Senin, 03 April 2017

Mengoptimalkan Ruang Perjumpaan

Mengoptimalkan Ruang Perjumpaan
Anggi Afriansyah  ;   Dosen Peneliti Sosiologi Pendidikan
di Puslit Kependudukan LIPI
                                              MEDIA INDONESIA, 01 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEJUMLAH tokoh, mulai aktivis pendidikan, aktivis HAM, hingga akademisi menyuarakan kegelisahan terhadap munculnya gejala intoleransi pada anak-anak sekolah dasar. Riset dari Human Rights Working Group menunjukkan kecenderungan menguatnya intoleransi di kalangan pelajar dan anak muda (Media Indonesia, Rabu 29/3). Anak-anak memang sasaran yang paling strategis bagi internalisasi beragam nilai. Di usia yang masih belia, orangtua dan gurulah pihak yang paling dominan memengaruhi cara pandang mereka tentang beragam hal. Mereka lebih mudah dibujuk dan digerakkan untuk melakukan beragam perintah. Alih-alih dididik menjadi pribadi inklusif, mereka dididik menjadi pribadi eksklusif. Ini tentu berbahaya sebab ketidakmauan dan ketidakmampuan bergaul dengan beragam kelompok yang berbeda akan berdampak pada mereka menjalin relasi sosial.

Kecenderungan mereka untuk berlaku intoleran pun semakin besar. Negara 'semua untuk semua' seperti yang diungkap Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 silam akan semakin sulit dicapai jika sejak kecil anak-anak sudah dipengaruhi untuk alergi terhadap perbedaan. Apalagi, jika setiap kelompok sibuk mentransmisi nilai eksklusif secara masif kepada anak-anak mereka dan melupakan konstruksi keberagaman dan kebinekaan. Berbeda pilihan politik, tempat pengajian, preferensi tokoh agama bisa menjadi celah konfrontasi panjang perdebatan tanpa akhir. Berbeda seolah sebuah persoalan besar. Jurang perbedaan tersebut semakin kentara di media sosial. Debat dan pertarungan wacana tak terhindarkan. Tentu hal tersebut wajar saja. Yang merepotkan ialah ketika pertarungan di jagat maya terbawa di jagat nyata. Kebencian yang disebar di media sosial kemudian di panen di dunia nyata.

Maraknya informasi hoax semakin memperkeruh suasana. Survei yang dilakukan Masyarakat Telematika Indonesia menyebutkan 92% informasi hoax menyebar di Facebook, Twitter, Instagram, dan Path. Aplikasi-aplikasi media sosial itu sangat akrab digunakan anak-anak muda. Amat mungkin mereka pun mendapatkan beragam berita hoax yang disebar melalui media sosial. Informasi hoax itu diproduksi dan didistribusi secara gencar oleh para pembuatnya demi beragam kepentingan. Di tengah buruknya semangat membaca secara cermat, informasi hoax dengan mudah menemukan mangsa. Jika tak waspada, anak-anak muda merupakan sasaran empuk dari informasi hoax ini. Jika guru ataupun orangtua tak memberikan pemahaman yang mumpuni mengenai penggunaan media sosial, niscaya anak akan mudah teragitasi pada informasi hoax tersebut. Harus ada early warning system yang ditanamkan guru dan orangtua kepada anak-anak didik agar mereka tak mudah terbius dan menjadi bagian pendistribusi informasi hoax.

Perbanyak ruang perjumpaan

Mengapa perbedaan membuat kita mudah bertengkar dan saling membenci? Salah satu jawaban yang bisa diajukan ialah ruang perjumpaan kita dengan kelompok yang berbeda masih sangat minim. Tanpa perjumpaan yang intensif dengan beragam pihak yang berbeda agama, kelas sosial, maupun budaya, niscaya api kebencian akan lebih mudah disulut. Sangatlah tepat jika salah satu agenda prioritas Jokowi-JK yang termaktub dalam Nawa Cita ialah memperteguh kebinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebinekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga. Berita dari Purwakarta dapat menjadi salah satu angin segar dan patut dicontoh. Di beberapa media massa baik cetak maupun daring diberitakan seribuan siswa sekolah di Purwakarta menggelar botram atau makan bersama di Bale Paseban Pemerintah Kabupaten Purwakarta, Senin (27/3), dalam rangka perayaan Nyepi.

Selayaknya kegiatan botram yang biasa dilakukan masyarakat Sunda, pada momen tersebut para siswa menikmati beragam santapan, saling berkumpul, dan berbagi keceriaan. Kegiatan ini memang terlihat sederhana, perjumpaan secara langsung yang diisi dengan makan bersama. Namun, perjumpaan itu menjadi pintu masuk untuk kegiatan lain yang lebih konstruktif. Pada tahapan selanjutnya, perjumpaan dapat dijadikan medium pertukaran gagasan. Oleh karena itu, perjumpaan dengan pemeluk agama, etnik, maupun kelompok politik, menjadi penting dilakukan secara reguler. Lembaga pendidikan dapat menjadi inisiator dalam menggagas ruang perjumpaan itu. Bagi siswa, itu pembelajaran penting untuk proses pendewasaan diri. Perjumpaan siswa dengan beragam kelompok akan menjadikan mereka sosok yang lebih luwes dalam bergaul, memiliki kekayaan perspektif, mengikis kecurigaan. Pada akhirnya memperkuat persatuan. Karena seringnya bertautan dengan kelompok yang berbeda, kolaborasi kebaikan pun akan semakin mudah dilakukan.

Acara-acara yang mempertemukan siswa dari beragam identitas menjadi semakin urgen dilakukan. Kegiatan olahraga, seni budaya, dan musik merupakan ruang perjumpaan yang perlu dioptimalkan. Pada praktiknya, perjumpaan dengan lintas agama, etnis, maupun kelas sosial memang lebih memungkinkan terjadi di sekolah-sekolah negeri. Halev (2003) mengungkap siswa di sekolah negeri mendapat lebih banyak kesempatan untuk belajar bekerja sama, berkompromi, berdialog, dan mendapatkan pandangan-pandangan berbeda dari teman-temannya yang beragam. Kondisi yang sangat baik bagi pembentukan warga negara di negara yang beragam. Khusus untuk sekolah dengan basis keagamaan, acara-acara yang mempertemukan para siswa dengan beragam kelompok sangat penting dilakukan. Sebab, internalisasi untuk menguatkan keberagaman tak bisa berhenti pada ceramah-ceramah semata.

Praktik-praktik melalui perjumpaan-perjumpaan lintas budaya, agama, maupun kelas sosial secara langsunglah yang akan dikenang oleh siswa hingga mereka dewasa. Membiasakan siswa untuk respek terhadap mereka yang berbeda ialah upaya yang harus dikuatkan terus menerus oleh guru. Bahwa kebanggaan terhadap agama masing-masing bukan berarti menegasikan dan merendahkan keyakinan orang lain. Guru punya peran vital dalam mendesiminasikan pentingnya penghargaan terhadap kelompok yang berbeda Anak-anak harus diberikan keleluasaan perspektif. Agar mereka tak picik dalam memandang hidup, mereka harus dikenalkan pada realitas kebangsaan. Indonesia yang binneka hanya dapat dirawat anak-anak yang mencintai bangsa ini sepenuh hati. Mereka yang insaf bahwa Indonesia yang beragam harus tetap lestari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar