Menjinakkan
Kemarahan
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 31
Maret 2017
Suatu hari mobil sedan yang kami naiki bersenggolan dengan
truk tentara. Persisnya di Megamendung, Puncak, Bogor, Jawa Barat. Peristiwa
itu terjadi sekitar tahun 1980-an.
Saya duduk di samping Iwan Sastrowardoyo, ayahnya Dian
Sastrowardoyo, sebagai sopirnya. Terlihat dari spion sopir truk turun
menghampiri mobil kami dengan gayanya sebagai militer yang waktu itu merasa
sebagai warga negara kelas satu di Indonesia. Iwan bilang, “Mas Komar,
please, jangan turun. Cukup saya yang menghadapi. Mas Komar diam saja di
mobil,” pintanya serius.
Tak lama kemudian Iwan kembali ke mobil untuk meneruskan
perjalanan kembali ke Jakarta. Saya penasaran, apa yang terjadi. Iwan pun
bercerita. Sesungguhnya tak ada kerusakan yang serius, cuma mungkin mereka
tersinggung diklakson dan disalip. Tapi, menurut Iwan, “Saya tak memberi
kesempatan energi kemarahannya menyentuh diri saya.
Saya lindungi diri saya dengan energi positif, dengan
cinta, dengan kasih sayang, dan pesan damai. Dengan demikian, ketika dia akan
mengeluarkan energi kemarahan yang diarahkan ke saya, energi negatif itu
tertangkal oleh energi positif yang membentengi diri saya sehingga kesalnya
akan kembali ke dirinya.”
Ingatan peristiwa puluhan tahun lalu itu muncul kembali
ketika saya sering membaca media sosial (medsos) yang isinya sebagian penuh
nada kesal dan caci maki terhadap mereka yang berbeda pilihan politiknya.
Bahkan ada yang dengan menggunakan dalil-dalil agama menurut selera
penafsirannya. Saya teringat Iwan, sebagai penganut Buddha yang disiplin bermeditasi,
rupanya dia sudah sangat terlatih bagaimana mengendalikan emosinya.
Ajaran pengendalian diri untuk menjinakkan kemarahan
sesungguhnya juga ditemukan dalam agama-agama lain. Termasuk dalam pelatihan
mazhab psikologi positif. Ketika seseorang marah, sebaiknya Anda tidak perlu
terpancing ikutan marah untuk membalasnya. Biarkan kemarahan itu kembali pada
pemiliknya. Cukup didengarkan dan diambil isinya yang mungkin mengandung
kebenaran.
Berkaitan dengan seni menjinakkan kemarahan, ada sebuah
simulasi, seorang ayah dan anak berjalan-jalan memasuki wilayah lereng gunung
yang cukup luas, kanan kirinya dikelilingi tebing. Lalu anaknya disuruh
teriak keras-keras. Sang anak heran dan bingung, suara teriakannya itu
menggema dan memantul kembali.
Lalu sang ayah menyuruh anaknya teriak dengan kata-kata
yang baik dan positif. Ketika teriakan itu memantul kembali, sang ayah
menjelaskan kepada anaknya. “Demikianlah, anakku,” katanya. “Apa yang kita
katakan, entah baik atau buruk, itu semua cerminan dari kualitas diri kita
yang akhirnya akan kembali kepada diri kita juga.
Makanya pilihlah berbicara yang baik sehingga orang-orang
di sekitar kita akan senang menerimanya dan kita pun tidak akan menyesal
setelah mengucapkannya. Bahkan senang mendengarnya kembali.” Ada sebuah kata
yang bisa membantu agar kita tidak terseret pada situasi kemarahan yang
diciptakan orang lain, yaitu detachment.
Secara psikologis kita mengambil jarak, tidak melekat dan
lebur ke dalam sebuah objek. Contoh paling gamblang adalah ketika mobil kita
tertabrak, lalu penyok, seakan hati kita ikut penyok, sedih, menggerutu,
mengumpat. Mengapa? Karena terjadi attachment, bukannya detachment. Kita
menyatu dengan sosok mobil sehingga ketika ada yang menimpa mobil, hati ikut
merasakan. Ketika mobil penyok, hati ikut merasa penyok.
Ketika mobilnya dipuji orang, hatinya ikut merasa dipuji.
Di situ telah melebur antara subjek dan objek. Sikap detachment tidak berarti
tidak punya empati kepada orang lain. Tapi seseorang mampu mengatur dan
mengendalikan gerak dan arus emosinya. Emosi tidak mengendalikan dirinya,
tapi emosinya yang dia kendalikan. Ada sebuah cerita, dua mahasiswa
berjalan-jalan ke Pasar Senen Jakarta untuk melihatlihat dan membeli buku
bekas.
Mereka berpisah memilih toko buku yang berbeda. Satu jam
kemudian mereka bertemu di tempat yang disepakati. Mahasiswa yang satu
berhasil memilih dan membeli beberapa buku, yang lain tidak menemukan sama
sekali. Lalu dia ditanya, “Mengapa tidak membeli buku, padahal kita ke sini
niatnya untuk mencari buku?” Dia jawab, “Saya sesungguhnya tertarik untuk
memilih dan membeli buku di toko tadi.
Tapi saya enggan karena raut muka penjualnya cemberut,
sikapnya tak acuh.” Temannya yang berhasil memilih dan membeli buku balas
menjawab. “Dengarkan ya,” katanya. “Soal wajah penjual buku cemberut, itu
urusan dia. Itu wajah dia. Urusanmu ke sini adalah mencari buku, jangan
sampai agendamu gagal karena persoalan orang lain. Mengapa wajahmu ikut
cemberut gara-gara wajah orang cemberut? Berarti kamu kalah, gagal menjaga
hatimu agar tidak mudah terseret arus gelombang emosi orang lain.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar