (melalui KKS). Namun, upaya pemerintah itu barangkali perlu ditingkatkan lagi, terutama dari sisi alokasi anggaran. Hal itu mengingat pada tataran global, meski nilai indeks pembangunan manusia Indonesia meningkat, dari sisi peringkat menurun bila dibandingkan dengan tahun lalu.

Laporan terbaru UNDP (2016) menyebutkan pembangunan manusia Indonesia berada di peringkat ke-113 dari 188 negara atau menurun dari peringkat ke-110 pada tahun lalu. Nilai indeks pembangunan manusia di Tanah Air memang meningkat dari 0,684 pada 2015 menjadi 0,689 pada 2016 atau meningkat sebesar 0,005 poin. Namun, peningkatan nilai indeks itu masih kalah cepat jika dibandingkan dengan kenaikan nilai indeks secara global sebesar 0,006 poin sehingga peringkat pembangunan manusia kita menurun. Sejatinya, untuk meraih peringkat pembangunan manusia ke level yang lebih tinggi, diperlukan upaya percepatan, antara lain dengan memperbesar anggaran pembangunan manusia. Hal itu mengingat semakin besar anggaran yang dikucurkan akan semakin berpotensi meningkatkan peringkat pembangunan manusia. Untuk itu, pada APBN 2017, pemerintah berupaya mengalokasikan anggaran berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yakni 205 dari APBN untuk pendidikan dan 5% dari APBN untuk kesehatan. Tercatat, alokasi anggaran pendidikan pada 2017 sebesar Rp416 triliun dan alokasi anggaran kesehatan sebesar Rp104 triliun (laman Kemenkeu/APBN 2017, 4/1).

Rasio PDB rendah

Namun, meski anggaran sudah mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, dari sisi rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) belum cukup memadai. Hal itu diketahui dari rasio pengeluaran pemerintah (government expenditure) untuk pendidikan dan pengeluaran publik (public expenditure) untuk kesehatan terhadap PDB yang terbilang kecil jika dibandingkan dengan rata-rata global. Rasio pengeluaran pendidikan terhadap PDB di Tanah Air hanya sebesar 3,3%. Sementara itu, rasio pengeluaran kesehatan terhadap PDB hanya sebesar 1,1%. Secara faktual, rasio pengeluaran sebesar itu masih jauh di bawah rasio global yang besarnya untuk pendidikan 5,0% dan untuk kesehatan 6,0% terhadap PDB global (UNDP, 2017). Patut dicermati, sejumlah negara meski dengan pendapatan per kapita lebih rendah memiliki rasio pengeluaran terhadap PDB yang lebih besar sehingga mengalami percepatan pembangunan manusia dengan peringkat yang lebih baik daripada kita, misalnya Kuba (peringkat ke-68) dan Ukraina (ke-84). Kuba dengan pendapatan per kapita sebesar US$7.455 memiliki rasio pengeluaran pendidikan terhadap PDB sebesar 12,8% dan rasio pengeluaran kesehatan terhadap PDB sebesar 10,6%.

Sementara itu, Ukraina dengan pendapatan per kapita sebesar US$8.189 memiliki rasio pengeluaran pendidikan terhadap PDB sebesar 6,7% dan rasio pengeluaran kesehatan terhadap PDB sebesar 3,6%. Pendapatan per kapita di Indonesia tercatat sebesar US$10.053 (UNDP, 017). Bahkan, pembangunan manusia bisa kian dipercepat jika disertai dengan partisipasi masyarakat, seperti di Korea Selatan (Korsel). Diketahui, masyarakat di 'Negeri Ginseng' itu sangat memperhatikan kualitas manusianya, khususnya pada aspek pendidikan. Padahal, anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah negeri itu terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, yakni rata-rata hanya sekitar 3% dari PDB mereka selama 1970-1990. Namun, kecilnya alokasi dana pendidikan negara itu terkompensasi oleh pendanaan dari masyarakat. Tercatat, misalnya, selama 1968-1990 lebih dari 63% total biaya penyelenggaraan pendidikan berasal dari orangtua murid (Jong-wha Lee, Economic Growth and Human Development in the Republic of Korea 1945-1992, Occasional Paper 24). Kerja keras masyarakat

Korsel itu membuahkan hasil dengan peringkat pembangunan manusia pada kelompok paling tinggi, yakni di peringkat ke-18 dari 188 negara. Selain tambahan anggaran, tata kelola dan sistem penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan barangkali juga perlu diperbaiki agar percepatan pembangunan manusia dapat terwujud. Tiongkok, misalnya, meski dengan populasi terbesar di dunia, mampu menyelenggarakan pembangunan pendidikan dan kesehatan yang memadai, terbukti dari perkembangan pembangunan manusia di negeri itu yang tergolong cepat sejak 1990. Padahal, nilai indeks pembangunan manusia 'Negeri Tirai Bambu' itu pada awal laporan pembangunan manusia UNDP 1990 masih lebih rendah daripada kita, yaitu sebesar 0,499, sedangkan nilai indeks kita pada waktu itu sebesar 0,528. Namun, kini pada 2016 nilai indeks pembangunan manusia Tiongkok sebesar 0,738 dan berada di peringkat ke-90 dari 188 negara.

Sebenarnya, kita pernah mengalami perkembangan nilai indeks pembangunan manusia yang tergolong cepat, yakni pada periode 1990-2000 dengan rata-rata perkembangan nilai indeks sebesar 1,36% per tahun. Namun, pada periode 2000-2010 rata-rata perkembangan nilai indeksnya mengalami penurunan menjadi rata-rata sebesar 0,92% per tahun, lalu terus menurun menjadi rata-rata sebesar 0,78% per tahun pada periode 2010-2015 (UNDP, 2017). Hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa untuk mempercepat kenaikan pembangunan manusia kita perlu berupaya keras agar mencapai kenaikan minimal seperti periode 1990-2000. Maka, dengan mencermati turunnya peringkat pembangunan manusia kita pada tataran global, dan kini masih berada di tingkat menengah, sangat diharapkan munculnya kebangkitan besama; pemerintah dan masyarakat untuk berupaya keras mengatasi ketertinggalan agar sejajar dengan negara lain yang telah mengalami kemajuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar