Kepemimpinan
RI di Samudra Hindia
Andre Notohamijoyo ; Delegasi RI dalam Perundingan
Internasional Bidang Perikanan; Doktor Ilmu Lingkungan UI
|
KOMPAS, 04 April 2017
Indonesia sukses menjadi tuan rumah pertemuan puncak
peringatan 20 tahun Indian Ocean Rim Association, Maret 2017.
IORA adalah organisasi kerja sama regional beranggotakan
21 negara di Samudra Hindia. Indonesia bergabung sejak pendiriannya pada
1997. Meski telah lama berdiri, kerja sama di IORA mengalami stagnasi.
Ada beberapa kelemahan kerja sama IORA. Pertama, ketiadaan
inisiatif out of the box dari negara-negara anggota. Kerja sama yang
dilakukan masih berkutat seputar pembahasan kerja sama tanpa implementasi
jelas dan membumi. Akibatnya, kerja sama terjebak pada pertemuan-pertemuan
konsultatif dan elitis.
Kedua, ketiadaan kepemimpinan. Untuk menggerakkan kerja
sama perlu kepemimpinan kuat salah satu negara anggota, sebagaimana tesis
Bremmer (2013). Harus ada negara yang berani investasi konkret di luar
kegiatan business as usual seperti workshop dan seminar.
Ketiga, IORA belum dapat menunjukkan manfaat nyata kepada
para anggota dibandingkan kerja sama lainnya di kawasan yang lebih dinamis
dan menjanjikan, seperti APEC dan RCEP.
Bagaimana Indonesia mewujudkan kepemimpinan di Samudra
Hindia dengan keadaan demikian? Penulis berpendapat IORA bukan merupakan
jawaban terjemahan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Samudra Hindia merupakan lautan terbesar ketiga di dunia
dengan luas 70.560.000 kilometer persegi dan berbatasan dengan Benua Asia di
utara, Benua Afrika di barat, Benua Australia di timur, dan Antartika di
selatan. Kawasan ini memiliki cadangan sumber daya mineral raksasa.
Diperkirakan 40 persen cadangan minyak dan gas dunia tersimpan di sini.
Samudra Hindia merupakan jalur perdagangan paling
strategis dengan 70 persen pelayaran komersial melewati kawasan ini. Bahkan,
lebih dari 30 persen produksi perikanan global berasal dari kawasan ini.
Potensi yang dimiliki berbanding lurus dengan tantangannya. Kesenjangan pertumbuhan
antarnegara yang sangat mencolok hingga situasi keamanan di kawasan menjadi
tantangan tersendiri.
Rawan pembajakan
Rangkaian aksi pembajakan kapal oleh kelompok pembajak
Somalia mengejutkan sekaligus menyadarkan dunia terhadap arti penting kawasan
Samudra Hindia bagi lalu lintas perdagangan dunia. Tragedi pembajakan yang
terkenal adalah pembajakan kapal Maersk Alabama (Amerika Serikat) dan MV
Sinar Kudus (Indonesia). Kisah pembajakan Maersk Alabama bahkan telah
diangkat ke layar lebar dengan judul Captain Phillips.
Mempertimbangkan beratnya tantangan, Pemerintah Indonesia
perlu bersikap realistis, tetapi harus bertindak out of the box dalam
merumuskan peran dan tanggung jawab yang dapat dilakukan di Samudra Hindia.
Di samping IORA, Indonesia berperan aktif di organisasi
perikanan regional Indian Ocean Tuna Commission (IOTC). Organisasi tersebut
merupakan organisasi perikanan yang mengatur tata kelola penangkapan tuna di
Samudra Hindia dan menginduk pada Food and Agriculture Organization. Area
yang menjadi pengaturan atau area konvensi adalah Samudra Hindia yang bukan
merupakan laut teritori ataupun Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara atau
disebut juga laut lepas (high seas).
Tujuan IOTC adalah menerapkan praktik pengelolaan ikan
tuna yang lestari di kawasan Samudra Hindia. IOTC mengatur kuota penangkapan
masing-masing negara, jenis alat tangkap yang diperbolehkan, pendaftaran
kapal-kapal yang diizinkan menangkap, hingga spesies yang boleh ditangkap.
IOTC juga memiliki otoritas untuk memberikan sanksi terhadap negara anggota
yang tidak menjalankan kewajibannya. Di sinilah peran Indonesia dapat
dikembangkan.
Saat ini jumlah kapal penangkap ikan Indonesia di wilayah
konvensi IOTC menurun drastis. Berdasarkan data IOTC per Februari 2017,
jumlah kapal penangkap ikan berbendera Indonesia tercatat 157 kapal yang
terdiri dari 151 kapal longliners dan 6 kapal purse seiners. Jumlah itu
sangat jauh menurun dibanding 2012 yang mencapai 1.281 kapal.
Penurunan jumlah kapal penangkap ikan tersebut memberatkan
upaya Indonesia berperan lebih besar di kawasan. Hal ini sangat disayangkan
mengingat Indonesia memiliki empat pelabuhan perikanan di Samudra Hindia,
yaitu Bungus (Sumatera Barat),
Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), Cilacap (Jawa Tengah), dan Benoa (Bali). Keempat
pelabuhan tersebut berpotensi menjadi hub bagi ekspor tuna di kawasan Samudra
Hindia. Namun, tanpa dukungan suplai ikan yang kontinu, mustahil investor
tertarik berinvestasi.
Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan
insentif bagi investor asing pada subsektor pengolahan, distribusi, dan
pergudangan dengan membebaskan partisipasi kepemilikan modal asing hingga 100
persen melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 akan sia-sia tanpa
hasil tangkapan ikan yang kontinu dalam volume besar di keempat pelabuhan
tersebut.
Diperlukan terobosan kebijakan untuk dapat mendorong
peningkatan jumlah kapal penangkap ikan Indonesia yang beroperasi di Samudra
Hindia. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan kualitas pengelolaan
pelabuhan perikanan dengan standar internasional agar kapal-kapal penangkap
ikan dari negara lain tertarik mendaratkan hasil tangkapannya. Pendaratan
ikan yang masif tidak hanya menarik investor, tetapi juga akan mendorong
peningkatan ekspor dan penyerapan tenaga kerja secara signifikan.
Di sinilah kepemimpinan Indonesia di Samudra Hindia diuji,
bukan sekadar kepemimpinan temporer di IORA yang bersifat seremonial,
melainkan kehadiran negara yang diciptakan melalui investasi riil dan
bermanfaat bagi masyarakat. Insya Allah, cita-cita Poros Maritim tidak lagi
menjadi retorika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar