Mewaspadai
Kredit Bermasalah
J Soedradjad Djiwandono ; Guru Besar Emeritus Universitas Indonesia,
Profesor Ekonomi Internasional S Rajaratnam School of International Studies,
Nanyang Technological University
|
KOMPAS, 07 April 2017
Laporan sebuah majalah mengungkapkan indikasi meningkatnya
kredit bermasalah perbankan (nonperforming loan/NPL) nasional. Mengacu kepada
laporan Otoritas Jasa Keuangan terakhir, NPL meningkat dar 2,7 persen tahun
2015 menjadi 3,1 persen tahun 2016.
Secara teknis ada klasifikasi NPL, dibedakan menurut
lamanya tidak terjadi pembayaran angsuran sampai benar-benar tidak dibayar
atau macet. Angka NPL di atas adalah angka NPL kotor (gross), artinya
penjumlahan semua kredit perbankan yang bermasalah terhadap nilai keseluruhan
kredit perbankan. Angka NPL tahun 2016 adalah 3,1 persen dari keseluruhan
kredit perbankan, yang pada bulan Januari 2017 berjumlah sekitar Rp 4,313
triliun. Dengan demikian, NPL kredit perbankan pada awal 2017 mencapai jumlah
mendekati Rp 134 triliun.
Lebih jauh disebutkan kredit perbankan bermasalah,
terutama terjadi di sektor komoditas, yakni pertambangan-terutama
batubara-setelah berakhirnya boom komoditas pada tahun 2015 dan di sektor
infrastruktur. Kredit macet di sektor infrastruktur mendapat sorotan khusus
karena program-program pemerintahan Presiden Joko Widodo yang sangat
mendorong pembangunan infrastruktur. Angka NPL sektor infrastruktur lebih
tinggi dari rata-rata, yakni 4,51 persen di bulan Januari 2017 meskipun untuk
pertambangan lebih tinggi lagi, 6,29 persen.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah pada 2016 enam dari
sepuluh bank terbesar mengalami peningkatan NPL dan hampir semua bankir
mengatakan NPL adalah salah satu tantangan terbesar bagi perbankan Indonesia,
selain pertumbuhan ekonomi-perdagangan dan sumber pendanaan. Apakah tingkat
NPL kredit perbankan sebesar 3,1 persen ini perlu diwaspadai, dalam arti
membahayakan kestabilan ekonomi nasional? Apa yang menyebabkannya dan apa
yang perlu diwaspadai agar tidak berkembang menjadi sumber ketidakstabilan
apalagi krisis?
Perlu kehati-hatian
Mungkin banyak yang berpendapat bahwa meskipun terjadi
kenaikan NPL, angka 3,1 persen itu kecil dan tak perlu dikhawatirkan. Dari
segi otoritas, biasanya untuk para pejabat yang mengelola sektor riil sasaran
utamanya adalah pertumbuhan dan apa saja yang menunjang pertumbuhan itu,
termasuk pembiayaannya. Itu hal yang harus diutamakan, sementara risiko
dipikirkan belakangan.
Pembiayaan di sini tentu termasuk melalui pinjaman
perbankan. Dalam pendekatan ekonomi, pembiayaan melalui kredit perbankan itu
sehat dan dapat dipertanggungjawabkan. Tingkat pinjaman Indonesia sendiri
relatif masih rendah dibandingkan dengan banyak negara lain di dunia. Rasio
pinjaman nasional (pemerintah atau swasta atau keduanya) terhadap produk
domestik bruto (PDB) pada 2014 tercatat 88 persen. Dibandingkan dengan banyak
negara yang rasio leveraging-nya jauh lebih besar daripada 100 persen tentu
angka tersebut menimbulkan rasa aman.
Mungkin juga banyak yang senang mendengar pendapat Prof
Robert F Engel, peraih Nobel Ekonomi tahun 2003 yang pada Februari lalu
berceramah di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Engel, seperti dikutip
di media massa, berpendapat bahwa perbankan Indonesia terlalu hati-hati dalam
pemberian kredit, padahal kondisi kapitalnya sangat bagus. Ia berpandangan,
seharusnya perbankan Indonesia lebih banyak memberikan kredit untuk mendorong
pertumbuhan.
Sebagai orang yang sampai sekarang masih harus menghadapi
kritik terhadap penanganan moneter perbankan saat Indonesia mengalami krisis
keuangan-perbankan tahun 1997, saya tentu berpihak kepada pesan untuk
mewaspadai NPL. Karena itu, saya juga kurang sependapat dengan komentar Prof
Engel dalam ceramahnya di Atma Jaya tersebut.
Membandingkan pengalaman Indonesia dari dua krisis
keuangan terakhir- krisis keuangan Asia 1997/1998 dan krisis keuangan dunia
2008/2009-merupakan pelajaran berharga yang sebaiknya kita pegang menghadapi
masa depan yang melukiskan sikap atas permasalahan di atas.
Krisis keuangan Asia telah mengubah Indonesia yang
sebelumnya menjadi bagian dari apa yang oleh Bank Dunia- dalam laporannya di
awal 1990-an-disebut sebagai "keajaiban Asia", menjadi negara yang
ekonominya paling terpuruk (basket case). Bahkan, krisis itu berakibat pada
lengsernya Presiden Soeharto.
Akan tetapi, seperti ekonomi berkembang Asia yang lain,
Indonesia mampu belajar dari pengalaman masa lalu meski dengan jalan yang tak
mulus. Salah satu buktinya adalah waktu menghadapi dampak krisis keuangan
dunia 2008 Indonesia tidak hanya selamat dari krisis, tetapi juga cepat
kembali tumbuh dan berkembang meski dengan laju lebih rendah di era resesi
berkepanjangan (Great Recession) sampai dewasa ini-era pemulihan yang lamban
sebagai era normal baru (new normal).
Sebagai orang yang mempelajari permasalahan krisis
keuangan, saya juga membedakan epicentre dan periphery dari krisis keuangan.
Ibarat suatu gempa bumi atau tsunami, kerusakan yang terjadi pada episentrum
selalu lebih berat daripada periferi. Krisis finansial Asia memang berasal
dan berkembang di Asia, episentrumnya di Asia, malah Indonesia salah satunya.
Sementara dalam krisis finansial global, episentrumnya di AS dan Eropa, semua
perekonomian Asia, termasuk Indonesia, ada di periferi. Karena itu, betapapun
besarnya kekuatan krisis finansial global dalam menimbulkan kerusakan, tetap
saja tidak sebesar kerusakan di episentrum.
Catatan di atas tidak memperkecil arti segala upaya para
pemangku kepentingan yang membuktikan ketangguhan daya tahan dan kemampuan
penyesuaian ekonomi Asia, termasuk ekonomi Indonesia, dalam menghadapi
gejolak dan krisis keuangan global. Kesehatan sektor keuangan perbankan jelas
tampak pada data dan informasi tentang kapitalisasi perbankan dengar tingkat
kecukupan modal yang jauh lebih tinggi dari yang dipersyaratkan (rata-rata di
atas 20 persen), sumber pendanaan yang jauh lebih kokoh dari besarnya
deposito, bukan pinjaman antarbank, keterpaparan yang lebih bagus terhadap
risiko mismatch jatuh tempo dan kurs, kegiatan lindung nilai dan perbaikan
tata kelola perbankan secara umumnya, termasuk dalam kepatuhan (compliance)
terhadap ketentuan prudensial.
Rasio pinjaman
Di pihak otoritas-dengan ditinggalkannya sistem kurs yang
dipatok ke dollar AS menjadi fleksibel, independensi bank sentral, cadangan
devisa yang menumpuk, dan sistem pengawasan industri keuangan yang lebih
mantap dengan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan protokol penanganan
kondisi krisis keuangan-semua itu menjelaskan kuatnya ketahanan keuangan
perbankan menghadapi ketidakpastian keuangan dan moneter dunia.
Semua pemangku kepentingan keuangan-perbankan Indonesia
seperti negara-negara Asia yang lain telah belajar dari pengalaman krisis
keuangan Asia yang menyesakkan itu dalam gambaran sangat singkat saya ini.
Semua ini menjelaskan mengapa sektor keuangan-perbankan Indonesia jauh lebih
kuat pada waktu krisis keuangan global melanda perekonomian nasional,
termasuk adanya ketidakpastian yang meningkat dewasa ini. Semua itu tentu
merupakan keberhasilan sektor keuangan-perbankan dan pemangku kepentingan,
baik industri perbankan maupun otoritasnya. Sayangnya masyarakat sering
kurang menghargai, bahkan sering ada klaim kurang proporsional dari pemangku
kepentingan juga.
Akan tetapi, apa kaitan antara narasi di atas dan pokok
permasalahan yang diangkat di sini, meningkatnya NPL pinjaman perbankan.
Besarnya NPL tentu berkaitan erat dengan besar dan meningkatnya pinjaman
perbankan dalam perekonomian, bagaimana penentuan pemberian pinjaman dan
bagaimana kondisi perekonomian yang berjalan.
Besarnya pinjaman masyarakat atau pemerintah biasanya
kemudian menuntun pada besarnya NPL ketika kondisi perekonomian berubah
menjadi memburuk. Namun, NPL bisa hilang dengan sendirinya jika perekonomian
kembali tumbuh, berkembang bagus. Akan tetapi, kadang kala dapat memburuk
bahkan berkembang menjadi krisis keuangan.
Di sinilah titik singgung permasalahan yang ingin saya
beri penekanan. Di satu pihak, tak salah mengatakan NPL 3,1 persen masih
belum merupakan suatu tanda bahaya. Akan tetapi, kurang memperhatikan dan
abai, tidak mau mencari tahu apakah benar ini boleh dianggap sepi atau
sebaliknya, tentu bukan sikap bijaksana dalam alam serba tidak pasti yang
senantiasa meningkat di dunia dan dalam perekonomian kita sendiri dewasa ini.
Yang lebih pasti adalah studi tentang krisis finansial
yang terus-menerus berkembang di seluruh dunia akhir-akhir ini semakin
mengerucut kepada pengakuan bahwa besarnya pinjaman dalam suatu perekonomian
atau leveraging-yang diukur dengan rasio pinjaman terhadap PDB-sangat
menentukan tingkat ketidakstabilan (vulnerabilities) suatu perekonomian di
kemudian hari. Suatu perekonomian yang tingkat leveraging-nya tinggi, pada
waktu dilanda krisis akan menderita berat dan waktu pemulihannya berjalan
lamban dibandingkan dengan yang pinjamannya kecil.
Ajakan mewaspadai kecenderungan meningkatnya rasio NPL
perlu ditujukan kepada pemerintah, otoritas moneter dan regulator, serta
pengawasan lembaga keuangan, industri keuangan-perbankan, dan dunia usaha.
Saya meletakannya dalam konteks yang lebih luas untuk
mewaspadai tingkat leveraging, besarnya rasio pinjaman nasional dengan PDB.
Berbagai indikator menunjukkan pinjaman jangka pendek korporasi akhir-akhir
ini meningkat terus. Kita harus mengakui pelajaran masa lalu yang saya
gambarkan sepintas sebelumnya dan menerjemahkannya sebagai semacam adagium
bahwa semua itu ada batasnya, termasuk tingkat leveraging. Semua harus
belajar membaca tanda-tanda yang ada sekecil apa pun. Sinyal yang meskipun
belum merupakan lampu kuning tentang meningkatnya NPL adalah salah satu tanda
tadi yang perlu diperhatikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar