Negarawan
dan Politikus
Kwik Kian Gie ; Pengamat Ekonomi dan Politik
|
KOMPAS, 03 April 2017
Pada umumnya, semua orang yang pekerjaannya
penyelenggaraan negara dan yang jenjangnya di atas birokrasi disebut
"politikus". Politikus adalah nama generik atau istilah umum yang
mempunyai banyak karakter. Karakter itu bisa dibedakan antara yang dinamakan
"negarawan", "political
animal", dan "political idiot".
Negarawan berkecimpung dalam dunia penyelenggaraan negara,
yang merupakan arena dengan peserta atau pemain yang bagian terbesarnya
adalah binatang politik (poltical animal). Apa yang membedakan negarawan
dengan political animal ?
Negarawan, binatang politik, idiot
politik
Negarawan adalah orang yang tujuannya murni ingin menyejahterakan rakyatnya secara
berkeadilan. Kita dapat mengenali sosok negarawan sejak muda. Sadar atau tak
sadar, para calon negarawan sejak muda sudah sangat peduli dengan
lingkungannya. Mereka sudah socially engaged; keterikatannya pada anggota
masyarakat lainnya sudah sangat kasat mata.
Ada yang keterkaitannya terbatas pada satu RT, satu RW,
satu kota. Akan tetapi, ada yang dengan seluruh bangsanya. Kalau kita
mempelajari sikap dan perilaku para pendiri bangsa kita, dalam zaman kolonial
mereka sudah merasakan bahwa bangsanya ditindas bangsa lain, bahwa kekayaan
alam yang diberikan Tuhan kepada bangsanya diisap bangsa lain. Pencuatan yang
pertama kalinya dari kepedulian sekelompok elite bangsa untuk seluruh
bangsanya adalah Sumpah Pemuda 1928.
Bangsa pengisap ini mempertahankan kedudukannya dengan
kekerasan. Walaupun demikian, para negarawan kita berani menyatakan sikap dan
pendapat melawan dan ingin menumbangkan penjajahnya. Karuan saja, nasibnya
keluar-masuk penjara dan pembuangan. Dari waktu ke waktu bahkan diculik dan
dibunuh. Apa sikap mereka ketika dihadapkan pada kekerasan senjata yang
mengancam kebebasan dan jiwanya? Terus berjuang tanpa dibayar dan tanpa ada
konglomerat menyuapnya.
Namun, seorang negarawan dengan tujuan mulia ini
dihadapkan pada political animal yang menggunakan arena penyelenggaraan
negara untuk kepentingan diri sendiri, dengan prinsip tujuan menghalalkan
segala cara, sekotor apa pun. Maka biasanya, mereka munafik, pandai
mencitrakan diri sebagai orang hebat. Keterampilannya berorasi dan sok akrab
dengan bagian terbesar dari rakyatnya yang masih sangat miskin sangat
meyakinkan.
Buat rakyat yang pendidikannya kurang memadai, sosok
political animal seperti ini sangat impresif. Rakyat yakin betul mereka
memang akan menyejahterakan dirinya secara berkeadilan. Dalam demokrasi
sangat liberal yang liberalnya kebablasan, mereka ini kebanyakan menang dalam
pemilu yang asasnya adalah 50 persen plus satu. Terutama dalam era digital
dan hampir setiap orang punya ponsel, media sosial (medsos) sudah menjadi
sarana sangat ampuh buat mereka yang bisa memanfaatkannya. Penguasaan teknis
dalam bentuk keterampilan menggunakan peralatannya tidak sulit.
Yang sulit adalah pendanaan yang besar guna menyewa para
penulisnya. Mereka mengagungkan yang membayarnya bagaikan malaikat dan
merundung lawan-lawannya dengan dahsyat. Maka harus bermodal besar dan untuk
itu political animal dituntun oleh naluri animal-nya.
Ada political animal
yang sangat canggih, sophisticated, berpendidikan tinggi, gagah,
penampilannya diatur ahli busana, perilaku dan gerak geriknya diatur
konsultan semacam Joan Robert Powers. Bagi para intelektual, kuasi
intelektual, orang kaya, pendeknya apa yang dinamakan "elite
bangsa", political animal kelas ini sangat meyakinkan. Mereka sangat
sulit dikenali sebagai animal. Masyarakat papan atas pun bisa terkecoh.
Kalau rakyatnya sangat kurang pendidikannya, tim dari
konsultan politik, ahli busana dan ahli perilaku mengaturnya justru yang
gambarannya sebaliknya. Politisi ini harus digambarkan persis seperti rakyat
yang menjadi target perolehan suaranya. Pakaiannya dibuat seperti rakyat yang
masih sederhana, mengenakan kemeja yang sengaja dibuat agak kedodoran, lengan
panjang kemejanya digulung sedikit untuk menandakan yang bersangkutan pekerja
keras, makan bersama secara lesehan, mengunjungi rakyat jelata, mendengarkan
keluhannya, menggendong dan mengelus-elus bayi lusuh. Sebelumnya yang
bersangkutan tak pernah terlihat seperti ini.
Dengan penampilan dan perilaku demikian, rakyat yang akan
memberikan suaranya merasa sang calon adalah salah satu dari mereka. Dia
saudara, bukan ndoro. Rakyat jelata yang tak paham arti ideologi, arah
negara, visi, misi, dan jargon-jargon seperti itu biasanya miskin. Mereka
sangat bergembira jika diberi sesuatu sekadarnya, asalkan konkret. Lambat
laun para political animal menggunakan uang tunai, politik uang. Jika untuk
periode 2009-2014 seseorang baru bisa menjadi anggota DPR dengan biaya
rata-rata Rp 300 juta, dalam periode berikutnya, Pemilu 2014, biaya menjadi
rata-rata Rp 3 miliar.
Uang itu untuk membeli suara. Rakyat yang sangat awam
dalam asas-asas penyelenggaraan negara memberikan suaranya kepada mereka yang
bersedia membayar lebih mahal. Itulah sebabnya, DPR dipenuhi orang berduit
atau yang mendapat dukungan para hartawan. Para hartawan ini tentunya tidak
tanpa pamrih.
Bukan hanya anggota legislatif. Dalam domain eksekutif,
korupsi atau politik uang juga sangat marak. Kita saksikan betapa besar uang
yang harus dikeluarkan untuk bisa terpilih menjadi bupati, wali kota, dan
gubernur. Setelah terpilih, mereka harus mengembalikan uang yang dikeluarkan.
Jelas tak mungkin dari gajinya yang sah. Maka digunakanlah kekuasaan untuk
meraih sebanyak mungkin uang guna mengembalikan yang telah dikeluarkannya.
Banyak dari uang ini berasal dari pinjaman yang harus
dikembalikan dan mungkin dengan bunga. Kalau tanpa uang pinjaman, dana
diperoleh dari sponsor, yaitu orang, kelompok orang-orang kaya atau
perusahaan-perusahaan besar yang mendukung dengan dana besar, dengan tujuan
agar kalau sudah berkuasa, bisa didikte untuk kepentingannya.
Akhirnya, para pengusaha besar itu menjadi penyelenggara
negara pada jenjang yang tinggi dan tertinggi sehingga muncul julukan
golongan atau kelas "Peng-Peng", singkatan dari
"Penguasa-Pengusaha" (diciptakan Rizal Ramli).
Dengan gambaran demikian, apa lantas tak ada tempat sama
sekali buat negarawan? Ada, tetapi medannya sangat berat. Sang negarawan
harus cukup kuat untuk bertahan, tak merasa jijik sehingga menyingkir. Sang
negarawan juga harus bisa dan mampu menerapkan taktik, melakukan apa yang
dinamakan "manuver politik" dan "komunikasi politik",
mampu membiayai lembaga survei dan lebih banyak lagi. Buat political animal,
hal-hal itu dihalalkan untuk mencapai tujuan.
Namun, bagi negarawan, adalah strategi dan taktik untuk
tak terlempar dari arena oleh political animal. Maka, walaupun mereka
terlihat ikut-ikutan berperilaku sebagai political animal, negarawan tak
pernah kehilangan tujuannya yang mulia. Hanya tujuan yang mulia ini sering
kali tak tampak bagi sebagian besar masyarakat.
Sayang sekali dalam penyelenggaraan negara pada jenjang di
atas birokrasi atau dalam bidang politik berlaku hukum yang mengatakan
"bad leaders drive out good leaders". Kata-kata ini berasal dari
teori ekonomi moneter yang mengatakan "bad money drives out good
money". kebanyakan dari good leaders memilih menyingkir saja karena
merasa jijik, merasa berkubang dalam lumpur perpolitikan, yang juga disebut
pure politicking. Istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
konotasi cerdik, lihai, yaitu "manuver politik".
Political idiot
mirip dengan political animal, tetapi tak tahan terlampau lama. Sosok
ini gebrakannya mengejutkan. Popularitasnya melejit dalam waktu sangat
singkat. Demikian impresifnya sehingga keseluruhan rekam jejaknya yang sangat
tak lazim, justru dianggap hebat. Dalam bidang politik yang normalnya
gonta-ganti partai dianggap pengkhianatan, idiot yang lihai atau ligiat, gonta-ganti partai
dianggap hebat. Parpol yang mana pun membutuhkannya. Walaupun diultimatum,
diadu domba dengan teman-temannya, tetap saja setia pada sang idiot.
Kalaupun ada yang mengulas, langsung dirundung oleh
teman-temannya yang mengendalikan medsos. Sosok seperti ini juga tak kuat
mempertahankan ketenaran dan kekuasaan yang diperolehnya. Maka dia mulai
menggebrak-gebrak lebih hebat dan lebih kasar lagi sehingga sama sekali
keluar dari jalur yang normal dan kebiasaan-kebiasaan sebagai pemimpin
penyelenggara negara yang merupakan panutan, yang sopan dan santun dan yang
perilakunya sesuai dengan perasaan serta tata nilai yang diemban oleh
rakyatnya.
Demokrasi yang kebablasan
Kondisi perpolitikan seperti yang digambarkan di atas
sudah sangat-sangat parah karakter political animal-nya. Kita harus
melihatnya dari awal mengapa menjadi seperti ini? Jelas sekali bahwa kondisi
ini terjadi setelah UUD 1945 diamandemen empat kali menjadi UUD 2002. Sejak
itu terjadi kebebasan beserta euforia yang luar biasa. Sangat banyak orang
menjadi politisi dadakan, menjadi pengamat politik, merasa dan bersikap lebih
mengetahui tentang apa yang akan dilakukan oleh parpol tertentu ketimbang apa
yang diketahui oleh kader yang aktif.
Perubahan yang menjadi serba bebas, dan apa saja boleh,
mengakibatkan masuknya orang-orang dalam arena politik, yang sama sekali tak
paham tentang apa itu penyelenggaraan negara. Mereka merasa sekarang bisa
menjadi orang penting tanpa bersusah payah berjuang lewat wadah yang secara
universal memang dirancang sebagai infrastruktur politik buat penyelenggaraan
negara yang benar. Juga demikian banyaknya parpol bermunculan, yang kemudian
bersaing dengan calon independen yang didukung organisasi tanpa bentuk (OTB),
yang namanya diawali dengan kata "Teman A B C..dsb".
Faktor lain yang sangat fundamental adalah cara mengambil
keputusan yang didasarkan atas 50 persen plus 1. Kalau menangnya dengan 51
persen, yang 51 persen ini dalam praktiknya mengabaikan total yang 49 persen.
Ini bukan jumlah rakyat pemilih yang kecil. Dalam pengambilan keputusan
jumlah yang 49 persen diperlakukan sebagai nol. Demokrasi yang kebablasan
menjadi tirani minoritas. Mengembalikan ke jalur sebagaimana mestinya makan
waktu lama dengan biaya sangat mahal dan pengorbanan sangat besar. Kesemuanya
dapat kita lihat dari anarki dan kaos setelah revolusi Perancis menjadi
republik yang normal. Dalam era kontemporer kita saksikan penderitaan rakyat
China sebelum menjadi teratur seperti sekarang.
Kita mengalami tahun 1950 ketika yang diberlakukan UUD
1950 dengan sistem parlementer. Presiden Soekarno hanya simbol bagaikan raja.
Kekuasaan ada pada berbagai parpol yang memberikan kekuasaannya kepada
perdana menteri yang setiap waktu bisa dijatuhkan oleh suara 50 persen plus 1
dari jumlah anggota DPR. Setiap enam bulan kabinet jatuh. Kondisi ini
berlangsung sembilan tahun, sampai tahun 1959 Soekarno nekat, secara tak
konstitusional mendekritkan kembali berlakunya UUD 1945. Kekuasaan diambilnya
kembali sebagai presiden presidensial. Bagaimana bisa tanpa gejolak, tidak
jelas.
Sekarang lain. "Demokrasi" ala Amerika sudah
merasuk. Kita sudah punya Economic Council, punya Security Council, punya
Senat, punya Chief of Staff Istana. Siapa mereka itu? Benar-benar qualified?
Kesemuanya ini makan biaya besar, dan apa benar ada gunanya? Apa benar
Presiden mendapatkan pikiran dan konsep yang olehnya dianggap memang bagus,
bermanfaat dan bisa diterapkan? Bukankah mereka itu sarjana-sarjana yang
seumur hidupnya berkutat di dalam kamar? Tak pernah mengetahui dan mengalami
kehidupan nyata dalam kaitan dengan penyelenggaraan negara?
Yang bisa dilakukan (kalau masih mau), MPR berkumpul
mengubah UUD 2002 menjadi UUD 1945 lagi. Dibutuhkan jiwa besar dari para
anggota MPR untuk mengganti dirinya sendiri dengan orang-orang yang memang
pantas mengemban kekuasaan tertinggi. Kalau ini sudah terjadi, pembenahan
yang sifatnya teknokratik mudah. Konsep sudah banyak yang disusun dalam era
kemerdekaan selama lebih dari 70 tahun.
Dengan UUD 1945 yang asli, kekuasaan tertinggi yang ada
pada MPR terdiri dari tiga bagian. Sepertiga dari DPR anggotanya dipilih
langsung oleh rakyat. Jadi tetap ada demokrasinya yang 50 persen plus 1,
tetapi hanya sepertiga. Sepertiga adalah Utusan Golongan yang tak dipilih,
tetapi diajukan oleh para profesional setelah mereka mencari yang terbaik di
kalangan mereka. Sepertiga lain Utusan Daerah yang juga tak dipilih. Mereka
dijaring dari daerah-daerah, terdiri dari mereka yang di daerahnya
masing-masing jelas-jelas pemimpin sejati yang dikenali oleh rakyat setempat
dan dihormati serta dianggap paling pantas mewakili mereka.
Pemilihan secara langsung oleh rakyat atas dasar 50 persen
plus 1 tak mungkin diterapkan untuk bangsa yang pendidikan, pengetahuan,
kematangan jiwanya danwisdom-nya belum memadai. Maka Pak Jokowi yang dipilih
langsung oleh rakyat atas dasar 50 persen plus 1 sekarang merasakan dan
menyatakan secara terbuka bahwa "Demokrasi kita telah kebablasan". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar