Bangsa
yang Kurang Mendengarkan
Limas Sutanto ; Psikiater, Tinggal di Malang
|
KOMPAS, 03 April 2017
Mendengarkan itu niscaya demi mengerti-dan-menjadi-beradab.
Tanpa mengerti tiada kesalingmengertian, tak ada pula kesalingmemberhargakan.
Padahal, kedua hal yang tiada itu merupakan unsur-unsur
hakiki yang melandasi keberadaban dan pemerlakuan terhadap manusia dan liyan
sebagai subyek. Ketidakadaan "mengerti" menyuburkan kecurigaan dan
ketakutan. Kedua pengalaman perasaan pembuncah hati itu mendorong
pengejawantahan tindakan memusuhi dan memusnahkan liyan.
Akan tetapi, kini bangsa mengagung-agungkan ekspresi
verbal, pekik teriak, suara lantang, hardikan menggelegar, dan yel-yel. Media
sosial dan teknologi komunikasi menggelar jalan tol untuk perwujudan
pernyataan-pernyataan kewicaraan itu. Bangsa menjelma menjadi massa yang
gemar berekspresi kewicaraan. Namun, semakin banyak orang berwicara, kian
sedikit ia mendengarkan; bangsa yang suka sekali dengan pernyataan verbal pun
menjadi makin kurang mendengarkan.
Tiga kenyataan ini menandakan betapa bangsa kurang atau
tidak mendengarkan.
Pertama, hiruk pikuk seperti abadi dalam media sosial,
dengan tebaran padat dan luas hoaks, perundungan, penghinaan, caci maki, dan
fitnah.
Kedua, kenekatan berwicara bohong yang lantang, yang
justru dianggap bahkan dipuji sebagai bukti keberanian dan keteguhan dalam
berprinsip.
Ketiga, ketakpedulian terhadap "suara rakyat yang
sesungguhnya" (yang paling tampak dalam perilaku "tetap
berkorupsi" kendatipun rakyat sesungguhnya menyerukan agar elite tidak
melakukan korupsi).
Uraian itu menggarisbawahi pentingnya mendengarkan yang
diperhadaphadapkan dengan wabah ekspresi verbal. Lalu, apakah pernyataan
kewicaraan tidak penting?
Dalam karya-tulis-terpublikasi mereka yang pertama
(Studies on Hysteria, 1895; 2013), Joseph Breuer dan Sigmund Freud menyatakan
betapa pengungkapan secara verbal atas perasaan yang terkandung dalam
pengalaman menyakitkan yang mengakari gangguan psikis histeris akan
mengakhiri gejala-gejala gangguan psikis itu.
Sembuhkan gangguan jiwa
Betapa hebatnya ekspresi verbal itu. Ia dapat menyembuhkan
gangguan jiwa. Kedua tokoh pendiri psikoanalisis itu seperti menegaskan bahwa
verbalisasi perasaan sedemikian penting di tengah upaya menumbuhkembangkan
kesehatan jiwani.
Pengalaman perasaan (afek) yang menyakitkan, tetapi tidak
terkatakan akan dikucilkan dari kesadaran (kata Breuer dan Freud
direpresikan) sehingga "tetap ada, tetapi seperti tiada", tak
terolah, lantas menjadi "ingatan pengalaman traumatis yang terus saja
bekerja" (reminiscences) dan karena itu melestarikan gejala-gejala
gangguan jiwa.
Akan tetapi, verbalisasi perasaan yang dicita-citakan
dalam psikoanalisis tidak sama dengan lontaran-lontaran hoaks dan perundungan
verbal. Pada yang pertama, manusia dibimbing sesamanya yang mendengarkan dia
dengan saksama untuk menilik dan mendalami pengalamannya sendiri, yang begitu
menyakitkan; lalu didampingi untuk mengungkap afek traumatis (perasaan yang
menyakitkan) melalui atau dalam kata-kata.
Dalam penciptaan kata-kata kebohongan dan fitnah verbal,
orang justru tidak mau menyentuh perasaan menyakitkan yang bersarang di dalam
dirinya. Yang ia lakukan justru membuangnya kuat-kuat keluar tanpa mengalami
sakitnya perasaan itu. Dan tentu liyan dan dunia pun menjadi "harus
mengalami rasa sakit pula".
Kegagalan mendengarkan dan pengagung-agungan ekspresi
verbal berefek tragik fitnah, hoaks, perundungan, dan disonansi penalaran
terjadi karena orang menjalanbentarkan (by pass) pengalamannya sendiri, yang
menyakitkan atau tak menyenangkan. Wicara bukan lahir dari
"mengerti" dan keberadaban yang bersumber pada mendengarkan yang
saksama, melainkan terlontar dari jiwa yang menghindari, menolak, melewatkan
dan melarikan diri dari "rasa menderita yang sah", yang
sesungguhnya ada dan berlangsung di dalam diri, yang sesungguhnya pula tidak
buruk, tak jahat, dan justru--jika dialami dan didalami--akan melahirkan
kekuatan diri untuk bertumbuh kembang.
Carl Gustav Jung-lah yang melontarkan terma
"penderitaan yang sah" atau legitimate suffering. Ia adalah rasa
sakit yang mesti ada dan berlangsung di tengah upaya manusia bertumbuh
kembang, untuk menjadi kian baik.
Demokrasi itu penting
Di tengah perkembangan peradaban manusia kini, demokrasi
menjadi salah satu bagian yang penting dari proses sang manusia bertumbuh
kembang. Dalam berdemokrasi itu tak pelak orang niscaya menjadi mengalami
rasa sakit, terutama karena ia perlu menerima "yang berbeda",
"orang lain" atau liyan, dengan segala rincian identitasnya yang
lain daripada yang lain. Perbedaan identitas dan keberadaan liyan sungguh
menjadi sumber rasa sakit; sekaligus ia memanggil warga bangsa yang
berdemokrasi untuk belajar menerima, mendalami, dan mengatasinya, bukan
menjalanbentarkan dia.
Di tengah bangsa hari kini, pemimpin bukanlah hanya
pencipta kebijakan dan pengawas pelaksanaannya. Mereka juga agen-agen
kebudayaan dan peradaban; bisa jadi mereka berbeban moral bahkan berkewajiban
untuk "memersuasi masyarakat agar tidak mencipta hoaks dan perundungan verbal".
Itu berarti, di tengah tumbuh kembang kebudayaan dan
peradaban, mendampingi mereka mengalami rasa sakit yang sah, tanpa melarikan
diri darinya; mengajarkan warga bertabah mendalami penderitaan yang mesti
terjadi karena beradanya yang berbeda dan liyan, dengan cara banyak
mendengarkan secara saksama dengan niat yang kuat untuk menjadi lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar