Membedah
Akar Masalah DPD
Wiwin Suwandi ; Pegiat Antikorupsi dan Tata Negara
|
MEDIA
INDONESIA, 07 April 2017
SISTEM Ketatanegaraan kita sedang mengalami ujian hebat.
Satu per satu lembaga negara produk reformasi mengalami gejolak internal.
Pertama Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara yang dijuluki 'pengawal
konstitusi' (the guardian of constitution) itu diterpa skandal korupsi
bertubi-tubi yang melibatkan hakim konstitusi dan panitera. Kedua, Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga yang dibentuk untuk menyuarakan aspirasi
daerah itu kini di ujung tanduk. Perkelahian jalanan dalam perebutan jabatan
pimpinan di antara seteru dua kubu melengkapi cerita pilu skandal korupsi
yang melibatkan Ketua DPD Irman Gusman beberapa waktu lalu. Mahkamah Agung
(MA) melengkapi kekisruhan DPD dengan ikut melantik Ketua DPD Oesman Sapta,
bertolak belakang dengan isi putusan uji materi tatib DPD yang membatalkan
masa jabatan pimpinan DPD 2,6 tahun.
Problem dasar
Membedah persoalan DPD harus dimulai dari akar masalahnya,
UUD 1945. Meski lahir dari rezim reformasi melalui amendemen ketiga UUD 1945
pada 2002, konstitusi pascaamendemen setengah hati memberikan wewenang kepada
DPD dalam upaya mendorong strong bicameralism. Pertama dari konstruksi jumlah
keanggotaan DPD-DPR. Konstitusi membatasi jumlah keanggotaan DPD secara sama
setiap provinsi (Pasal 22C ayat (2). Ini berbeda dengan Amerika Serikat yang
membagi keanggotaan senat berdasarkan prinsip proporsionalitas (jumlah
penduduk). California sebagai negara bagian terbesar di AS memiliki jumlah
anggota senat terbanyak dari negara bagian lain. Diskriminasi konstitusi itu
berkorelasi dengan syarat jumlah keanggotaan DPD yang tidak boleh melebihi
sepertiga jumlah anggota DPR, 560 anggota DPR berbanding 132 anggota DPD.
Kondisi itu sangat menyulitkan DPD dalam membangun
bargaining setara dengan saudara tuanya, DPR. Kedua, tidak seperti DPR yang
fungsinya tegas dan jelas disebut dalam konstitusi, konstitusi pascaamendemen
tidak menyebut DPD memiliki fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran,
sebagaimana fungsi yang melekat pada umumnya lembaga legislatif. Hal ini juga
melemahkan posisi DPD dalam membangun bargaining seimbang dengan DPR.
Membedah konstitusi pascaamendemen dan UU MD3 No 17/2014, dari 3 fungsi
legislatif yang umumnya melekat, DPD hanya menjalankan 2 fungsi; legislasi
dan pengawasan, itu pun tidak utuh. Legislasi hanya terkait dengan RUU
kedaerahan, termasuk pengawasan. Bahkan, fungsi anggaran tidak dimiliki DPD.
Anggaran DPD yang tertera di APBN diusulkan dan ditentukan DPR melalui
Banggar.
Cacat konstitusi ini dilengkapi dengan problem lain yang
juga berantai. Meski putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengembalikan
fungsi konstitusional DPD melalui permohonan uji materi UU MD3, DPR masih
setengah hati menindaklanjuti dengan merevisi UU MD3. Pembangkangan DPR
terhadap putusan MK itu semakin melengkapi krisis kewenangan DPD. Kondisi
demikian membuat tafsir bicameralism menjadi rancu. DPR seakan memegang kuasa
tunggal fungsi legislatif, DPD hanya menjadi 'badan pelengkap'. Cacat
konstitusi ini kemudian diikuti cacat materiil dalam UU MD3. UU MD3 tidak
tegas menyebut larangan anggota DPD berasal dari partai politik (parpol).
Membaca alam pikiran perumus konstitusi pascamendemen yang tertera dalam
risalah, desain DPD memang dijauhkan dari kooptasi parpol.
Problemnya karena konstitusi pascamendemen tidak tegas
menyebut itu. Akibatnya, desain UU MD3 juga membuka ruang bagi masuknya kader
parpol dalam keanggotaan DPD. Kekisruhan rebutan jabatan pimpinan DPD
merupakan akumulasi dari problem itu. Parpol berebut sumber daya politik
melalui jabatan pimpinan DPD. Tidak sulit menelusuri alasan di balik itu,
'okupasi' parpol terhadap DPD merupakan bentuk rebutan sumber daya politik
menuju Pemilu 2019. Parpol membutuhkan DPD sebagai alat kepentingan mendulang
suara pada Pemilu 2019. Rahim kekisruhan itu bermula dari libido kuasa
anggota DPD yang mengamputasi masa kepemimpinan; dari sebelumnya 5 tahun
menjadi hanya 2,6 tahun (Tatib DPD No 1/2017). Kepemimpinan 2,6 tahun hanya
menyiasati politik bagi-bagi kursi yang jauh dari fungsi konstitusional DPD,
menyuarakan aspirasi daerah. Rakyat menilai pertikaian ini sama dengan
konflik perebutan kursi kepemimpinan DPR dalam revisi UU MD3 beberapa waktu
lalu. Tampaknya penyakit DPR juga merambah ke DPD. Isu kepemimpinan DPD dalam
UU MD3 juga menyimpan cacat materiil.
Pasal 260 UU MD3 terkait dengan pimpinan DPD kering basis
filosofi keterwakilan daerah sebagai roh pembentukan DPD. Isu kepemimpinan
hanya memuat hal-hal seremonial seperti jumlah pimpinan DPD. Padahal, isu
yang didorong seharusnya 'keterwakilan wilayah', bukan soal masa jabatan.
Kepemimpinan DPD berasal dari keterwakilan wilayah (prinsip
proporsionalitas); Barat, Timur, Tengah. Jadi tiga pemimpin DPD dalam UU MD3
berasal dari tiga wilayah itu. Isu keterwakilan wilayah dipandang selaras
dengan konteks negara kesatuan dan negara kepulauan. Tugas mereka ialah
mengakomodasi berbagai isu kedaerahan yang akan dibahas dan diputuskan
bersama DPR (sesuai dengan putusan MK). Hal-hal seperti ini kurang mendapat
perhatian para senator itu. Mempersolkan masa jabatan pimpinan, di tengah
persoalan lain menyangkut isu kedaerahan yang lebih penting, menunjukkan
dangkalnya kualitas kenegarawanan DPD.
Mendorong penguatan
Konflik di tubuh DPD harus segera diselesaikan. Cara
penyelesaian tidak bisa secara parsial seperti perkelahian memperebutkan
kursi pimpinan. Basic paradigm DPD harus dikembalikan pada fitrahnya bahwa
mereka dipilih untuk menyalurkan aspirasi daerah, bahwa mereka harus menjadi
kamar penyeimbang dalam gagasan mendorong strong bicameralism. Anggota DPD
harus menyatukan energi untuk menekan DPR agar mematuhi putusan MK yang
menguatkan fungsi konstitusional DPD. Putusan itu harus dipatuhi DPR agar
segera merevisi UU MD3 dengan memberikan wewenang kepada DPD secara
berimbang, selain mendorong penguatan DPD secara konstitusional dalam wacana
amendemen kelima UUD 1945. Tidak melaksanakan putusan berarti pembangkangan
terbuka DPR terhadap hukum. Pembangkangan terhadap hukum merupakan kejahatan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar